3. Mengenal (1)

49.2K 3.7K 41
                                    

Banyak sekali wejangan Bayu berikan untuk Arya dalam menghadapi Dwina. Salah satunya yaitu Arya harus menyiapkan camilan cukup banyak, juga Arya harus menyediakan permen karet atau lolipop sebagai pelampiasan karena Dwina tidak bisa tenang bila berdekatan dengan orang yang baru dikenalnya. Agak aneh sih karena katanya dengan mengunyah makanan Dwina akan lebih merasa tenang. Well, persepsi orangkan beda-beda, Arya bisa maklumin hal tersebut dan persyaratan itu sama sekali tidak sulit buat Arya.

Dan baru lima menit perjalanan, Dwina sudah mengeluarkan permen Chupacups dari kantong celananya. Sudut pandang Arya, Dwina makin terlihat kekanakan. Bukan bermaksud membandingkan atau sebagainya. Dwina itu jauh dari kreterian Arya. Ia menganggap bahwa Dwina bukan wanita dewasa, penuh energik apalagi memiliki sifat menyenangkan. Juga sepertinya sulit sekali bagi Dwina untuk akrab dengan orang asing dan pilih lebih banyak diam membuat orang agak bingung harus bagaimana berinteraksi.

"Kamu kuliah ambil jurusan apa?" Tanya Arya mencoba mencairkan suasana, ia pikir hasil yang dia dapat nihil.

"Ilmu Kefarmasian." Seketika Dwina yang sedang menatap dibalik jendela langsung menengok ke arah Arya. Tangan Arya mengepal kuat kemudi, pria itu antara seperti suntuk dan bersikap penasaran yang dibuat-buat.

"Udah semester berapa?" Ucapan Arya mulai terdengar kurang santai. Dwina menyerngit, ia jadi bingung sendiri apa yang merasuki pria itu sampai bersikap aneh.

"Baru semester enam." Dwina jawab santai. Ia malas terbawa arus emosional berantakan.

"Berarti sebentar lagi mau ambil proposal."

"Iya." Balas Dwina. Berulang kali dia melihat telunjuk Arya mengetuk pelan kemudi. Sulit dipungkiri Dwina juga sedikit bosan akan percakapan serta keadaan ini. Ingin sekali dia meminta untuk turun lalu pulang sendiri dengan taxi.

"Oh gitu... Dulu aku kira adiknya Bayu itu cowok." Dwina tertawa garing. Benar sih ada cowok yang namanya Dwi. Dari situ mungkin Arya menganggap Dwina adalah laki-laki.

"Bayu pernah cerita tentang kamu. Katanya waktu akhir SMA kamu pernah kabur dari rumah." Apa nggak ada topik yang lebih baik dari ini? Dwina jengah sendiri. Berasa dirinya pantas dikoreksi akibat sedikit kesalahan.

"Aku nggak kabur dari rumah. Cuman mampir ke rumah temen doang." Dwina menelan suara ketusnya.

"Sorry bukan bermaksud aneh. Waktu dulu pernah aku mau ngambil berkas proyek pembangunan sebuah studio musik di Bayu, tiba-tiba dia keluar dari kantor tanpa ngomong apapun. Biasanya dia nggak kayak gitu. Pas waktu balik dia cerita sama aku kalau kamu kabur dari rumah, takut diomelin mama karena terlambat ujian masuk universitas."

"Aku cuman main ke rumah temen untuk nenangin diri. Nggak ada niatan untuk kabur karena aku sendiri waktu itu juga pengennya langsung pulang. Tapi mama papa sama kak Bayu lagi emosian dan nggak berhenti marahin aku selama satu bulan. Siapa juga yang bisa bertahan?" Jawab Dwina santai. Jujur setiap dia mengingat kejadian itu rasa sesak di dadanya timbul. Seumur hidupnya itu menjadi pertama bagi Dwina untuk luar biasa bersabar. Dia sulit mengungkapkan emosinya hingga amarahnya selalu diredam tanpa dikeluarkan, lalu meluap sampai ambang batas.

Arya terdiam. Dia sadar betul sudah menyinggung topik sensitif, dia pikir Dwina akan langsung bersikap dingin. Tanpa di duga Dwina berbincang dengan pikiran terbuka serta sisi dewasanya sedikit tampak. Arya makin salah menilai tentang siapa diri Dwina.

"Namanya juga remaja baru lulus SMA. Labil, buta kalau dunia sebenarnya luas dari segi bentuk dan pemikiran. Aku sendiri aja pernah nganggep kalau kampus adalah tempat yang besar dan arogan. Anehkan?"

"Aku juga pernah kok berpikiran kayak gitu. Kampus kelihatan keren banget padahal pas dijalanin rasaya biasa aja. Bedanya kita udah nggak pakai seragam sekolah lagi."

Percakapan mereka terus mengalir. Arya menawarkan camilan ciki, wafer, minuman kemasan dan masih banyak tumpukan makanan yang dia borong dari supermarket. Tetapi Dwina tak sadar dan berpikir sebaliknya bahwa Arya sangat suka ngemil jadi dia perlu stok banyak.

Dwina mengambil satu bungkus ciki kentang rasa keju untuk menemani perjalanannya. Pergi menuju kota Bandung seolah melambat sampai-sampai Dwina terbius oleh waktu. Rasa kantuk menyerangnya begitu saja usai dia dan Arya berhenti berbincang. Mungkin ini disebabkan oleh reaksi hormon serotonin usai makan. Bagi Dwina ini menjadi hal biasa, sejak kecil dia mudah tertidur saat perjalanan panjang tanpa peduli sekitar.

Siapa sangka bila Dwina itu tertidur sambil memegang bungkus ciki. Tersebesit keinginan Arya untuk mengambil bukusan tersebut agar tidak terjatuh. Jadi sewaktu mobil berhenti di pom bensin, dengan perlahan Arya menarik bungkusan dari genggaman Dwina tanpa berniat membangunkan Dwina.

"Udah sampai dimana kita?" Hampir saja Arya terlonjak kaget mendengar suara Dwina tepat di telinganya. Wanita itu menatap curiga dirinya bagaikan penjahat yang ketahuan mencuri.

"Lagi di rest area, ngisi bensin. Kamu mau ke toilet?"

"Aku mau sholat dzuhur dulu kak." Dwina menarik napas panjang. Dia kikuk mengoreksi keadaan sekitar bahwa tidak ada yang salah. Sekarang dia masih di mobil dan Arya masih tetap berada di sampingnya, duduk santai dibalik kemudi.

"Ya udah aku juga." Benak Arya sedikit tercubit. Jujur saja Arya jarang sholat, palingan dalam setahun bisa dihitung beberapa kali saja. Dia tau dirinya sangat jauh dari Tuhan serta sering membiarkan hawa nafsunya terus bergelut oleh rasa malas. Benar apa kata Bayu, Dwina seorang perempuan sederhana tapi disitulah kelebihannya. Nggak perlu muluk-muluk menyuruh orang berlaku baik, bertindak baik buat dirinya sendiri saja sudah bagus.

Arya memarkir mobilnya di tepi ruang yang kosong dekat minimarket. Segera Dwina merapikan sampah makanannya ke dalam kantong plastik untuk dibuang. Jujur saja mobil mewah Arya akan tampak menyedihkan bila kotor dan bau.

Dwina turun dari mobil dan langsung merenggangkan tubuhnya yang terasa lelah. Sesaat ada kelegaan dalam dirinya, ini keberuntungan kecil yang perlu di manfaatkan sebaik mungkin sebelum mereka kembali melanjutkan perjalanan.

Trust Your Heart [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora