103. Kepiluan Jiwa (5)

3.3K 327 4
                                    

#103

Semua kontradiksi ini Dwina mulai memahaminya, meskipun dia enggan untuk terus mengerti. Hubungan mereka masuk ke zona sulit mempercayai satu sama lain, buruk sekali.

Dwina melepaskan diri dari Arya, kembali berdiri dengan tubuh tegang, dan ekspresinya sedih, "Kamu suami aku. Dan memang seharusnya kau menuntunku karena aku adalah istri kamu. Aku nggak berhak membuat berbagai pengaturan terutama untuk hati kamu. Walaupun aku sulit mengerti kenapa kamu bisa menekanku sampai seperti ini. Aku jelaskan satu hal, bahwa kau bisa menghancurkan ku juga," kata-kata Dwina terdengar pecah dalam kelemahan. Dia terengah-engah, sambil terus menyentuh kuat inti jantungnya menahan tekanan.

"Aku akan menyiapkan air hangat untuk kamu mandi. Ini sudah malam, jangan mandi terlalu lama. Setelah itu kamu bisa istirahat." Dwina pikir pembicaraan mereka lebih baik dihentikan. Bila terus berlanjut yang ada akan memperburuk situasi, akal sehat Dwina sudah menipis. Sudah hilang lagi sifat untuk mencoba memahami Arya lebih dalam dan terus meneruh mengalah.

Setelah semua disiapkan, termasuk pakaian ganti untuk Arya. Dwina memilih untuk tidur lebih dulu jangan sampai dia jatuh sakit lagi. Hatinya terus memperingatkan bahwa pertengkaran kali ini tak ada apa-apanya. Masih akan ada masalah lebih besar di masa depan yang harus di lalui. Sudah cukup Dwina berharap terlalu banyak untuk dimengerti oleh Arya. Mereka sama-sama manusia, punya kekurangan.

Diseberang ranjang Arya berdiri menatap punggung Dwina yang sedang tertidur, meringkuk dan pura-pura bersikap acuh. Apa sebenarnya yang ia harapkan dari perempuan itu? Persetan dengan egonya. Ia terlanjur membangun jarak antara dia dan Dwina. Setiap ia melontarkan ucapan hanya kata-kata menyakitkan. Arya frustasi pada dirinya sendiri.

"Aku tidak pernah ingin membuatmu hancur Dwina. Aku hanya mau menjagamu tetap di sisiku." Arya terdengar lebih lembut dari sebelumnya.

"Jangan paksakan diri kamu sendiri. Jika keadaan membaik, kita bisa berbicara lagi. Aku sayang padamu, jadi bagaimana mungkin aku akan meninggalkanmu. Aku akan terus menunggu kemarahan mu reda sampai di penghujung harapanku," balas Dwina tanpa mau menoleh. "Akan ada waktu dimana semua kembali tersadar. Aku hanya bisa berdoa seperti itu." Menanti waktu, setiap manusia diuji kesabarannya dan dia akan merasakan kelelahan tak tertahankan dalam penantian. Dalam hati kecil Dwina dia ingin terus bertahan, tentu karena anaknya membutuhkan sang ayah.

Dalam pernikahan harus kita pahami, bahwasannya bukan hanya kebahagiaan saja di dalamnya di sana juga ada kesusahan. Termasuk permasalahan yang sulit tuk di pahami oleh akal.

Kenapa mereka bisa bertengkar? Kenapa semua berubah? Kenapa hati mereka sulit sekali menyatu? Padahal di awal pernikahan mereka sudah berjanji untuk saling mendukung satu sama lain. Banyak yang tidak masuk akal, dan berakhir pertengkaran. Begitulah salah satu jalan dalam pernikahan. Dwina akan selalu ingat nasihat mama.

...............

Sekarang yang Dwina butuhkan adalah istirahat dari permasalahan. Beruntung ada Putri yang tiba-tiba mengajak ia pergi jalan-jalan ke pantai. Katanya dia juga sedang suntuk.

Kini Dwina berada di taksi bersama Putri, beberapa menit lalu Putri menjemputnya, namun yang buat Dwina terkejut adalah melihat kondisi Putri-salah satu tangannya terbalut gips akibat terpleset di kamar mandi hingga cedera. Padahal sebelumnya Dwina sudah pernah diberitahu saat mereka menelpon, dia masih tetap tidak percaya.

"Kuncirin rambut aku dong, tadi pembantu aku lagi ke pasar jadi nggak ada yang bantu aku siap-siap." Putri menyerahkan ikat rambutnya pada Dwina.

"Lagian, kalau ngapa-ngapain hati-hati dong. Gimana kalau yang kena kepala, kan bisa bahaya banget," omelan Dwina dibalas cengiran. Putri sudah biasa apapun bentuk sifat Dwina. 

Trust Your Heart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang