39. Merakit hati (7)

6.7K 572 12
                                    

Sambil memasang baik pendengaran seolah ada sesuatu penting yang tak boleh terlewatkan. Tangan Dwina berhenti bergerak dan mengambang di atas keyboard laptop, pikirannya teralih oleh pembicaraan sepasang wanita muda duduk di meja belakang Dwina.

"Lo serius mau nikah?" tanya wanita berambut pendek berwarna pirang menyala dan bertubuh mungil kepada temannya. Dia bisa di sebut si Malaikat Putih dengan segala keceriaannya. Dwina tadi memang sempat melihat, tapi untuk saat ini dia menahan diri agar tak menoleh ke belakang.

"Iya," sahut wanita yang memiliki rambut terjuntai panjang dan menawan, bisa di duga perawatannya begitu baik juga tak lupa betapa apiknya garis wajah dia terbentuk sempurna hingga mampu memikat sekitar. Sebut saja dia si Malaikat Hitam dengan segala kesan misteriusnya.

Awal pertama kali masuk ke dalam kafe, karakteristik fisik kedua wanita tersebut memang menarik perhatian banyak orang termasuk Dwina. Dan yang paling utama adalah topik pembicaraan mereka seolah menyedot pikiran Dwina terutama pada ucapan sarkastik dan tajam dari si Malaikat Hitam.

"Tunangan lo memang kelihatan ideal di mata banyak orang tapi.." Si Malaikat Putih tampak ragu sejenak, "tapi dia diam-diam punya masalah sama sifat temperamennya. Gue pernah lihat dia marah besar di kantor."

"Setiap orang punya temperamen besar, setiap orang memiliki sifat pemarah. Jadi itu bukan sesuatu tolak ukur besar untuk gue nggak bisa nikah sama dia." Si Malaikat Hitam menerjang masih dalam nada dingin. Lalu apa sebenarnya apa yang dipikirkan oleh dia? Dwina ikut merasa penasaran walaupun tidak seharusnya dia menguping pembicaraan mereka.

"Terus apa alasan lo mau menikah sama dia? Pacaran cuma dua bulan itu juga karena dijodohin, gue tau usia lo memang cukup umur untuk menikah dan gue nggak berhak ikut campur tangan sama hubungan percintaan lo. Tapi Re... coba pikir sekali lagi. Dari awal gue sadar kalau lo merasa nggak cocok sama dia, iya kan?" Si Malaikat Putih makin melembutkan suaranya. Dia bagaikan memiliki gambaran sendiri tentang apa-apa yang menimpa si Malaikat Hitam.

Si Malaikat Hitam sedikit membanting gelasnya sampai terdengar sebuah benturan. "Kita cocok, ketika gue mengatakan kalau kita memang bisa menikah. Nggak perlu ribet, semua pasangan pasti banyak masalah yang akan dihadapi. Yang salah adalah berpikir kalau pernikahan adalah sebuah penyelesaian dari masalah. Menikah itu bukan cuma hati dan perasaan cinta, namun tekat. Aku sampai sekarang memang suka sama Key, tapi aku lebih memilih mencintai orang yang aku nikahi dari pada menikahi orang yang aku cintai. Kenapa? Karena aku dan siapapun tidak bisa menjamin apapu. Dan aku butuh sebuah langkah besar, meletakan kepercayaan besar pada Angga. Angga berani nemuin orang tua aku lalu ngelamar aku, terus kemana si Key? Dia ngumpet aja di dalam kolong lemari?"

"Key sayang banget sama lo, tapi sekali lagi dia butuh waktu. Kasih dia satu kesempatan."

"Kenapa aku harus ngelakuin itu? Selama ini, kesempatan itu selalu terbuka di depan mata dia. Setiap aku menyinggung tentang pernikahan, dia selalu mengalihkan seolah nggak ada aku dan dia bersama di masa depan. Terus kita mau pacaran sampai tua, having sex tanpa menikah, dia punya gairah besar sama kayak aku ke dia. Tapi dia pura-pura buta. Apa gue harus terus bertingkah seperti orang dungu?" Si Malaikat Hitam tampak sinis karena jengah meyakinkan temannya dan dia tidak akan mendapatkan apapun untuk mengubah persepsi seseorang, itu sangat membuang waktu, pikiran serta tenaga.

"Udahlah, gue mau cabut ada urusan kantor." Si Malaikat Hitam bangkit dari kursi lalu berjalan pergi melewati Dwina.

Dwina menghela napas pelan, dia menautkan kedua jemarinya menjadi satu sambil berpikir dalam. Ada sejumlah kalimat yang Si Malaikat Hitam lontarkan tadi yang membuat dia terhenyak dan menyindir persepsinya. Dwina sadar diri. Dwina terlalu banyak berpikir dari pada bertindak. Mempertimbangkan berbagai hal tanpa berani melakukan langkah awal adalah omong kosong. Dirinya pengecut, bedebah tak berperasaan, dia muka dua. Musuh terbesar Dwina ternyata dirinya sendiri. Dia terlalu menahan diri, ketakutan dan dia begitu kesal benci baru menyadari ini sekarang.

Kesan dari seorang Arya Wijaya hanya perlu di tanamkan di dalam hati. Dia bisa terus berkembang seiringnya waktu, jangan terlalu mengkhawatirkan apapun walaupun dia hanya dapat berharap.

Satu keputusan Dwina ambil. Dia akan menerima lamaran Arya, dia akan terima konsekuensi ke depannya. Sebisa mungkin dia meyakinkan keluarganya sekali lagi itu bukan karena sebuah keterpaksaan.

Dwina merapihkan barang-barangnya, memasukan laptop ke dalam tas dan berjalan keluar kafe. Awan terlihat mendung serta angin berhembus kencang tanda mau hujan. Dwina berjalan cepat menelusuri jalan raya, dia harus menemui Arya untuk menyatakan semuanya. Benak Dwina mengembang drastis tak tertahankan. Meluap berkali-kali lipat sampai tak sadar tetesan hujan mulai turun. Dia tidak mengerti namun dia tak perduli.

"Dwina!" Seseorang menahan lengan Dwina hingga tubuhnya tertarik ke belakang. "Mau kemana kamu?" Itu Arya. Ekspresinya terlampaui serius juga tubuhnya menjulang tegap di hadapan Dwina.

"Aku mau nemuin kakak." Mendengar penjelasan Dwina, dia kemudian membawa perempuan itu masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di deretan pertokoan. Mereka hampir basah kuyup karena hujan semakin deras.

Arya bergegas menjalankan mobil menuju apartemennya sebab itu posisi terdekat. Dwina perlu berganti baju dan Arya langsung tau perempuan itu kedinginan meski wajahnya tidak menjelaskan hal tersebut.

Tak ada pembicaraan di antara mereka, bahkan Dwina membiarkan rasa penasaran hilang dari pikirannya tentang bagaimana Arya bisa bertemu dengannya. Satu pikiran mencubit diri Dwina, apakah mereka akan baik-baik saja memiliki hubungan seperti ini? Dwina benar-benar perlu membenah diri.

Ketika keduanya tiba di apartemen Arya, Dwina di berikan satu pasang pakaian dari Arya, "cepetan ganti baju nanti takut masuk angin."

Dwina mengamati secara bergantian pakaian ukuran agak besar milik Arya serta laki-laki itu. Tentu ini terasa canggung namun dia memilih menahan diri.

"Kamu bisa pakai kamar mandi di dalam kamar aku." Arya mengantarkan Dwina ke tempat tersebut lalu mengambil tas ransel perempuan itu untuk di taruh di atas ranjang. "Kamu bisa ambil handuk baru di lemari." Lanjut Arya sambil menunjukkan lemari putih di atas wastafel.

"Makasih kak."

"Nanti aku bawain hair dryer buat kamu." Arya keluar kemudian menutup pintu kamar mandi. Sekilas Dwina menyerngit menyadari kalau hari ini Arya tampak berbeda meskipun dia belum tau secara jelas apa yang terjadi.

Dwina terburu berganti pakaian walau dia langsung merasa nyaman saat menginjakkan kaki di apartemen Arya. Memang desain apartemen tersebut tidak jauh berbeda dari kamar Arya di Bandung, berkesan maskulin tanpa sentuhan perempuan bahkan perabotannya terbilang sederhana.

Di balik pantulan cermin, Dwina mengamati tubuhnya terbalut pakaian Arya yang kebesaran. Terdapat kejadian seperti ini di sejumlah kisah novel, dan itu menambahkan keromantisan pada sepasang tokoh utama. Sedangkan bagi Dwina, mencium aroma Arya dari pakaian tersebut mampu menenangkannya. Dwina tak bisa menahan diri untuk tersenyum kecil.


____________________

Hai., Jangan lupa klik vote ⭐ dan cuatkan komentar anda tentang novel ini <( ̄︶ ̄)>

Dan terima kasih sudah membaca ( ◜‿◝ )♡

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now