94. Dinding Batas (7)

3.2K 333 22
                                    

"Sebenarnya aku datang ke Jakarta dari lusa. Tapi aku sibuk wawancara kerja." Seru Indira sembari menikmati minuman anggur yang di berikan oleh pelayan.

"Bukannya kamu kerja di Bandung?" Tanya Arya penasaran.

"Aku belum kasih tau, sebenarnya aku mengubah keputusanku untuk mengambil kerja di Jakarta. Temanku merekomendasi perusahaan bagus untukku dan aku akan jadi dosen di universitas." Indira mendelikan bahunya senang membuat Arya terkejut.

Untuk menghilangkan kecanggungan Arya memperkenalkan Indira pada ketiga rekan yang lain. Hanya Brian yang terlihat masih tertarik berbincang dengan Indira.

Sisi lain Dwina terdiam, kehadiran Indira membuat dia tidak bisa bergabung dalam pembicaraan. Bahasa mereka tinggi dan diluar dari wawasan Dwina.

"Hei.. Dwina. Kau terlihat diam saja dari tadi." Indira bergeser ke depan melihat wajah murung Dwina. Pasti perempuan itu merasa kalah dengan kecantikan dan gaun mahalnya malam ini.

"Hei kak. Senang bisa bertemu denganmu."

"Kau tampak tidak terbiasa dengan pesta seperti ini. Ku kira kau enggan untuk datang menemani Arya. Atau jangan-jangan kau terpaksa datang."

Dwina hanya tersenyum menyadari Indira memojokkan dengan pertanyaan bertubi-tubi sampai orang lain menatap aneh ke arahnya.

"Mana mungkin aku tega membiarkan suami aku pergi sendirian. Dia sudah mengantar aku berbelanjan gaun ini di tengah kesibukannya. Kupikir jika aku tidak pergi, mungkin dia juga tidak mau pergi."

"Mereka sehati. Menyerahkan untuk memprovokasi mereka." Sahut Satria tajam. Dia benci wanita berperangai rendahan seperti ini.

"Apakah aku memprovokasi? Sepertinya kau mengatakan hal keterlaluan." Indira membela diri, matanya nyalang penuh kejengkelan pada sosok pria di seberangnya.

"Arya. Maaf saja ya, jika aku kelewatan aku tidak bermaksud begitu padamu. Sejak dulu kita bersahabat mana mungkin aku mau memisahkan kalian." Lanjut Indira memberi ekspresi bersalah namun membuat muak yang lain.

"Aku percaya pada kak Indira. Jadi tenang saja kita akan menganggap ini tidak pernah terjadi. Iya kan?" Dwina lekas menggenggam tangan Arya agar lelaki itu memberikan jawaban yang sama.

Arya hanya tertawa geli melihat drama di atas meja mereka. Dan istrinya sengaja mengambil peran protagonis nyatanya tindakan dia yang membela Indira semakin membuat Indira geram.

"Aku akan menuruti apapun yang istri aku minta." Arya mencium punggung tangan Dwina serta memberi tatapan intens.

Indira mendesah jengkel. Ia sudah melakukan banyak hal untuk datang ke acara ini. Dan apa yang dia dapatkan? Semua orang menganggap dia wanita rendahan dan menjijikan. Dasar pelacur! Indira menatap tajam Dwina menolak untuk di kasihani.

"Saya permisi. Papa sepertinya sudah lama menungguku." Indira bangkit dari kursi kemudian pergi dengan high heels yang di hentakan ke lantai.

"Sebaiknya dia pergi dari meja ini." Arya berbicara dingin mengetahui Dwina sampai kesulitan menyantap makanan maupun minuman di meja. "Kau ingin minum teh hangat?"

"Tidak. Aku akan minuman anggur ini saja." Gumam Dwina pada Arya.

"Minuman ini tidak mengandung alkohol sedikitpun. Jadi jangan khawatir Nyonya Wijaya." Seru Alexander ikut mengangkat gelasnya dan bersulang dari kejauhan.

Perlahan Dwina meneguk minuman anggur tersebut, rasanya sedikit hangat dan agak pekat. Terdapat juga aroma manis yang khas menimbulkan kesegaran buah anggur yang nyata.

Baru dua teguk perut Dwina terasa bergejolak. Ia langsung meletakkan minuman tersebut kembali ke atas meja, "sepertinya aku tidak bisa minum ini."
Lekas Dwina permisi untuk ke toilet.

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now