25. Tentang dia (2)

8.3K 623 3
                                    

Sekali lagi Dwina memandang buket bunga mawar merah pemberian Arya yang kini berada di atas meja belajarnya. Harumnya masih tetap terasa semerbak, mungkin dia akan menyimpannya selama beberapa hari hingga layu. Ada satu kesan tertinggal di benak Dwina yaitu sebuah keromantisan dari kesederhanaan pikiran seorang Arya.

Dwina menghargai niat tersebut. Sebab ia pikir tidak semua orang bisa melakukan tindakan itu, seseorang harus punya keberanian dan keinginan besar. Bahkan dia sendiripun tak yakin bisa melakukannya.

Langkah Dwina berhenti, wajahnya merendah agar dia dapat menghirup jelas aroma bunga mawar sebelum dia pergi jalan bersama Putri ke pameran lukisan. Akhir-akhir memang Dwina merasa jika dia lebih banyak acara di luar rumah sampai rasanya dia ingin membatalkan pertemuannya dengan Putri.

"Dwina mah gitu. Ayo pergi, nggak boleh males." Pasti Putri akan bicara seperti itu gumam Dwina sendirian. Dwina butuh asupan 'me time' lebih banyak.

"Ya udahlah." Dwina pun menyerah. Dia segera keluar dari kamar, menghampiri mamanya yang sedang sibuk di dapur untuk pamit pergi.

"Udah mau berangkat kuliah." Seru mamanya ketika Dwina mencium tangan kanannya.

"Iya ma." Sekalian main dulu ma, sahut Dwina dalam hati. Semenjak kuliah Dwina lebih sering menggunakan alasan kuliah dan ngerjain tugas kelompok agar bisa jalan keluar. Awalnya bersalah namun lama-lama biasa saja karena dia sendiri kadang bingung kalau jujur orang tua bakalan nanya macem-macem.

"Hati-hati di jalan. Oh iya kamu mau pulang jam berapa?"

"Kenapa ma?"

"Beliin mama kecap dong di mini market. Duitnya ambil di dompet." Dwina langsung mengangguk paham. Mama melanjutkan kembali masaknya sedangkan Dwina berusaha menyeret kaki malasnya ke kamar mama untuk mengambil uang.

Kemudian Dwina keluar dari rumah, hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit berjalan kaki menuju rumah Putri yang beda satu blok dengan rumahnya. Rumah Putri identik dengan gaya moderen minimalis, mempunyai dua lantai, dan sebuah kolam renang pribadi di bagian belakang. Tiba di rumah Putri, Dwina lekas membuka gerbang sendirian lalu menyapa bu Jannah selaku PRT Putri yang kini sedang menyapu teras.

"Ada Putrinya bu?" Tanya Dwina kala bu Jannah menghampiri Dwina.

"Ada di dalem. Kayaknya dia masih di kamar, masuk aja nggak papa." Sahut bu Jannah ramah.

"Makasih bu." Dwina permisi masuk ke dalam. Rumah Putri berkesan sangat dingin tentu dengan maksud lain. Putri tinggal seorang diri di rumah ini, sedangkan ibunya Putri sudah meninggal sedangkan ayahnya menikah dengan wanita lain dan tinggal di tempat terpisah dengan Putri, entah kenapa bisa begitu. Dwina tidak mau terlalu mencari tahu urusan pribadi Putri, bagi Dwina itu adalah privasi dan aib yang baiknya di simpan sendiri.

Kadang kala Dwina menginap di rumah Putri atau tidak main seharian saat liburan tentu jika orang tua Dwina sedang ada urusan di luar kota.

"Put.." Dwina mengetuk pelan kamar Putri yang berada di bagian kanan ruang tengah, tentu sangat mudah menemukan kamar dia.

"Wi masuk aja." Balas Putri suaranya terburu, dia seperti sedang kerepotan. Dwina membuka pintu lalu melesak ke dalam. Aroma ceri begitu harum memenuhi ruangan, parfum tersebut menjadi ciri khas Putri sejak SMA dan Dwina seolah terbiasa dengan itu.

"Bentar lagi, okay? Aku mau ganti baju dulu."

"Memang kenapa?" Tentu Dwina heran, Putri sudah rapih berkemeja putih biru berpadu celana jeans dan tampak siap untuk pergi.

"Lihat. Baju aku nggak sengaja kena lipstik." Putri cemberut mengadu kekesalannya pada Dwina.

"Kasihan." Dwina menunjukkan simpatinya melihat lengan bajunya terdapat goresan warna peach.

"He em nih aku sebel banget."

"Ya udah aku tungguin." Bibir Putri mengerucut lalu dia pergi ke kamar mandi.

Kurang lebih Dwina paham atas perasaan jengkel Putri. Apalagi temannya itu cukup perfeksionis dalam urusan penampilan. Siapapun akan bisa menilai baik tentang kecantikan Putri, bahkan dia sesekali menjadi model sejumlah produk kecantikan dan banyak sekali yang menawarkan endors di media sosialnya.

"Kita mau langsung ke pamerannya aja?" Tanya Putri usai berganti pakaian.

"Memang ada tempat lain yang mau kamu kunjungi?" Dwina bertanya balik.

"Nggak sih. Siapa tau kamu pergi kemana dulu gitu." Putri hanya menawarkan saja. Hari ini dia punya banyak waktu longgar karena dosen yang pengajar sedang sakit dan kelas kuliahnya di ganti oleh tugas.

Sepintas Dwina teringat titipan belanjaan dari ibunya. "Sebenarnya aku mau ke mini market di suruh beli kecap sama mama."

"Ya udah nanti kita mampir supermarket di dalam mall, habis itu kita bisa sekalian makan siang. Gimana?"

"Boleh." Sebuah anggukan Putri dapatkan dari Dwina. Mereka berdua pun bergegas keluar rumah dan menuju mobil Putri yang terparkir di halaman.

Latar belakang Putri memang agak buruk namun untuk urusan keuangan dia mendapatkan lebih dari pada cukup. Ayahnya seorang pegawai negeri berpangkat tinggi, belum lagi mempunyai beberapa usaha restauran. Sengaja atau tidak Dwina sering mengamati pola kehidupan Putri. Bukan bermaksud membandingkan hanya saja spontanitas yang biasa dilakukan oleh banyak orang.

"Dwi, kamu yang nyetir mobil aku ya? Kemaren aku pulang kemaleman jadi masih capek." Putri memberi cengiran. Mereka berdua memang sering bergantian menyetir mobil atau motor terutama bila menempuh perjalanan panjang contohnya saat mereka pergi ke pantai Anyer menyusul acara kampus Dwina.

"Oke." Dwina mengangguk setuju. Jujur dia ingin sekali mempunyai mobil, namun keluarganya masih tidak yakin akan keahlian Dwina dalam menyetir. Jadi sampai sekarang Dwina di antar jemput oleh ayah, kak Bayu atau naik ojek langganan. Dwina sendiri juga tidak paham kenapa para laki-laki di rumahnya sangat protektif. Maka dari itu Dwina diam-diam ikut kelas mengemudi bersama dengan Putri dan mendapat SIM.

Dwina menerima kunci mobil dari Putri, dia lalu melesak ke kursi kemudi memasang seatbelt dan menyalakan mesin. Sedangkan Putri masih sibuk meletakkan beberapa barang bawaannya di kursi belakang.

"Kamu udah ngecharger penuh kamerakan?" Putri memang perlu diingatkan banyak hal penting kalau tidak dia akan sebal seharian.

"Udah dong." Balas Putri senang, langsung Dwina tersenyum kecil. "Aku juga bawa camilan buat kita. Tapi bu Jannah siapin sandwich."

"Seriusan?"

"Pake tuna sama alpukat. Kesukaan kita." Banyak juga kesamaan di antara mereka. Kadang Putri sendiri menganggap mereka sehati. Lucu memang, semakin dewasa dia lebih mementingkan bersahabat akrab dengan sedikit orang dari pada mencari banyak teman spesial seperti waktu sekolah dulu. Namun bukan berarti berkenalan bersama orang baru adalah hal buruk, bagi dia itu juga penting. Memperluas hubungan sosial itu menguntungkan kehidupan Putri.

Setelah bersiap mereka berangkat menuju pameran lukisan di daerah pusat kota.


_________________

Hei., Jangan lupa klik tombol Vote ⭐ dan cuatkan komentar anda..

Terima kasih sudah berkunjung..🥰🥰🥰

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now