21. Perasaan ini (9)

9.2K 810 4
                                    

Seorang pelayan mengantarkan pesanan mereka. Dwina mulai meracik kecap asin, bubuk cabe dan sedikit wasabi diaduk menjadi satu. Dia dan Arya mulai menyantap sushi mereka.

"Aku beneran minta maaf. Jujur aku juga nggak setuju sama ide gila Bayu. Entah kenapa dia tetap berhasil bujuk aku untuk ngajak kamu ke Bandung."

"Aku bisa bayangin bagaimana kak Bayu bujuk kakak."

"Gimana?"

"Tuh adek gue nganggur di rumah. Ajak aja dia, yang penting lo nyiapin jajanan banyak di mobil nanti dia langsung anteng." Dwina berakting seperti Bayu, bahkan nada suaranya dibuat seperti orang super santai dan singkat padat seolah hidupnya nggak punya beban.

"Bener banget. Bayu ngasih aku banyak 'wejangan'. Inilah itulah, sampai aku mikir Dwina tuh orang kayak gimana sih? Penasaran sampai Bayu ngomong panjang lebar."

"Terus?"

"Aku kaget ternyata kamu kayak anak remaja. Tinggi kamu kurang dari sebahu aku."

"Jangan gitu dong. Aku udah banyak usaha nih, tapi gen ibu ngalir di aku."

"Sebenarnya itu bukan masalah besar buat aku." Dwina tetaplah Dwina, lebih atau kurang adalah urusan lain, begitu menurut Arya. Cukup Dwina menjadi diri sendiri merupakan sebuah kelebihan.

"Dulu aku nggak pernah ngerasa aku tuh pendek. Pas kak Bayu sama ibu ngomong 'wi kamu tuh pendek banget sih' Apa? Aku itu punya temen lebih pendek dari aku jadi aku nggak sadar kalau aku itu pendek." Sejenak Dwina mengunyah pelan makanannya.

"Kalau keluarga aku rata-rata gennya tinggi. Aku ngikutin ayah. Dulu sempet aku mau dimasukin militer, sayangnya ibu aku nolak keras."

"Ibu itu bagaikan CEO, Founder, Owner dan sejenisnya. Dia punya hak besar di rumah tangga. Kita mah apa? Tetap dipandang anak-anak meskipun udah gede begini."

Beberapa lama kemudian mereka menyelesaikan acara makan. Bagi orang yang sedang kencan, nonton bioskop adalah pilihan lumrah tetapi Dwina dan Arya hanya mampir saja untuk melihat-lihat poster film yang ditayangkan hari ini. Tidak ada yang menarik minat mereka, sebab keduanya lebih memilih ngobrol dari pada nonton.

"Kata Bayu hari ini kamu ulang tahun."

"Iya. Aku sampai sekarang masih ngerasa umur aku berhenti di tujuh belas tahun."

"Ya ampun Dwina.. Sisa umur yang lain disimpen di tas?" Arya menanggapi bercandaan Dwina.

"Maunya sih begitu. Lagi pula keluarga aku masih sering nganggep aku anak-anak. Apalagi kak Bayu, jahilnya benar-benar nggak ketolong."

Mereka berjalan keluar tempat bioskop menuju toko kue. Dwina ingin membeli kue red velved untuk perayaan ulang tahun di rumahnya nanti serta satu buah cup cake untuk dirinya sebab Arya kurang menyukai itu.

"Pulang nanti aku anterin ya?" Seru Arya sambil melihat Dwina menikmati cup cakenya. Diawal Arya sengaja membiarkan Dwina berangkat sendirian, perempuan itu bersikeras dengan berbagai alasan. dan kini ia mencobanya kembali.

"Boleh. Tapi memang hari ini kakak nggak ada kerja?"

"Tim aku minggu ini berhasil nyelesaian sebuah proyek pembangunan. Jadi ada dikasih waktu senggang sebelum lanjut untuk proyek lainnya."

Dwina menggangguk saja, padahal dia tidak mengerti apapun tentang bidang teknik sipil. Biasanya Dwina menyebut mereka adalah tukang bangunan dengan versi elit. Meski begitu dia bangga pada orang-orang yang hebat dalam passionnya masing-masing bagaikan menemukan jati diri dari sebuah pekerjaan.

Butuh waktu satu jam lagi untuk mereka selesai berkeliling gedung mall. Dwina sudah lumayan lelah berjalan dan Arya menyarankan agar pulang. "Kalau ada waktu lain kali kita nonton yuk." Ajak Arya sesaat dia mulai duduk di balik kemudi mobil.

"Oke." Dwina tersenyum sambil memasang seatbelt.

Arya menjalankan mobil keluar dari basement parkiran menuju rumah Dwina. Hari ini berjalan cukup lancar untuk mereka, apalagi Arya bersyukur atas sikap terbuka Dwina untuknya. Jujur ini lebih dari yang dia harapkan padahal dia pikir Dwina akan bersikap kaku sama seperti di Bandung waktu itu. Dwina, perempuan yang masih menyimpan kejutan bagi Arya dan dia menantikan selanjutnya.

Setibanya di rumah, segera Dwina turun dari mobil Arya. Ia sempat menawarkan agar Arya mampir ke rumah sebagai kesopanan namun lelaki itu menolak secara halus. "Aku tau ada Bayu di rumah, dan dia sebenarnya nggak bisa tenang aku bawa adiknya jalan hari ini."

Dwina langsung mengerti maksud Arya, bisa dibilang Ini maslaah antar lelaki.

"Salam buat orang tua kamu sama Bayu. Aku pulang."

"Hati-hati."

Mobil Arya beergerak pergi, sedangkan Dwina masih berdiri beberapa waktu di halaman rumah. Dwina berusaha menerka perasaannya saat ini, tidak ada jantung berdebar kencang, semuanya dalam kondisi baik bahkan ini terbilang terlalu tenang. Apakah ini baik?

Melewati kencan pertama akan begitu mengesankan oleh sebagian banyak orang, Dwinapun juga. Namun dia lebih memperhatikan dirinya sendiri tanpa terlalu berfokus pada Arya sebab ia mengalami perkembangan. Bukankah dia cukup banyak berbicara dengan lelaki itu, membahas apapun yang bisa diceritakan serta rasa beban itu hilang.

Meskipun Arya lebih ingin Dwina membuka perasaan dalam arti khusus, menurut Dwina ini lebih baik hal tersebut. Mereka berdua dalam mode pertemanan. Teman yang bisa diajak berbagi pikiran, saling menghargai, rasa sungkan yang tak terlalu berlebih juga Dwina tidak terpaku harus menjaga imagenya. "Cukup baik sebagai awal permulaan." Gumam Dwina sendirian.

…..

Pintu lift terbuka, Arya melangkah keluar menuju apartemennya. Selama perjalanan pulang kepalanya dipenuhi tentang pertemuannya dengan Dwina. Satu hal besar yang perlu digaris bawahi, batas antara dia dan Dwina terlihat begitu jelas. Dwina memang lebih terbuka, namun Arya tidak akan mudah diberi ruang masuk ke dalam hati dia.

Dwina hebat memperlihatkan segala sisi simpatinya, memberikan kesan lucu dan mungkin masih sedikit orang tau tentang sifat satu ini. Arya mendesah frustasi, Dwina memberi jalan sekaligus menutup jalan. Lalu sebenarnya apa yang diinginkan perempuan itu?

Jika Arya tidak terlalu peka terhadap Dwina, bisa jadi ia salah oleh prasangka jika Dwina sudah membuka perasaannya. Sudahlah, Arya tetap memiliki waktu lain agak hubungan mereka lebih baik.

Arya membuka kulkas kemudian mengambil satu botol air mineral dan meneguknya hingga kandas. Berfikir tampilan Dwina tadi sungguh menyungguhkan kesan manis. Dewasa dalam satu titik, sedangkan ia juga menutupi segala oleh sikap lugunya. Sangat menipu dan berbahaya. Dwina cerdas dalam mengatur emosional bagaikan ia bisa membaca pikiran lawan bicara.

"Sebenarnya apa sih golongan darahnya? AB?" Apa ia perlu bertanya pada Bayu? Arya tersenyum miring. Ini pertama kalinya Arya dibuat berfikir keras oleh seorang perempuan.

Arya membuka aplikasi album di hpnya. Diam-diam ia menyimpan foto Dwina dan Fadli yang pernah dikirimkan oleh ibunya. Secara seksama ia memperhatikan gambaran itu, sebenarnya apa alasan dirinya sampai menyukai Dwina?

________________

Hai,. Jangan lupa letakan vote besar⭐ dan cuatkan komentar anda...

Terima kasih sudah membaca.. 🥰🥰🥰

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now