102. Kepiluan Jiwa (4)

3.3K 352 30
                                    

Entah sudah berapa lama Dwina tertidur. Jatuh tertidur akibat perasaan yang buruk bukanlah sesuatu yang bagus, apalagi dianggap sebagai pelarian diri atau istirahat sejenak. Ketika seseorang tidur dalam jiwa tertekan, yang ada malah timbul dampak buruk akibat kualitas yang tidak baik. Entah itu semakin menurunkan intensitas perasaan alias kurang bersemangat menjalani aktivitas ataupun berkurangnya kinerja organ tubuh.

Disisi ranjang, mama Ratih sedang mengompres kening Dwina dengan air hangat. Tubuh Dwina panas, dan dia terlihat kesusahan bernapas. Sudah tiga jam berlalu Dwina tertidur dalam kondisi gelisah. Sewaktu dia tiba tadi, anak itu tergeletak tidur di lantai beruntung dia datang bersama suaminya jadi suaminyalah yang menggendong Dwina ke tempat tidur.

Dwina tidak pingsan. Sesekali dia masih merespon ketika dirinya membangunkan Dwina untuk mengganti pakaian, makan dan minum obat.

"Kak Dwina sakit? Sakit apa ma?" tanya Destina untuk kesekian kalinya. Mama Ratih mendesah ia mengalihkan pandangan ke Destina.

"Jangan berisik, nanti kak Dwina-nya bangun. Kamu nonton tv aja sana sama papa." Suruh mama Ratih agar Destina keluar dari kamar.

"Nggak mau. Aku maunya sama mama aja." Bukannya pergi, Destina malah menaiki ranjang dan duduk di samping Dwina dengan menatap penasaran. Tadi dia melihat mama cemas, panik sampai menangis sewaktu di mobil. Jelas sekali Destina terheran-heran.

Mama Ratih mengganti kompresan Dwina dengan handuk yang lain. Ia juga sesekali mengelap leher serta tangan Dwina serta berharap obatnya cepat bereaksi.

Mata Dwina mengerjap, ia menghela napas berat lalu melihat mama Ratih menatapnya prihatin. "Mama..."

"Mau ke dokter?"

Dwina langsung menggelengkan kepala, "Nanti juga baikkan."

"Mau minum? Mama buatin kamu teh hangat manis." Mendengar itu lekas Dwina perlahan duduk, lalu menyesap teh hangat yang di sodorkan mama Ratih.

"Kondisi begini kenapa kamu bisa sendirian? DImana suami kamu?" Pertanyaan mama Ratih membuat Dwina hampir kehilangan kata-kata. Ia kembali membayangkan ekspresi terakhir Arya sebelum lelaki itu pergi dari rumah sukses membuat dada Dwina makin sesak.

Mendapati Dwina diam saja, mama Ratih membelai kepala Dwina dengan lembut. "Mama nggak bisa nasihatin kamu apa-apa. Selama ini mama lepas tanggung jawab untuk mengurus kamu. Apalagi mama bukan orang yang handal memberi nasihat dalam urusan rumah tangga, dulu mama pernah gagal. Tapi harus ingat mama akan berusaha untuk nemenin kamu melewati masalah-masalah yang menimpa kamu. Mama nggak akan tanya macam-macam. Kamu berhak menyelesaikan dengan caramu sendiri. Mama akan dukung, jika kamu butuh dukungan untuk menguatkan diri kamu."

"Makasih ma..." Sahut Dwina serak, lalu langsung memeluk mama Ratih seerat mungkin, mencoba mengusir segela kepenatan yang ada di hatinya. Tak pernah terpikirkan bila di dalam pernikahan ia sangat membutuhkan seseorang yang mendorongnya di belakang. Membuat dia tetap bertahan dan tabah.

"Mama, kak Dwina kok wajahnya sedih? Kenapa sampai meluk mama?" Destina semakin mendekat ke sisi mereka. Melinguk dari sisi lain agar ia bisa melihat wajah Dwina. Sungguh rasa penasarannya sangat tinggi, dia tidak mengerti kenapa orang dewasa bisa semanja ini.

"Kak Dwina sakit, dia minta di peluk mama. Waktu kamu sakit pasti juga minta dikeloninkan?" seru mama Ratih menjelaskan setelah itu Destina mengangguk samar.

Mendengar suara mungil Destina, Dwina tersenyum kecil sepertinya Destina sedikit cemburu padanya karena mama Ratih sedang memanjakan dia.

"Ternyata kamu juga ikut kesini. Nggak sekolah?" ujar Dwina. Karena demam, ia kurang menyadari kehadiran orang lain selain mama Ratih. Sekujur tubuh hampir mati rasa dan menggigil, kedua matanya sembab yang ada ia melihat gelombang panas di pelupuk matanya. Jadi respon tubuh Dwinata atas kehadiran orang lain menurun drastis.

Trust Your Heart [END]Kde žijí příběhy. Začni objevovat