7. Mengenal (5)

34K 3.4K 23
                                    

Mereka berdua menuju ruang dapur berdesain apik sekilas membuat Dwina terperangah. Secara langsung dia langsung jatuh cinta dengan dapur tersebut. Sebuah set kompor listrik beserta vakum asap di atasnya, microwave, pemanggang roti, kulkas dua pintu berwarna hitam pekat memberi kesan elegan, meja dapur marmer dengan satu set pisau keramik anti tumpul dan ia tahu itu pasti sangat mahal.

"Sumpah cantik dan kekar banget kamu sayang.." Bisik Dwina dalam hati ingin meneteskan air mata saat ia mencoba menyentuh tepi meja dan kulkas merasakan betapa kuat dan indah bagaikan maha karya. Bila orang lain mendengar apa isi otaknya, Dwina bisa menjadi bahan candaan.

"Suatu hari nanti aku akan membeli dan menggapai dapur impianku."

Dari awal rumah ini menipu Dwina. Bagian depan rumah sengat di design sederhana juga terlihat sempit, namun jika mulai memasuki ruang tengah serta halaman akan melimpahkan kesan lapang. Sirkulasi udara selalu teratur baik dengan sejumlah ventilasi memadai sekaligus tertata. Belum lagi gaya interior yang berkesan mewah sekaligus menyatu alam. Bahkan sebuah dapur di buat nyaman sekali untuk memasak.

Dwina bergerak mencari makanan di balik tudung saji, lemari atas serta kulkas. Sepertinya ia tidak bisa menemukan dimana makanan sisa semalam di letakan. Padahal Dwina memperhatikan sisa makanan semalam berlimpah banyak.

"Bisa tanya ke PRT kakak? Kayaknya ada lemari khusus untuk tempat simpan makanan."

"Oh.. Kayaknya makanan semalem di taruh sana." Arya menunjuk ke lemari terletak di pojokan. Kemudian ia mengikuti langkah Dwina ke tempat itu. Jujur sedari tadi ia nyaris terkekeh melihat tingkah unik Dwina. Dia terkadang kaku, emosional, bahkan menampilkan raut muka aneh hanya karena melihat sebuah dapur.

"Ini kulkas juga?" Tanya Dwina terheran pada Arya ketika ia kira itu adalah lemari biasa.

"Iya. Nggak tau deh, intinya dapur ini di bawah kekuasan ibu. Kalau ditanya kenapa punya dua kulkas, mungkin jawabannya 'terserah ibu dong, laki-laki mah mana paham urusan perempuan' padahal aku serius nanya itu."

"Aku tau. Ini kulkas khusus makanan yang udah di masak, kalau kulkas satunya di khususkan untuk buah-buahan, rempah-rempah dan sayuran yang belum di masak. Kalau misalkan itu dijadikan satu nggak akan muat berhubung ibu kamu selalu membeli buah-buahan dan camilan ringan dalam jumlah banyak karena di sini orangnya ada banyak."

"Oh begitu."

"Tapi menurutku idenya bagus kok. Biar lebih tertata."

"Iya deh intinya para cewek maunya kayak begitu."

"Bilang aja kakak nggak paham."

"Betul." Kenapa harus seribet itu cuman ngurusin sebuah makanan? Gumam Arya dalam benak.

"Dasar." Mereka berdua tertawa pelan.

Dwina memeriksa makanan semalan yang nyatanya cukup sedikit. Tersisa rendang, ayam bakar dan abon ikan. Mungkin ibunya Arya kurang suka mengonsumsi makanan yang sudah dipanaskan berulang sebab kurang baik bagi kesehatan.

"Boleh nggak kalau aku bikin nasi goreng? Sama bubur buat keponakan kakak?"

"Kamu mau masak?" Arya bertanya ulang untuk memastikan.

"Iya. Tapi kalau di izinin juga nggak papa kok." Dwina sadar diri ia sedang di rumah orang lain.

"Boleh-boleh."

"Ya udah aku cek dulu magic comnya dulu. Mau lihat cukup apa nggak untuk orang serumah." Dwina berjalan ke sisi tempat magic com berada.

"Hah? Kamu serius mau bikinin nasi goreng buat semua orang." Di rumah ini lebih dari lima belas orang. Belum PRT sama satpam depan.

"Iya serius. Sekalian mau bikin bubur juga." Dwina heran kenapa Arya selalu bertanya ulang. Memang ada yang aneh?

"Mau aku panggilin mbak Ijah buat bantuin kamu masak."

"Nggak usah. Kan ada kakak yang bantuin aku."

"Aku nggak bisa masak."

"Siapa yang nyuruh kakak masak. Kakak cuman bantuin aku nyiangin sayuran, bawang merah, bawang putih, cabe, sama irisin ayam dan bakso."

Arya merasa kurang percaya diri berhadapan dengan berbagai rempah-rempahan yang disebutkan Dwina. Seumur hidupnya ia belum pernah bergelut di dapur kecuali masak mie instan dan bikin kopi.

"Kayaknya nasinya pas banget untuk orang serumah. Kita bisa langsung mulai aja." Dwina menyiapkan sejumlah rempah-rempahan, lalu mengintruksikan Arya sedangkan dia sendiri mulai membuat bubur.

Baru beberapa waktu saja Arya sudah menangis karena bawang merah. "Pedes banget aku nggak kuat." Keluh Arya.

"Jangan ngucek matanya pake tangan bekas ngupas bawang. Gimana kakak nggak nangis coba?" Dwina memperingati.

"Biar aku yang kupas bawangnya. Kakak kerjain yang lain." Dwina mematikan kompor untuk memasakan bubur dan mengambil alih mengupas bawang.

"Kerjain apa?" Tanya Arya.

"Rajangin cabe, suwirin ayamnya sama potongin bakso." Dwina harus sabar berhadapan dengan Arya dan membiarkan laki-laki itu merasakan apa itu namanya masak.

"Oke."

"Jangan lupa di cuci dulu cabenya sebelum di potong." Tangan Arya yang bergerak memotong cabe langsung berhenti. Dia bener-bener buta masalah dapur Ya Tuhan… Mulai sekarang dia nggak akan menyepelekan sebuah makanan. Karena bikinnya aja butuh ilmu dan keterampilan.

"Itu leher kamu kenapa?" Arya baru menyadari ada ruam merah di leher Dwina karena perempuan itu baru saja melepaskan syalnya.

"Oh ini. Kayaknya aku kena alergi dingin." Menurut Dwina ini masalah yang tak penting untuk dibahas. Berbeda dengan Arya, dia mengerutkan kening karena tak menyukai sikap Dwina yang menyepelekan sesuatu hal.

"Kamu udah minum obat?" Tanya Arya.

"Aku nggak bawa obatnya. Tapi nanti ini juga bakalan hilang sendiri." Obat antihistamin hanya untuk mengurangi bengkak dan bercak pada tubuh, bukan mengobati seutuhnya. Sebuah alergi tidak mungkin bisa dihilangkan, itu termasuk bawaan dari lahir. Jadi baiknya ada pencegahan sejak awal. Dwina sama sekali tak kepikiran untuk membawa obat karena terbilang jarang sekali ia mengalami alergi dingin. Dan Dwina lebih suka ke dokter langganan keluarganya di Jakarta.

"Kamu masih inget obatnya apa." Sekuat tenaga Arya menenangkan diri. Alergi dingin Dwina tidak ada di dalam wejenang dari Bayu. Mulai sekarang Arya akan lebih memperhatikan Dwina. Ia tidak pernah bermain-main dengan niatnya.

"Iya."

"Nanti aku beliin."

"Oke." Dwina hanya bisa menjawab iya dan iya. Bisakah Arya bersikap lebih wajar?Dia bukan siapa-siapa yang berhak mengomel apalagi seenaknya memasang tampang mengerikan. Dwina mendadak gerah.

_________________

Berikan dukungan kalian berupa vote dan komentar ya .

Terima kasih

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now