4. Mengenal (2)

12.8K 997 22
                                    

Sampai di kediaman orang tua Arya, Dwina bisa bernapas lega. Dia merasa lelah padahal hanya duduk diam saja. Dwina bergegas keluar mobil, terdapat lima mobil terparkir di halaman rumah. Dari dalam rumah tampak ramai, jangan-jangan ada acara keluarga? Dwina jadi tidak enak sendiri sebab dia hanyalah orang asing di tempat ini.

"Lama banget ya kak Bayu nggak dateng-dateng." Gumam Dwina spontan menoleh ke pintu gerbang.

Otomatis Arya pura-pura tuli mendengar Dwina bicara demikian. Nyatanya Bayu tidak akan ke Bandung.

"Masuk yuk." Arya menyerahkan tas ransel Dwina dan membawa beberapa barang kemudian masuk ke dalam rumah.

"Assalamualaikum..." Seru Arya senang, akhirnya dia bisa pulang juga.

"Waalaikumsalam..." Sahut ibu Laras berjalan cepat menyambut anak bontotnya pulang. "Eh..

Arya tumben kamu pulang." Lanjut ibu Laras bernada sindiran. Kalau bukan karena asam uratnya kumat anak itu tidak akan pulang.

"Nggak pulang salah, pulang juga salah." Gerutu Arya lalu mencium tangan ibunya.

"Nggak ada yang salah. Lagian kamu sibuk banget, kan ibu kangen." Keduanya langsung tersenyum. Sebuah pelukan ibu terasa hangat sekali bagi Arya. Kemudian ibunya memberi isyarat mata ke arah perempuan yang di sebelah Arya. Dan inilah waktunya! Kehadiran Dwina akan menjadi obat sementara untuk ibunya yang selalu menanyakan perihal kapan nikah pada Arya. Nggak perlu neko-neko, cukup setor muka kalau ada perempuan yang sedang didekatinya dan masalah selesai. Ibunya akan langsung diam

"Siapa ya?" Senyuman ibu Laras tersebentuk yang lalu dibalas oleh Arya.

"Ini Dwina. Adik perempuannya Bayu."

"Bukannya kamu bilang Bayu punyanya adik laki-laki?"

"Kemarin aku salah bu. Kukira Dwi itu nama cowok." Itu kenyataan namun Arya ingin menekankan lebih pada ibunya supaya kebohongannya yang lain sedikit tertutupi.

"Oh gitu.. Ya udah masuk-masuk." Dwina menurut saja saat dia dituntun masuk ke dalam rumah oleh ibu Laras. Dari belakang Arya dihadiahi satu jempol diiringi wajah berseri ibunya. Good job, nak. Arya terkekeh pelan melihat tingkah ibunya yang berlebihan. Sudahlah biarkan saja ibunya seperti itu.

Dwina dipersilahkan duduk di sebuah sofa besar bersama seorang wanita yang sedang menyusui anaknya. Bukan hanya itu, masih banyak sanak saudara Arya dan anak-anak kecil berlarian di ruang tengah. Makanan ringan banyak tersaji, beberapa orang dewasa tampak sibuk di dapur dan sebagian asik menonton siaran bola di tv. Suasana rumah tampak hidup seperti lebaran.

Orang asing tetaplah orang asing. Sekali lagi Dwina ingin tenggelam ke dalam inti bumi. Kenapa dia terjebak dalam keadaan ini? Heh?

Lain halnya diri Arya. Dia disambut antusias oleh para keponakannya. Dengan gemas Arya mencium satu persatu keponakannya. "Om Arya.. Cium pipi aku lagi dong." Kata Jessica berumur tiga tahun.

"Oke! Sini Om cium lagi." Setelah itu keponakannya bernama Karen yang berumur dua belas tahun datang menyalami tangan Arya bersamaan dengan munculnya kakak tertuannya dari arah dapur.

"Arya.. Itu yang dateng pacar kamu?" Celetuk teh Bika sambil memasang wajah meledek.

"Bukan teh." Balas Arya berbisik pelan. Kadang teh Bika sebal melihat respon datar adiknya.

"Terus dia siapa dong?"

"Dia adik perempuan yang kupinjem dari temenku."

"Astagfirullah... kamu ada-ada aja sih," teh Bika mencubit keras lengan adiknya karena gregetan dengan tingkah aneh adiknya. Mana ada acara minjem-minjem perempuan demi menyenangkan hati Ibunya. Kualat tau rasa. Apalagi yang dibawa perempuan bertampang kalem kayak begini.

"Dia terima aja nemenin kamu kesini?" Balas teh Bika tanpa memperdulikan Arya sudah mengaduh kesakitan atas cubitannya.

"Dia nggak tau kalau mau aku bawa kesini buat beginian." Lanjut Arya santai berbanding terbalik dengan teh Bika yang menimpalinya dengan nada tinggi makin gregetan.

"Kok bisa nggak tau sih? kamu jebak ya dia?" Arya tidak terima atas tuduhan tidak senonoh itu. Sebrengsek apapun dirinya, ia tidak pernah melakukan hal buruk terhadap perempuan walaupun kadang ada perempuan yang bersikap kurang ajar dengannya salah satunya adalah mantannya bernama Putri.

"Enak aja aku nggak pernah jebak dia sama sekali. Dianya juga nggak nanya apa-apa ke aku. Ya asal ikut aja." Tampang cengengesan Arya bikin teh Bika naik darah.

"Mana mungkin dia asal ikut aja! Pinter banget kamu." Teh Bika tidak mengerti jalan pikiran adiknya. Kalau ada hal buruk yang terjadi pada perempuan itu, kan jadi urusan berabe.

Memang benar Dwina tidak pernah menanyakan apapun pada Arya tentang tujuan mereka, intinya mereka pergi ke Bandung titik. Semua urusan tentang Dwina sudah ditangani oleh Bayu, Arya tinggal terima beres dan nggak perlu ribet. Mau dijelaskan berulang kali kakaknya tidak akan dan tidak mau mengerti.

"Ya udahlah.. Dianya juga diam aja nggak banyak komentar." Bukan maksud Arya menggampangkan persoalan ini. Tapi dia tetap harus maju.

"Awas kamu ngapa-ngapain anak orang lain."

"Siapa juga yang mau ngapa-ngapain dia." Teh Bika bisa langsung sadar kalau ada maksud lain dari ucapan Arya. "Kakaknya sendiri yang nitipin dia ke aku. Mana mungkin aku berani ngelakuin hal aneh sama adeknya bisa dihabisin aku."

"Terus. Kapan mau dibalikinnya?"

"Besok lusa." Jawaban itu sepertinya tidak berguna juga untuk teh Bika.

"Ya udah kamu urusin dia baik-baik. Lain kali jangan begini lagi." Teh Bika kembali memperingati.

"Oke pasti dong." Arya memberi sebuah cengiran lalu teh Bika dengan cemberut pergi ke dapur untuk bantu masak makan malam.

________________

Hai.. Jangan lupa berikan vote⭐ dan komentar kalian ya..

Terima kasih sudah membaca 😘😘

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now