84. Bayangan Rasa (7)

3.4K 343 6
                                    


"Bagaimana kalau kita berpisah?"

"Kita saling berselisih, saling meragukan perasaan satu sama lain, lalu akhirnya akan menyakiti diri kita."

"Aku lelah dengan perseteruan yang tidak memiliki ujung."

"Kita berpisah."

Kalimat perpisahan itu menyedihkan, melukai perasaan mereka. Apakah ini menjadi alasan terbaik berpisah lebih awal padahal mereka belum mencoba dan mengorbankan banyak hal demi menjaga hubungan mereka? Bagi Dwina, keputusan mereka bodoh, bodoh sekali. Sampai rasanya dia benci pada kalimat tersebut.

Kebencian, kesedihan, rasa kalut bersarang di hati Dwina hingga dia terbangun dari tidur. Dia bermimpi tentang kejadian buruk antara dia dan Arya, tanpa terasa setetes air mata jatuh ke pipinya.

Sepertinya dia tidur terlalu sore. Cahaya petang berwarna jingga menembus jendela kamar menambah intensitas perasaan Dwina semakin memburuk.

Dengan tubuh lemas, Dwina terduduk dari tidurnya. Dia sesekali memijit pangkal hidung mengurangi dentaman di kepala. Dia harus segera bangun lalu mandi, sebentar lagi Arya akan pulang kerja. Tetapi diri Dwina yang sedang ingin bermalas-malasan malah berjalan menuju sofa, menyalakan siaran televisi secara acak sambil duduk bersandar di sofa.

Dwina lupa seperti apa mimpi dia tadi, yang tersisa hanyalah perasaan emosional yang tak kunjung larut bahkan membuat Dwina ingin menangis lagi. Benar kata mama, tidur sore itu tidak baik, membuat orang mudah linglung dan sensitif. Serta tubuh menjadi tidak enak badan.

Beberapa saat kemudian pintu apartemen terbuka, Dwina melihat Arya sudah pulang. Lekas Dwina mengahmpiri, ia mencium punggung tangan Arya lalu dia mendapatkan kecupan di kening. Ini kebiasaan mereka yang menciptakan ketenangan bagi Dwina.

"Kamu baru bangun tidur?" Arya melihat mata Dwina sembab. 

"Iya tadi tidur sebentar. Hari ini capek banget," Dwina menjawab sembari menyiapkan segelas air putih dan memberikannya pada Arya. 

Dwinapun kembali duduk kini bergabung dengan Arya di sofa, dia menyandarkan kepala ke bahu Arya. 

Kedua tangan mereka saling berangkulan, menikmati siaran televisi sambil meresapi suasana tenang dan nyaman. Dalam beberapa saat momentum ini terasa berharga. Dwina bisa merasakannya, dia tahu gejolak di hati Arya perlahan mereda terbukti dari gengaman lembut Arya dan deru napas yang teratur.

"Kamu suka nonton program tv petualangan seperti ini?" ujar Arya mengamati siaran televisi yang menampilkan perjalan dua orang artis populer menjelajahi tempat destinasi menarik untuk liburan.

"Lumayan suka. Aku jadi tahu beberapa tempat menarik dan makanan khas yang mereka rekomendasikan. Program tv yang bagus untuk orang seperti aku yang suka di rumah."

"Apa film favorit kamu?" 

Dwina merasa bingung karena ini pertama kalinya Arya bertanya hal sederhana seperti ini. Apalagi dia tau Arya adalah pria dewasa yang lebih memikirkan persoalan penting. 

"Film favorit aku banyak."

"Salah satunya?"

Dwina bergerak ke posisi duduk sedikit mengarah ke Arya, dia bercerita dengan antusias, "Mungkin karya novel yang terkenal kemudian di filmkan. Seperti Pride and Prejudice, karya Jane Austen, Romeo and Juliet karya Willian Shakespeare dan The Notebook karya Nicholas Sparks. Aku juga suka film romantis Me Before You tapi aku benci endingnya."

"Aku akan ingat itu." Salah satu tangan Arya membelai lembut wajah Dwina. Sudah sangat terlambat baginya menyakan hal itu. Arya merasa bersalah.

"Sebelum pulang aku beli buah pir kesukaan kamu, mau aku kupasin?" Dwina langsung bangkit menuju dapur sebelum ia mendengar persetujuan dari Arya.

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now