110. Pertemuan Hati (2)

4K 348 12
                                    


Setelah melalui persidangan menegangkan, Arya berjalan keluar dari gedung pengadilan. Ia hadir sebagai pihak penuntut sekaligus saksi mata atas penyerangan yang dilakukan oleh Jordan Avendis. Proses pengadilan sangat lama, ini baru sidang kedua. Hakim belum mengambil keputusan hukuman untuk kasus Jordan karena dia sudah melakukan banyak pelanggaran, termasuk kasus narkoba.

Arya lekas masuk ke dalam mobil. Ia akan pulang, semua pertemuan pekerjaan sudah dibatalkan semua khusus hari ini. Jam masih menunjuk pukul sebelas, hampir mendekati jam makan siang. Biasanya Dwina akan makan lebih awal sambil menonton siaran tv. Arya bersyukur perempuan itu sudah bisa makan dengan baik.

Sudah tiga hari semenjak Dwina pulang dari rumah orang tuanya. Arya lebih leluasa melakukan apapun, sebab di rumah orang tuanya Dwina Arya terus di pantau oleh keluarganya terutama Bayu.

Rumah mereka sedang dalam tahap akhir  pembangunan, jadi Arya memilih untuk menyewa sementara sebuah rumah bukan apartemen agar Dwina lebih nyaman. Rumah itu memiliki dua tingkat, taman di halaman belakang, kolam renang kecil, dan garasi. Lokasinya masih tidak jauh dari rumah kedua orang tua Dwina. Itu yang paling utama.

Beberapa menit kemudian Arya tiba di rumah. Namun disana ia tak menemukan sosok Dwina. Asisten rumah tangga sedang menyetrika di kamar belakang hingga tidak tau Dwina dimana. Arya melirik piring makan siang di atas meja, Dwina sepertinya belum menyelesaikan acara makannya.

Lekas Arya membuka ponselnya, lalu memeriksa rekaman cctv. Lima menit lalu Dwina masih makan di meja makan, setelah itu dia terlihat panik melihat pintu depan dan terburu pergi ke kamar mandi dalam kamar mereka. Sudah Arya duga. Segeralah Arya menuju ke sana. Pintu kamar mandi terkunci, Aryapun mencari kunci cadangan yang sudah ia siapkan di laci nakas.

Pintu kamar mandi akhirnya terbuka, Arya melangkah masuk dan ia menghela napas pelan mencoba tetap tenang mendapati Dwina duduk di bilik shower sambil masih menggenggam sendoknya. "Ngapain kamu disini, aku cari kamu kemana-mana."

Keterkejutan Dwina berganti rasa canggung melihat Arya menemukan dia, tadi Dwina mendengar pintu rumah di ketuk keras ia pikir... Ya, Dwina rasa itu hanya halusinasinya saja. Dwina menerima uluran tangan Arya, lelaki hanya memasang berekspresi datar. "Aku tadi butuh toilet dan..." Alasan Dwina payah sekali. Dia tak pintar membuat kebohongan.

"Kalau gitu lanjutin makan siang kamu. Nanti keburu dingin." Ajak Arya. Dwina belum pulih sepenuhnya dari trauma, ia tak akan memaksa apapun. Hanya saja ini menyedihkan untuknya, Dwina selalu dibawah ketakutan.

Arya mengangkat tubuh Dwina ke dalam gendongan. Membawa ke meja makan serta mendudukkannya di atas pangkuan. Sebisa mungkin Arya mengalihkan fokus Dwina "Hari ini makan ikan gurame lagi, kamu nggak bosan?" Arya mengambil nasi kecil yang menempel di wajah Dwina.

"Aku duduk sendiri aja. Aku berat." Kandungannya sudah membesar, namun Arya sering memanjakan dia. Tubuh Dwina ditahan dengan lengan erat Arya melingkar di tubuhnya.

"Mau kemana. Sini aku suapin." Sendok di tangan Dwina diambil lalu Arya menyendok makan menyuapkan ke mulut Dwina. "Malam makan jangan ikan gurame lagi. Ayam goreng ya? Atau kita bisa beli makanan lain diluar."

"Nggak mau. Aku maunya ikan. Kamu juga makan dong." Ucapan Dwina membuat wajah Arya tertekuk, lebih dari seminggu Arya disungguhi ikan gurame asam manis sampai Arya membuat banyak alasan untuk tidak memakan ikan yang disiapkan istrinya. Istrinya mengidam. Mana mungkin Arya tega mengomel pada tingkah Dwina.

"Dwina, kita ke dokter ya? Aku kenal dokter psikiater yang bagus. Dia bisa bantu kamu mengurangi kenangan yang tidak nyaman." Bujuk Arya kesekian kalinya. Entah kenapa Dwina enggan menerima saran itu dan mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Karena sebelumnya istrinya itu di rumah orang tuanya, Arya tak leluasa membujuk Dwina. Keluarga Dwina juga enggan memberi paksaan, lalu mengalihkan pembicaraan.

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now