73. Awal Pernikahan (4)

8K 524 17
                                    

Eits.. 21+ ke atas tutup mata..
Eh kebalik ya?

Aku sudah paham bagaimana konsekuensi yang kuterima setelah terikat dengannya. Dia mendekatiku juga menikahiku dengan cara baik-baik. Namun semua akan jelas terlihat sifat aslinya bila dia benar-benar memilikiku seutuhnya. Arya Wijaya, dia mempunyai sisi gelap yang hanya beberapa orang bisa rasakan. Bahkan keluarganya saja tidak tau dia memiliki kecenderungan egois dan obsesi yang parah.

Jauh sejak awal pertemuan pertama kita, aku tidak menyukai topeng palsu yang dia gunakan. Semua penuh kebohongan, kepalsuan apalagi itu demi mencapai keinginannya. Dia suka mendesak seseorang demi keinginannya, tapi hal tersebut tak berlaku bagiku. Bila dia mencoba bersikap demikian, aku akan makin menjauh sebab aku mengerti bagaimana dia seutuhnya.

Lalu kenapa aku terima untuk menikah dengannya?

Aku sendiri juga tidak paham. Mungkin sekali lagi aku melihat keseriusannya, dia bersusah payah mengikuti alurku. Mencoba memberikan apapun yang terbaik untukkku. Dia masih mengharagai diriku, mau mendengarkan ucapanku serta dia bersikap baik pada keluargaku. Dia jelas mencintaiku meski masih dalam diam, tependam sangat jauh di lubuk hatinya. Bagaimana bisa aku mengabaikannya jika sudah terlalu jauh seperti ini?

Apakah tindakanku hanya ingin bersikap baik saja padanya? Entahlah.

"Dwina.." Nada suaranya sangat berat berbisik padaku.

"Iya..."

"Dwinaku..." Sebisa mungkin aku bertahan pada tekanan emosional yang begitu meluap darinya. Aku tersenyum kecil, memberi tatapan lembut lalu meyakinkan dia bahwa aku akan baik-baik saja untuk penyatuan kita.

Dirinya perlahan melesak ke dalam inti tubuhku, rasa sakitnya masih bisa kutahan tapi aku tidak bisa menduga apakah aku mampu menerima dirinya yang sangat kukuh berkali lipat lebih besar.

Kak Arya mencium keningku saat disadari aku tampak kesulitan.

"Sakit ya? Jangan nangis sayang." Dia menghapus buliran air mataku.

"Maaf." Rintihku.

"Shhh. Nggak apa-apa." Diapun bergerak pelan sambil membelai punggungku. Miliknya semakin menekan ke dalam tubuhku hingga aku terengah hebat. Penghalang itu terkoyak hingga memudahkan pergerakan dirinya kemudian ritmenya mulai ku rasakan.

Tubuh kami bersimpah keringat, sensasi menyengat dan membakar setiap sarafku kian parah. Geraman desahan saling bersahutan. Kepalaku yang terasa pening bersembunyi di lekuk lehernya, masihku mencoba mengusir ketakutan kian mencengkam saat dia menghujam diriku bertubi-tubi.

Belum selesai, dia menghela tubuhku ke atas ranjang. Aku bisa melihat dia menjulang di atasku dengan kilatan gelap di kedua matanya.

"Kau sangat indah. Hem?" Ucapannya seolah mengharapkan jawabanku tapi aku masih terbisu. Aku menutupi wajahku dengan lengan, sangat malu atas tampilanku yang berantakan.

Dia kembali menghujamku, mencumbuku, memberikan sentuhan-sentuhan di titik-titik sensitifku. Dan ketika puncak itu mendekat untuk menggiringku pada rasa frustasi, jeritan pelan meluncur dari mulutku.

"Hentikan kumohon..." Rintihku merasakan kegilaan yang tak tertahankan sambil mencoba melepaskan tangannya agar tak menyentuhku lagi. Namun dia sama sekali tidak berkutik, malah sebaliknya dirinya makin menjadi-jadi. Tubuhku membusung ke sisinya, mencengkram kuat kain sprei lalu gelombang itu menerpaku hingga membuatku menangis akibat kenikmatan sangat besar diluar kemampuanku.

Trust Your Heart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang