51. Melodi Jiwa (9)

5.3K 447 5
                                    

"Hujannya udah mulai reda, kita keluar yuk makan soto betawi." Ajak kak Bayu berharap Dwina mau mengikuti permintaan dia. 

"Ya udah aku anterin."

"Kamu memang lagi nggak mau makan soto betawi dek?"

"Maunya bakso."

"Oke. Kita makan bakso aja," kak Bayu beranjak bangun diikuti oleh Dwina. 

Mereka berduapun keluar rumah berjalan kaki menuju jalan raya besar diluar kawasan kompleks, deretan para pedagang kaki lima tepat berjejer di tepi jalan. Masih cukup banyak orang yang berteduh di tenda-tenda pedagang karena hujan tadi. 

"Dua porsi bakso mang Fajar." kak Bayu melontarkan pesanan dengan nada akrab. Mang Fajar tukang bakso memang sudah jualan sejak Dwina pertama kali datang kesini, ya kira-kira lebih dari sepuluh tahun lalu. 

"Siap bos Bayu. Dua porsi bakso ekstra mozarella chesee." Sahut mang Fajar. 

"Memang sekarang ada menu ekstra mozarellanya? Jangan sok sok an deh mang."

"Seriuslah. Makannya mang Fajar kasih gratis untuk menu ini buat Bayu."

"Awas ya kalau nggak enak. Kasih rating satu nih."

"Idih beraninya ngancem. Salah dikit, rating dibanting."

"Mau ngajak ribut nih mang, pelanggan itu raja!"

"…"

Dwina mengabaikan obrolan mereka berdua dan memilih kursi di salah satu bangku di dalam tenda. 

Diluar aroma sehabis hujan masih terasa, dan kini bercampur dengan aroma bakso urat mang Fajar yang menggiurkan. 

Kak Bayu kembali setelah berbincang sebentar, dia menduduki kursi plastik yang berhadapan dengan Dwina. 

"Wi.." 

"Kenapa?"

"Kemaren malam katanya Arya datang ke rumah?"

"Iya. Dia sempet diajak ngobrol sama ayah." Dwina menampilkan ekspresi merinding seolah melakukan hal mengerikan pada Arya. 

"Terus mereka ngomongin apa?" Bayu bertanya lagi. 

"Ya gitu. Nasihatin banyak hal ke kak Arya."

Kak Bayu mengangguk paham. Tangannya mulai bersedekap di depan dada seperti dia akan mengatakan sesuatu yang serius."kamu tuh orangnya kalau ada apa-apa tuh dipendem aja sendirian. Mama sama ayah sampai bingung ngehadepin kamu, apalagi kamu tetep diam begitu aja padahal ada cowok yang ngelamar kamu."

"Aku masih belum ketemu waktu yang tepat." Dwina menunduk dalam sadar akan kesalahannya. 

Kak Bayu melepaskan napas ringan, diapun melanjutkan ucapannya. "Gini Dwina. Memang nunggu waktu yang tepat untuk bicara itu penting, tapi kamu harus punya patokan sampai kapan itu pantas disembunyikan. Ini bukan bermaksud ganggu privasi kamu loh, ini malah demi kamu."

"Kejadian tentang mama Ratih, bikin pikiran aku agak… terganggu." 

"Kakak ngerti. Tapi orang tua kita tetap akan penasaran sekali sama hubungan kalian, apakah kalian mau serius ke depan atau nggak. Asal Dwina tau, selama ini kakak yang jadi sasaran ayah tanya-tanya tentang hubungan kalian. Mulai kapan kalian kenal secara dekat? Kapan kalian pacaran? Si Arya orangnya bagaimana? Apa pekerjaan dia? Dia tinggal dimana? Dan masih banyak lagi, seolah aku yang pacaran sama dia." 

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now