91. Dinding Batas (4)

3.3K 325 24
                                    

"Boleh aku minta nomer telpon kamu?" Permintaan ini bukan sesuatu yang salah, begitu menurut Bayu. Dia sering melakukannya terutama pada para perempuan yang ia ingin dekati. Bukankah semua perempuan itu sama saja? Ada yang menolak dan ada yang menerima dengan tangan terbuka.

Pikiran yang sederhana

"Jangan ngegodain temen aku!" Tegur Dwina memukul lengan Bayu supaya sadar. Baru saja mereka bertemu kakaknya sudah membuat ulah.

"Aku tanya sekali lagi, teman dekatnya Dwina kan?" Suara Bayu merendah.

Tari merasakan tatapan yang berbeda, terdapat makna tersirat bisa membuat orang lain merinding ngeri.

"Aku hanya teman dekat di kampus, di luar dari itu kita jarang bertemu." Tari membalas  datar diri Bayu, ia tampak tak terpengaruh oleh emosi tersembunyi yang lelaki itu simpan.

"Dwina orangnya suka tiba-tiba menghilang, siapa tau kalau dia lagi nggak waras dia pergi ke tempat kamu. Seenggaknya aku punya nomer telpon teman dekatnya untuk di hubungi." Jawab Bayu sambil membelai puncuk kepala Dwina. Menunjukkan bahwa dia sangat mengkhawatirkan adiknya.

Tanpa bisa menahan Tari langsung tersenyum miring. Itu kekhawatiran yang tidak wajar.

"Aku baik-baik aja, kak. Udah Tar jangan dengerin dia. Dari dulu suka begitu, beberapa teman aku juga di gituin."

"Mana mungkin aku mau kasih nomer telpon ke orang yang baru dikenal. Kecuali ada urusan penting."

Inilah Tari, suka malas menggubris hal membosankan. Khususnya bila mengungkit privasi orang lain. Dwina sudah menikah, dia memiliki suami yang akan menjaganya. Dwina pasti tidak ingin membebani dia karena persoalan ini.

"Sorry, aku lebih baik bilang ini langsung di depan Dwina. Biar dia tau bahwa nggak ada yang aku sembunyiin menyangkut tentang dia. Lagi pula Dwina sudah menikah, dia pasti udah merasa malu di jaga sama kakaknya sendiri."

"Kalau menurut kamu gimana Dwina. Ini pertama kali aku melihat kasus kakak protektif dan maniak sama adik sendiri." Tari pura-pura tertawa supaya Dwina menganggap ucapannya hanya candaan saja.

"Aku harus jawab jujur nih?" Punggung Dwina menegang, baru kali ini dia melihat kak Bayu dan Tari saling berinteraksi hebat. Dia terintimidasi seorang diri di tengah-tengah mereka.

"Iyalah.. Aku pasti dengerin baik-baik." Sahut Bayu tersenyum lembut ke Dwina, membuat Tari mengangkat sebelah alisnya.

"Bukan masalah mengganggu privasi. Dari kecil semua keluargaku memang menaruh perhatian lebih. Jadi aku sudah biasa. Keluarga tetaplah keluarga, walaupun aku udah menikah kak Bayu tetap kakak aku. Dia pasti akan bantu kalau aku lagi ada masalah." Semua keluarga pasti begitu, itu pemikiran yang biasa. Tepatnya Dwina tidak mau terjebak dan menambah masalah.

"Cari aman nih Dwina." Tari menyesap es tehnya, tubuhnya kembali bersandar di punggung kursi.

"Dia memang selalu mengambil jalan aman."

"Apa aku salah?" Dwina melihat secara bergantian kak Bayu dan Tari.

"Nggak salah sama sekali." Tapi kamu belum menyadari perasaan terpendam Bayu. Batin Tari. Dia saja sekali melihat langsung tahu, kenapa orang-orang di dekatnya tidak menyadarinya? Tari jadi mengkhawatirkan suaminya Dwina.

"Kalian dua bersaudara yang baik." Lanjut Tari.

"Kamu punya adik atau kakak?" Kini giliran Bayu bertanya pada Tari.

"Aku punya adik laki-laki nakal. Aku berharap punya satu adik lagi, adik perempuan supaya bisa aku ajak shopping bareng. Kan seru.."

"Iya bener. Aku pernah jalan sama adik aku dan itu seru."

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now