12. Mengenal (10)

34K 3K 28
                                    

Suara tangisan anak kecil terdengar keras dari arah halaman belakang. Mereka bertiga bergegas menuju sumber suara. Ternyata Fadli memukul adiknya sendiri hingga Fiah menangis. Kila segera membawa Fiah ke dalam gendongannya menenangkan anaknya.

Dwina paling tidak suka anak kecil menangis rasanya kepalanya bisa pecah apalagi mengurusi anak nakal. Ditatap Fadli yang terlihat tak bersalah sama sekali sedang bersedekap erat sambil berwajah cemberut.

"Aduh bang Fadli nggak boleh begitu dong. Kasihan adeknya." tukas Arya menggunakan nada lembut untuk meluluhkan sifat keras Fadli. Sayangnya tidak untuk Dwina, ia tau anak seperti ini emosinya memang berantakan dan egois.

"Fadli pernah denger nggak kalau seorang kakak itu tugasnya apa?" tanya Dwina tegas seketika suasana mendingin. Tidak secuilpun Dwina melepaskan perhatiannya dari Fadli. Ada perasaan gusar dalam diri Fadli mendapatkan pertanyaan seperti itu.

"Tugas kakak itu harus sayang sama adiknya, ngejaga adiknya, dia saudara kamu nggak boleh digituin. Maafin Fiah ya bang Fadli?" penjelasan itu begitu serius.

"Dia udah nginjek mobil-mobilan aku" Fadli menunjuk mobil-mobilan telah berbentuk mengenaskan.

"Kakak tau kamu kesal, tapi tetep semarah apapun kamu nggak boleh mukul Fiah. Kurang baik itu. Lain kali kamu bisa langsung ngomong ke ibu atau Ayah atau nenek kamu kan bisa biar Fiah nggak rusakin mainan kamu? Ngerti?" Dwina menggunakan nada penekanan membuat Fadli semakin ketakutan pada dirinya.

Bukan hanya Arya saja yang tak berkutik pada sikap Dwina, bang Ares dan teh Kila juga tidak menutupi rasa kagumnya sama sekali. Padahal sulit sekali mengurusi anak nakal satu ini, bahkan teh Kila dan bang Ares sudah merasa kualahan memperingati, memarahi bahkan sampai hampir memukul Fadli.

"Jawab dong jangan diem aja." suara Dwina melembut merayu hati Fadli.

"Aku udah ngerti," buliran air mata Fadli terhapus oleh ibu jari Dwina kemudian memeluk Fadli erat.

Kadang kala mendidik anak itu harus sedikit tegas dan jangan sampai kita melarang seorang anak tanpa alasan jelas. Anak kecil itu juga butuh penjelasan tidak hanya orang dewasa saja.

"Kalau bang Fadli baik kan makin kelihatan lebih ganteng, lebih keren. Fiah pasti bangga punya abang kayak kamu," pikiran buruk Fadli luntur begitu saja saat senyuman Dwina tampil apik di hadapannya. Nyatanya Dwina tidak se-menyeramkan itu.

Hebat sekali, kali ini Dwina membuat tiga orang keluarga Arya terpaku padanya. Cara Dwina sangat mudah untuk dilakukan menghadapi seorang anak tapi, hanya sedikit orang yang mengetahui cara mendidik anak dengan baik dan benar. Termaksud bang Ares dan teh Kila walaupun mereka sudah memiliki dua orang anak. Namun, Dwina tampak lebih berpengalaman.

"Tau nggak Bang Fadli, ibu kamu bikin bubur sumsum, tadi kak Dwina udah nyobain enak banget tau rasanya," Dwina menggandeng tangan Fadli menuju dapur mendudukannya pada salah satu kursi makan kemudian menyiapkan semangkuk kecil bubur sumsum untuk Fadli lalu menyuapi anak tersebut dengan telaten.

"Enakkan?" tanya Dwina antusias. Dan dibalas anggukan samar dari Fadli.

"Seharusnya aku yang disuapin" tukas Arya jengkel. Iri sekali dirinya pada Fadli yang diberi perhatian lebih dari Dwina, seiring kesini irinya semakin parah ketika Dwina mencium pipi gembil Fadli. Ck... Dasar anak kecil sudah berani menjadi rivalnya.

"Ih om Arya kan udah gede masih minta disuapin" seru Fadli dengan tatapan songong pada Arya.

"Biarin, terserah om lah?" tukas Arya tak mau kalah dengan anak kecil, harga dirinya bisa amblas.

Beberapa saat kemudian selepas Fadli pergi bermain bersama sepupunya bernama Ganda dapur kembali diisi oleh tiga orang dewasa dan tambah teh Bika sedang menimang-nimang bayi pertamanya berumur dua bulan.

"Namanya anak kecil suka rewel. Sering bikin aku pusing." Keluh teh Killa.

"Tujuh tahun pertama anak akan jadi raja, tujuh tahun kedua anak akan jadi musuh, tujuh tahun ketiga anak akan menjadi teman. Katanya sih begitu. Emosi anak-anak memang sering berantakan, jadi kita memang perlu ngedidik mentalnya dan memberi arahan." Dwina berusaha hati-hati dalam bicara, bukan seolah menasihati apalagi sampai menggurui. Dia belum merasakan jadi orang tua yang pastinya berat dan bertanggung jawab besar.

"Emosi Ganda juga labil banget, dia suka kurang fokus dan sering ngenabrak sesuatu di depannya. Pasti dia langsung pukulin barang itu." Seru teh Bika. Ganda itu anak dari saudara sepupu teh Bika, suka marah-marah sendiri tapi sensitif kalau di omelin pasti langsung nangis seolah dia yang merasa terlukai.

"Aku pernah baca artikel kalau kecerdasan emosional, bakat dan lain-lain itu diwariskan dari gen keluarga. Tapi tetap setengah persen lebihnya bisa dipengaruhi oleh lingkungan. Memang kompleks banget. Ada kasus di luar negeri seorang wanita ngelakuin inseminasi buatan alias dia hamil berdasarkan donor sperma dari bank sperma, eh ternyata latar belakang sang pendonor orang yang temperamennya buruk dan sering depresi. Hal itu berpengaruh sama anaknya."

"Serem juga ya." Teh Bika merespon ngeri.

"Namanya begitu pasti beresiko. Hamil bukan sama suami sendiri." Entah kenapa ucapan Arya membuat semuanya tertawa. Dia seperti orang iri karena hidup jomblo sedangkan perempuan diluaran sana lebih memilih inseminasi buatan dari pada mencari pasangan.

"Orang luar negri hidupnya bebas, lebih banyak nggak terikat agama jadi bertindak sesuai naluri dia tanpa tau resiko jangka panjang." Bang Ares ikut menjawab. Dia bukan menyalahkan suatu etnis, tapi kepercayaan pada Tuhan itu baginya sangat penting.

Deruman mesin mobil membuat satu sama lian saling menatap bingung. Siapa yang datang? sepertinya tidak ada satupun yang memiliki janji temu dengan seseorang, sedangkan Dwina menampilkan wajah sumringah sebab firasatnya mengatakan bahwa itu adalah kak Bayu.

Dwina langsung berjalan menuju teras depan tak sabar menyambut kakaknya tanpa lupa menampilkan ekspresi penuh dendam yang dibuat-buat.

"Bayu dateng?" Arya mengerjap bingung sambil mengikuti Dwina ke depan rumah. Tidak ada omongan kalau Bayu akan ke Bandung juga, dia juga tidak mengirim pesan atau sejenisnya pada Arya.

"Iya kak."

Arya mengurungkan niat untuk memberi pertanyaan selanjukan sebab sosok Bayu bersama pacarnya keluar dari mobil.

Dwina menghampiri kak Bayu lalu mencubit keras perutnya. "Ampun wi.. beneran ampun."

"Mana?" Maksudnya hadiah sogokan sementara untuk meredakan emosi Dwina. Itu hal biasa dia antara mereja berdua.

"Ini." Bayu mengeluarkan sepaket skin care incaran Dwina sejak minggu lalu. Tentu dengan harga fantastis sesuai dengan kualitas brand luat negeri. Bayu sampai heran sama produk-produk kecantikan, padahal cuman ukuran kecil tapi buat matanya langsung melotot minta untuk diwaraskan kembali.

"Makasih.." Suara Dwina kembali melembut.

"Sama-sama." Bayu memberikan nada mengejek.

"Ayo masuk." Dwina merangkul lengan kak Bayu cukup erat seolah dia bebas bersikap manja.

______________

Jangan lupa berikan vote ⭐ dan komentar pada cerita ini

Terima kasih🥰🥰

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now