31. Tentang dia (8)

7.1K 676 12
                                    

"Nggak bisa dibilang begitu tante. Minggu lalu saya coba ngelamar dia tapi belom ada jawaban." Sahut Arya santai.

Satu meja langsung hening seketika mendengar penjelasan Arya. Laki-laki pasti sebelumnya sudah paham bagaimana konsekuensi bila dia nekat berkata demikian. Ini tentu rumit, pernikahan bukan hal yang mudah untuk diputuskan. Ada berbagai belah pihak saling mempertimbangkan suatu rencana pernikahan supaya tidak berakhir kesalahan.

Bagaimana caranya dia harus menyikapi keadaan saat ini? Dwina sesaat memejamkan mata sambil menunduk rendah kepalanya. Dia sampai tidak sanggup menatap wajah kedua orang tuanya, antara malu, bingung, dan takut. Dia belum siap mental sama sekali, bahkan dia berharap ada seseorang yang mau menolong lalu membawa kabur dirinya dari situasi tersebut.

"Dwina belum pernah cerita apa-apa tentang itu?" Tukas mama menengahi keadaan karena sadar bahwa Dwina malu luar biasa. Namanya gadis belum menikah jika membahas pernikahan mereka akan bersikap seperti itu. "Jadi mama pikir, dia perlu pertimbangan dulu pada dirinya sendiri sebelum ngambil langkah selanjutnya. Ya kan ayah?" Mama memandang lekat diri ayah supaya bersikap lebih santai.

Acara makan malam berakhir. Dwina segera membantu mama menaruh peralatan makan ke tempat cucian piring, setelah itu dia lebih dulu balik ke kamar bersama Serin.

"Kamu serius sama Dwina?" tanya mama pada Arya ketika semua orang kecuali Dwina kembali ngobrol bersama di ruang tv.

"Iya tante." Arya langsung mendapatkan tatapan tajam dari Ayahnya Dwina seolah merendahkan kepercayaan diri Arya.

"Kamu kenal Dwina dari kapan?" Perlahan-lahan mama ingin menguak semua latar belakang seorang Arya. Itu hal wajar, anaknya tidak akan mudah diserahkan kepada seorang laki-laki yang tidak jelas asal-usulnya.

"Dari yang kita bareng pergi ke Bandung buat liburan. Sekitar hampir dua bulan lalu, tante."

"Orang tua kamu asal Bandung?"

"Ibu saya asli Bandung, ayah saya orang Jawa."

"Oalah." Mama lalu mengangguk paham, "Dwina itu masih kuliah, belum lagi mau lanjut profesi Apoteker sekitar dua tahunan."

Arya sebelumnya pernah mendengar itu langsung dari Dwina, jadi dia akan paham kemana arah perbincangan ini. Dwina baru diijinkan menikah minimal setelah lulus kuliah, untuk lanjut profesi itu masih bisa ditoleransi dan dapat dilanjutkan setelah menikah. Namun tujuan Arya terbalik dari hal tersebut. Menikah di pertengahan kuliah bukan menjadi beban apalagi sampai menghalangi Dwina belajar.

"Dwina itu masih kelihatan kayak anak-anak. Dia manja banget orangnya, seneng di dalam kamar mulu." Mama Dwina mulai tertawa pelan. Beliau seolah sedang mengingat kejadian demi kejadian tentang anak perempuannya. Sebelum Arya memang sudah ada laki-laki mencoba melamar Dwina, namun sayangnya gelagat laki-laki itu seperti tidak tepat di hatinya. Mungkin itu adalah perasaan kuat dari kedua orang tua demi kebahagiaan Dwina.

"Oh iya, kalau nak Arya berapa bersaudara?"

"Saya anak terakhir dari empat bersaudara. Tapi tahun lalu kakak pertama saya meninggal."

"Terus yang lagi masuk rumah sakit itu?"

"Itu teh Bika, kakak ketiga saya."

Tidak lama dari itu Arya medapatkan panggilan telpon dari ibunya. Dan mereka menanyakan alamat rumah Dwina karena sebentar lagi mereka akan berangkat naik taxi dari rumah sakit. Kemudian Arya memberi alamat tersebut melalui via chat. Dia sedikit kaget sebab kedatangan orang tuanya lebih cepat dari rencana mereka. Arya hanya bisa menduga jika ibunya sangat kelelahan dan kak Erwin meminta agar lekas istirahat.

Trust Your Heart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang