34. Merakit hati (2)

7.2K 606 36
                                    

Teh Bika asal bicara saja, namun siapapun akan menebak persis kalau Arya tidak akan tinggal diam untuk mendapatkan Dwina. Kehadiran Dwina disini sudah menjadi bukti kalau Arya memiliki niat tertentu terhadap keluarga mereka.

"Kita nggak pacaran kak." Dwina mendesah pelan. Dia harus kembali menghadapi pertanyaan yang sama dari orang lain. Memang aneh ya kalau dia dan Arya saling dekat? Apakah itu juga suatu kesalahan? Dwina mulai berpikir berlebihan.

"Seriusan? Arya orangnya gerak cepet loh kalau urusan cewek." Teh Bika mencoba mengoreksi sesuatu yang tak semestinya. Apapun tentang Arya dia sudah paham luar dalam, apalagi teh Bika sering mengurus adiknya itu mulai dari ngajarin dia pipis di kamar mandi. "Dia pernah nembak kamu jadi pacarnya?"

Dwina menggelengkan kepala sebagai jawaban tidak, sontak teh Bika makin dibuat bingung. Sebenarnya apa ada sesuatu hal besar yang dia sendiri belum ketahui? Terlebih Dwina seperti mengindari pembicaraan mereka. Aura gemuruh bagaikan awan mendung langsung menerpa disekitar Dwina, diapun terburu menggendong Serin ke kamar mandi usai melepaskan popok.

Dari sekian banyak hal, kenapa Arya seperti hal terumit untuk dipertimbangkan oleh Dwina? Bukan masalah trauma tentang hubungan dia dan Joshua, bukan juga soal Putri adalah mantan pacar Arya, dan bukan juga perihal Arya adalah orang baru dihidupnya. Perlahan Dwina merenung dan mulai paham ternyata selama ini dia bukan memikirkan tentang itu.

Permasalahan terbesarnya adalah sedikitpun hati Dwina tidak menyatu dengan Arya. Dia butuh waktu. Sungguh Dwina merasa sangat buruk atas pembicaraan serta harapan orang lain kepadanya. Dwina ingin belajar terbuka dengan laki-laki itu, jauh di lubuk hatinya Dwina amat frustasi bagaimana cara tuh mencintai Arya. Dasar! dia terlalu payah.

Sebentar Dwina mengatur temperatur air di dalam bak bayi agar dalam posisi hangat. Setelah itu dia meletakkan Serin ke dalam bak sambil menahan tubuh bayi tersebut dengan sebelah tangannya, Dia perlahan menuangkan air di tubuh Serin, sedangkan untuk kepala dan wajah dia hanya mengusapkan menggunakan tangan. Anak bayi memang agak kaget bila kedua bagian itu dikenakan air.

"Serin lagi mandi." Seru teh Bika berbicara pada orang lain. Kemudian muncul sosok Arya mengintip dari balik pintu kamar mandi.

"Enak banget kamu Serin di mandiin."

"Terserah akulah om. Kerjaan akukan nyusu, mandi, tidur sama kadang nangis. Ngakat kepala aja aku masih susah payah." Sahut Dwina berpura-pura jadi Serin. Arya memperhatikan punggung Dwina dengan perasaan hangat. Kehadiran sosok Dwina bukanlah sesuatu yang berlebihan, dia seperti dapat menarik dunia sekitar lalu memperkenalkan baik siapa dirinya yang sebenarnya.

"Udah jangan gangguin Serin mandi, dia malu nggak pake baju." Tegur teh Bika dari luar.

"Yah, om diusir. Lagian kenapa Serin harus jadi cewek? Kan kerenan jadi cowok biar kayak om." Arya menggerutu.

"Eh. Kamu aja yang ngelahirin Serin kalau bisa, enak aja ngomong begitu." Omel teh Bika lalu menarik Arya keluar dari kamar. Sebenarnya masih ada yang ingin teh Bika bicarakan empat mata dengan Dwina. Kehadiran Arya akan membuat canggung.

Dalam waktu sepuluh menit acara mandi Serin akhirnya selesai, kali ini yang memakaikan baju Serin adalah teh Bika. "Aduh anak mami udah wangi."

"Aroma anak kecil memang tahan lama, baru bangun tidur aja mulutnya masih wangi. Mungkin karena belum ada dosa." Seru Dwina.

Dwina mengelap lengannya menggunakan handuk yang diberikan teh Bika. Beruntung baju dia tidak terlalu basah, hanya terdapat sedikit cipratan air saja. Namun teh Bika tetap menawakan baju ganti.

"Nanti bisa masuk angin loh." Sekali lagi Dwina menolak. Sejenak Dwina mulai mengerti jika perempuan di awal memang terlihat bersahabat, mudah diajak ngobrol, juga dia rela membantu. Nyatanya Dwina punya garis pembatas yang orang lain tidak boleh lewat apalagi sampai mengubah pendirian dia. "Nanti teh Bika diomelin Arya kalau kamu sakit. Diakan orangnya suka ngomel-ngomel nggak jelas gitu."

"Apaan sih teh Bika, bentar lagi juga kering." Dwina tertawa pelan mendengar gurauan teh Bika.

Teh Bika tetap menyerahkan kukuh sebuah kaos switer untuk Dwina setelah dia memakaikan Serin popok dan pakaian. "Dwina disini nggak perlu sungkan. Apalagi Arya pengen kamu terbiasa sama keluarga kita." Sebelah mata teh mengedip menggoda Dwina. Diapun langsung terkekeh sembari membawa Serin menuju ruang tengah berkumpul dengan keluarganya. Biarkan Dwina berpikir atas ucapannya barusan.

Secara tidak disadari ternyata teh Bika membantu Arya, adiknya memang tampak kewalahan menaklukan seorang Dwina dan bantuan kecil sepertinya bukan masalah.

Saat ini Dwina rasanya ingin pulang ketika mengerti dibalik kata-kata teh Bika adalah 'calon adik ipar harus betah sama keluarga kita. Toh Arya bakalan nemenin calon istri tersayang.' Punggung Dwina langsung merinding, berharap bisa mengurung diri di dalam kamar mandi bersembunyi dari siapapun.

Dwina mengerti konsekuensi yang akan terjadi jika dia berkunjung ke tempat ini. Tetapi berpura-pura dungu lebih melelahkan lebih dari yang dia kira. Sungguh Dwina tidak terbiasa dengan berbagai godaan jahil keluarga Arya, memojokkannya seperti dia sudah terperangkap sejak awal.

"Dwina.." Arya mengetuk pintu kamar terbuka, heran melihat Dwina sedang berdiam lama di tengah kamar. "Aku kira kamu udah ganti baju." Arya berjalan mendekati Dwina, tatapan perempuan itu sontak langsung menghindarinya.

"Padahal aku udah berusaha untuk mencoba. Tapi aku tetap belum terbiasa sama semua ini." Dwina terlalu over thingking terhadap semua ini, dia terkekang kuat sampai bingung harus melakukan apa dalam situasi dimana pengharapan besar orang lain mengganggu pergerakannya seolah dia wajib bertanggung jawab. "Aku rasa ada yang aneh sama diri aku. Kenapa aku susah percaya sama perasaan kakak? Berulang kali aku menelaah baik-baik, tapi kenapa hasilnya selalu nol. Kak Arya belum punya nilai di hidup aku." Dwina kemudian telonjak emosi, hingga tanpa sadar tangannya telah mecengkram kuat kemeja Arya memaksa agar laki-laki itu menjawab.

"Kak Arya sekedar laki-laki asing yang kebetulan adalah rekan kerja kak Bayu, terus nggak sengaja ketemu aku di rumah. Tidak lebih dari itu asal kakak tau. Jadi kenapa semua terlihat berharap lebih sama hubungan kita? Jatuh cinta sedikitpun saja aku tidak merasakan itu?" Dwina tersenyum kecil. Dia yakin orang lain akan kaget melihat bahwa ia dapat menunjukkan topeng kelicikannya. Tidak, sebenarnya dia enggan ingin menyakiti siapapun. Perasaannya sekarang hanya sedang sensitif saja karena masih bingung harus berpikir apa. Dwina merasa bersalah.

"Terus kamu maunya apa?" Suara Arya terdengar begitu rendah dan berat, wajahnya menggelap ketika menghadapi kefrustasian Dwina. Dia tidak senang melihat perempuan itu dalam kondisi seperti ini sebab itu secara langsung menyakiti perasaannya.

"Aku mau pulang." Diri Dwina menghela napas lelah. Kegundahan yang menunpuk di benaknya ternyata tertuang juga meskipun Arya tak pantas menerima pelampiasannya. Dia benar-benar wanita manja.

Arya menuruti permintaan Dwina. Dia langsung menarik Dwina pamit ke keluarganya lalu bergegas menaiki mobil. Mereka saling mendiamkan satu sama lain, terhanyut oleh emosi bekecambuk.


_________________

Hai., Jangan lupa klik 🌟 dan cuatkan komentar anda tentang novel ini.

Terima kasih sudah membaca 😘😘😘

Trust Your Heart [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora