27

57.6K 12.7K 5.8K
                                    

“Nakusha?”

Kening laki-laki itu sedikit mengerut mendengar nama yang terlontar dari mulut Azalea. Ketidakpuasan muncul dalam hatinya, namun dia tidak mengatakan apa-apa. Menggenggam pinggang gadis itu dengan satu tangan, dia menunduk agar dapat menatap wajahnya.

“Punya urusan apa sama Salga?” Pertanyaan Nakusha yang tidak terduga membuat Azalea terpaku.

“Lepasin dulu,” kata Azalea aneh sambil mendorong tangan Nakusha yang menempel erat di pinggangnya. Ini masih di lingkungan sekolah! Bagaimana jika ada yang melihatnya?

Mungkin terpikir hal yang sama, Nakusha akhirnya melepaskannya. Mengambil kesempatan tersebut, Azalea langsung mundur beberapa langkah.

“Dia... sepupu gue.” Azalea berkata gugup. Nakusha orang yang cerdas, jika dia menemukan alasan lain yang tidak logis, kecurigaan laki-laki itu pasti akan lebih besar. Terlebih kemungkinan besar dia sudah memiliki tebakan mengenai marganya yang sama dengan kakaknya.

Nakusha menatapnya lekat sebelum mengangguk kecil, sepertinya menerima alasannya.

Azalea seketika merasa lega dan tersenyum lebar. “E—” Suaranya terhenti seketika. Kenapa dia bisa lupa lagi kalau dia sedang marah kepada Nakusha!

Senyumnya seketika pudar. Dia berbalik, berjalan pergi tanpa melirik laki-laki itu lagi. Nakusha yang tertinggal di belakang bergeming dengan tatapan lurus ke arahnya. Tertinggal bermeter-meter, dia mengikuti tanpa disadari Azalea.

Ketika Azalea berjalan melintasi gedung sekolah, entah melompat dari arah mana, Yelin tiba-tiba menyergapnya dan menariknya ke sisi bangunan yang sepi.

“AAAA GILA! KETAHUAN BONYOK LO?!” pekik Yelin histeris sambil mengguncang pundak Azalea, membuat gadis itu seketika pening.

Sontak Azalea membekap mulut sahabatnya agar tidak berteriak mengambil atensi orang lain di sekitar mereka, meski saat ini sepi. “Iya, anjir! Gue dimarahin tau!”

“Hahi ehang hi—”

“Hah? Ngomong yang jelas!”

Mata Yelin melotot lalu menepuk keras telapak tangan Azalea yang masih membekap mulutnya. Dia mendelik kemudian mencubit kedua pipi tembab Azalea. “Tapi emang sih, wajar! Lo gak ada ngasih tau ke bonyok lo. Gimana misalnya terjadi apa-apa? Kalo gue jadi bonyok lo ya gue pukul pake rotan!”

“Kalau gitu syukur deh emak gue bukan elo.” Azalea mengedikkan pundak tak acuh.

“Babi.”

“Elo?” tanya Azalea dengan senyuman miring.

“Ihh pengen gue makan! Ngeselin banget.” Yelin menarik napas lalu mengembuskannya, berusaha kembali tenang tanpa emosi. “Terus rencana lo di sini ngapain?”

“Dugem— ya belajar lah. Lo kira tempat ini club?” balas Azalea songong.

“Cih. Btw berani ya lo pake suara cewek, mentang-mentang sepi.”

Azalea menyugar rambutnya ke belakang dengan senyuman lebar. “Tenggorokan gue kering anjir niru suara cowok mulu. Beliin cola, Lin.”

“Lo kira gue babu elo?”

Gadis itu seketika menatap Yelin terkejut. “Jadi selama ini bukan?”

“Ahhh! Lo mah gitu!” Yelin merengek sambil mengguncang pundak Azalea, membuat sahabatnya itu tertawa puas.

***

Hari Senin adalah hari pertama ujian. Sebelum pergi ke ruang ujian masing-masing, mereka harus berkumpul di kelas terlebih dahulu untuk menerima kartu ujian yang berisi identitas serta nomor tempat duduk dan kelas yang ditempati selama ujian.

Berjalan menuju lantai empat, Azalea terus memerhatikan plakat kelas yang dia lewati. Sangat kesal mendapat ruang ujian di kelas XII. Sebab dia sendiri belum pernah menginjakkan kaki di lantai empat sekolah.

“Oi, Zel!” Elazar yang bertemu dengan Azalea menyapa bahagia. “Lo gak kena masalah dari bokap lo kan waktu itu?”

Azalea menatapnya sedikit terkejut sebelum mengangguk-angguk. “Hooh.”

Elazar merangkul Azalea dengan akrab, menariknya berjalan maju. “Btw ruang ujian lo di mana? Mungkin aja kita sekelas.”

“Kelas XII-Bahasa 1.”

“Mantep. Kita bertetangga. Gue XII-IPS 3. Dari muka dungu lo, pasti lo kesulitan nyari, kan? Tenang, ada bang El.” Elazar memukul dadanya dengan ekspresi bangga.

Azalea cemberut dibilang dungu, tapi malas berkomentar. Setelah Elazar menunjuk kelas yang mana adalah ruang ujiannya, gadis itu bergegas masuk dan mencari mejanya. Sudah dia duga, karena nomor mejanya mencapai puluhan, pasti akan berada di deret belakang.

Dia menghela napas menatap sepasang meja yang berada di pojok ruangan. Melihat nomor mejanya berada paling pojok dalam, Azalea mengedikkan pundak dan segera duduk untuk membaca kembali materi pelajaran.

Semakin lama, kelas tersebut semakin padat oleh orang-orang yang juga akan mengikuti ujian. Bel berbunyi nyaring. Mengikuti semua orang yang keluar, Azalea berdiri patuh di depan kelas. Dia lalu menatap seorang guru wanita paruh baya yang datang sambil memegang map coklat, masuk ke dalam kelas untuk menyimpannya sebelum keluar kembali.

“Ibu akan memanggil sesuai nomor urut ya. 1.” Ketika siswa dengan nomor yang disebutkan guru tersebut maju, dia akan mengeluarkan barang-barang yang ada di saku baju serta celananya untuk dilihat guru tersebut. Tindakan ini agar mengetahui bahwa peserta ujian tidak membawa contekan ataupun barang elektronik yang dapat menimbulkan kecurangan.

Sudut bibir Azalea berkedut melihat ini. Terlalu berlebihan, pikirnya. Bahkan jika mereka menyontek, tidak mungkin menulisnya dikertas dan memasukkannya ke dalam saku. Bisa saja mereka menulisnya di tangan, paha untuk siswi, dan taktik licik lainnya.

Setelah pemeriksaan, Azalea masuk dan duduk di tempatnya dengan perlengkapan menulis. Dia mengedarkan pandangan, menatap kelas yang sunyi dengan kagum. Pasti mereka semua anak baik di sekolah.

Memainkan pulpen di sela jarinya, Azalea tiba-tiba merasa seseorang datang mendekat lalu duduk di sampingnya. Gadis itu menoleh dengan santai, namun melihat siapa dia, matanya melotot. “Nakusha?!”

Sosok yang akan menjadi teman sebangkunya selama ujian menoleh ke arahnya dengan senyum tipis. “Kebetulan banget.”

TBC

October 11, 2021.

5K.

Azalea & Alter Ego Boy ✓Where stories live. Discover now