44

51K 11.5K 8.6K
                                    

Hari ini adalah hari Sabtu. Sesuai perkataannya, dia kembali ke tempat yang tidak sudi dia sebut sebagai rumah. Lagi pula, sudah lama tidak menginjakkan kaki di tempat ini. Nakusha menatap bangunan tersebut sejenak sebelum melangkah masuk.

Dia menekan bel sekali lalu berdiri di pintu ganda besar yang masih tertutup. Begitu pintu terbuka, Nakusha dengan cepat menangkap kepalan tangan yang melayang dari balik pintu lalu memutarnya kuat.

“ARGH! SIALAN!”

“Ahh! Lepasin anak saya!” Pekikan tak enak di telinga itu menggema. Lalu suara derap langkah terdengar mendekat dengan terburu-buru. “Bian! Bian!”

Nakusha yang menggenggam erat lengan Bian langsung mendorongnya ke depan, membuat wanita itu berlari kecil menangkap Bian ke dalam pelukannya dengan wajah panik.

“Sayang, mana yang sakit?” tanya wanita itu sambil mengusap punggung Bian. Mendengar ringisan pelan anaknya, dia mengalihkan tatapan tajam ke sang pelaku. “Bagaimana bisa kamu tega sakitin adik kamu, hah?!”

Posisi Nakusha masih berdiri tenang di depan pintu lalu senyum tipis terulas di bibirnya. “Siapa yang tau dia tiba-tiba melompat ke arahku. Aku cuma refleks menahan.”

“Pembohong!” seru Bian tersulut emosi. Dia bisa merasakan kekuatan kuat Nakusha seolah ingin merusak tangannya.

Wanita itu hendak berbicara lagi sebelum seorang pelayan datang menginterupsi. “Nyonya, den Bian, den Naku, tuan sudah menunggu di meja makan.”

Nakusha melihat wanita itu membujuk Bian sebentar sebelum menopangnya ke ruang makan. Salah satu sudut bibirnya terangkat samar, membentuk senyum sarkas. Dalam diam, dia mengekori dua orang tersebut hingga melihat meja makan panjang dengan berbagai lauk pauk di atasnya, serta seorang pria paruh baya yang duduk di ujung meja.

Penampilan pria paruh baya tersebut sedikit mirip dengan Nakusha. Wajahnya sangat tampan, meski ada kerutan faktor umur. Rambutnya di beberapa bagian memutih. Dia menggunakan kacamata sambil membaca tablet. Meski sebentar lagi berumur setengah abad, badannya masih bugar dengan punggung tegak bahkan di saat duduk.

Melihat dia, wajah Nakusha lebih dingin dari sebelumnya. Namun dalam sekejap hilang, diganti ekspresi tenang dan acuh tak acuh.

Ketika pria tersebut menoleh ke arah mereka, terutama Nakusha, kerutan dalam di dahinya sedikit menghilang. “Naku, duduk di sebelah Papa.”

“Sayang....” Wanita yang bersama Bian tersebut segera mengeluarkan ekspresi sedih dengan mata berlinang air. “Lihat tangan Bian! Gara-gara anak kamu, Bian jadi terluka!”

Pria itu, Giandra, melirik Bian yang sedang meringis sambil memegang lengan kanannya sebelum menatap Nakusha yang dengan tenang menarik kursi lainnya untuk duduk. “Bian, selesai makan ke rumah sakit.”

“Sayang!” pekik wanita tersebut tidak terima.

“Vela.” Dipanggil namanya dengan serius, wanita bernama Vela tersebut menggertak giginya. Dia melirik Nakusha tajam sebelum dengan penuh perhatian membantu Bian mengambil makanan.

Makan malam di rumah tersebut sangat hening. Selain bunyi sendok dan garpu, hanya ada suara bujukan Vela terhadap Bian. Nakusha dan Giandra bahkan tidak mengangkat mata mereka untuk melirik hal selain makanan di piring.

Melihat Nakusha mengelap bibirnya dengan serbet, Giandra berdeham pelan. “Naku, ikut Papa ke ruang kerja. Ada sesuatu yang ingin Papa bicarakan denganmu.”

Nakusha mengangguk pelan. Saat dia mengekori Giandra untuk menaiki tangga, dia bisa mendengar gerutuan Vela kepada Bian di belakang.

“Aku tidak menyangka dia sudah sebesar itu. Kenapa Papamu selalu mencari anak haram itu?”

Azalea & Alter Ego Boy ✓Where stories live. Discover now