71

33.9K 7.2K 2.3K
                                    

Caka baru saja kembali dari asrama sekolah untuk berganti pakaian. Wajahnya lebih segar karena mandi setelah menghadapi hari yang sibuk sejak dini hari. Membuka pintu bangsal Nakusha, dia mendapati sosok yang seharusnya berbaring dengan mata terpejam sedang duduk bersandar di atas brankar dengan mata terbuka. Begitu mendengar suara pintu, dia menoleh dengan sorot mata dingin, membuat Caka mundur selangkah secara refleks.

“Naku?” tanya Caka tak percaya. Ekspresi Nakusha saat ini menurutnya tidak benar. Marah dan kebencian bergabung menjadi satu. Namun masalahnya, dia salah apa sehingga menerima tatapan tajam itu? “Gue panggil dokter dulu.”

“Gak perlu.” Nakusha menghentikan niatnya dengan suara serak. Dia mengedarkan pandangan, mengernyit samar menatap sekitarnya. Dia tahu di mana dia sekarang, dengan rasa lemah di tubuhnya, tidak perlu repot-repot bertanya saat ini di mana. Mengingat hal terakhir sebelum dia kehilangan kesadaran, rahangnya mengeras.

“Kenapa gue bisa di sini?” Seharusnya dengan sifat kejam orang itu, dia tidak akan membiarkannya lolos.

Caka beranjak mendekat, duduk di samping brankar dan ragu-ragu menatap temannya yang tempramennya sangat berbeda dari apa yang dia kenal. “Hari ini lo ulang tahun. Um, fyi, sekarang udah jam lima sore. Jam 12 pagi, Lea mau kasih surprise ke apartemen lo sama gue dan Elazar. Pas kita masuk, lo udah berdarah. So here we go.”

Nakusha terdiam sejenak. “Lo pada... gak lihat orang lain di sana?”

“Nggak ada orang sama sekali.” Caka menggeleng. Dia melihat wajah pucat Nakusha lekat sebelum memberanikan diri bertanya. “Semua orang asumsikan lo mau bunuh diri. Tapi Lea bilang gak mungkin lo gitu. Jadi Naku, lo bisa kasih tahu kenapa lo bisa terluka?”

Tangan Nakusha mengepal. Mendengar nama Azalea, kerutan di keningnya perlahan menghilang. “Di mana Azalea?”

“Oh iya, Lea sejak pagi jagain lo mulu. Tapi pas gue dateng tadi, dia gak ada di luar. Gue kira dia jagain lo di dalem.” Caka mengedikkan bahu tak acuh. Di sisi lain, dia tidak memaksa Nakusha menceritakan apa yang terjadi padanya. Nakusha selalu seperti itu, tertutup dan tidak ingin orang lain masuk ke dunianya. Dia hanya menanamkan citra baik tanpa masalah di depan orang-orang terhadap dirinya. Namun saat orang lain ingin lebih dekat, dia akan memasang tembok yang tinggi di sekelilingnya tanpa cela untuk masuk sedikit pun.

Nakusha meletakkan tangannya yang diperban di atas selimut. Jemarinya bergerak pelan. Memikirkan ini membuat Nakusha tidak suka. “Gue—”

Sebelum Nakusha mengutarakan kalimatnya, pintu terketuk. Nakusha dan Caka saling bertatapan. Melihat Nakusha mengedikkan dagu, Caka menghela napas dan bangkit untuk membuka pintu.

“Salga? Lo ngapain di sini?” tanya Caka aneh.

Salga menggunakan hoodie hitam dengan rambut sedikit berantakan tertiup angin. Dia melirik ke dalam bangsal sejenak, melihat Nakusha dengan tatapan datar sebelum menarik pandangan kembali ke Caka. “Adek gue di mana?”

“Ah, Lea?” Caka tertegun. Sudah dia duga, Salga datang ke sini bukan untuk menjenguk Nakusha dengan iming-iming status teman sekelas. “Sejak gue dateng, Lea udah nggak ada di sini.”

Salga langsung cemberut, mengeluarkan ponselnya dari saku lalu menelepon seseorang. Dia berkelahi dengan Azalea sebelumnya, sehingga dia hanya bisa mengatur pengawal jarak jauh untuk melindungi adiknya. “Lele di mana? Kenapa gak infoin ke gue kalau dia pergi dari rumah sakit?!”

“Salga, lo bisa kecilin volume suara lo? Ini rumah sakit.” Meski sedikit takut pada Salga yang sekarang berekpresi tegas, namun Caka tidak bisa menahan diri untuk menegurnya.

Alih-alih menanggapi Caka, Salga malah semakin serius memarahi pengawal di seberang telepon. “Keluar sejak jam dua siang, dan kalian gak kasih tahu gue? Kalian ngerti gak sih pekerjaan kalian?! Gue gak peduli alasannya. Cepet kasih tahu di mana Lele sekarang.”

Azalea & Alter Ego Boy ✓Where stories live. Discover now