62

52.2K 11.1K 6.6K
                                    

Langit di luar sangat cerah. Awan-awan putih bertebaran dengan semilir angin sejuk yang berembus. Berbeda dari keadaan dunia luar yang indah, dalam gedung perusahaan tersebut cukup sibuk dan panas dingin oleh keadaan mendesak.

Pria yang duduk di kursi kebesarannya mengusap pangkal hidungnya. Tiga hari sibuk mengurus segala kekacauan dalam perusahaan, dia tidak memiliki waktu untuk istirahat meski hanya sebentar. Kantung matanya terlihat jelas dengan dasi sedikit berantakan akibat dilonggarkan secara terus menerus.

Minggu sebelumnya perusahaan masih berjalan dengan lancar. Apa lagi mereka sedang membuat strategi dan perencanaan untuk memenangkan sebuah proyek yang mencapai nilai miliaran rupiah. Proyek yang seperti daging segar untuk mereka raup.

Ada proyek, berarti ada juga saingan. Dalam dunia bisnis, saingan tidak dapat dihindari. Apa lagi yang menempu bidang yang sama. Mereka saling berlomba-lomba meningkatkan kemampuan internal perusahaan agar apa pun yang dikeluarkan perusahaan dapat berbaur dengan kebutuhan masyarakat.

Proyek yang perusahaannya targetkan memiliki banyak pesaing kuat. Demi proyek ini, mereka bahkan sudah mempersiapkan rancangan versi perusahaannya sejak setengah tahun lalu untuk dipresentasikan di depan pemimpin proyek tersebut.

Banyak modal yang sudah mereka keluarkan demi mendapatkan proyek ini. Jika gagal, perekonomian perusahaan akan terpukul kuat.

Namun sialnya, rencana yang telah mereka persiapkan malah bocor ke tangan pesaing! Semua tenaga dan modal yang mereka persiapkan seakan sia-sia. Alhasil, perusahaannya harus mencari alternatif lain.

Pria tampan yang kulitnya dimakan usia itu mendesah berat. Dia membuka laci meja untuk mencari rokoknya. Namun tatapannya terpaku pada sebuah bingkai yang memperlihatkan foto seorang gadis khas Amerika yang tersenyum lembut. Matanya yang jernih menatap lurus ke arah kamera dengan rambut sedikit berterbangan oleh angin. Latar belakang foto tersebut tidak begitu istimewa, hanya di sebuah pasar tradisional dengan orang-orang yang hilir mudik di belakangnya.

Kerutan dalam di kening pria perlahan memudar. Jari jempolnya mengelus permukaan bingkai dengan tatapan lembut.

“Emily...” gumamnya penuh nostalgia.

Dadanya terasa sesak. Dia mengalihkan tatapan ke arah kaca dinding yang menampilkan langit biru. “Aku masih tidak percaya kamu mendahuluiku ke surga. Pasti anak kita cuma bohongi aku, kan? Dia sangat marah padaku sampai rela mengatakan itu tentangmu.”

Tangan Giandra memegang bingkai foto itu erat. Ketika pikirannya sedang melayang, ada bunyi 'bip' dari komputer hadapannya.

Dia mengerjap lalu menolehkan kepala ke komputernya. Layar komputer yang awalnya menampilkan desktop kini menjadi black screen, berkedip beberapa kali sebelum sebuah tulisan bergerak dari arah samping :

Bahkan di saat penderitaannya, dia masih memikirkan pria brengsek sepertimu.

Punggung Giandra menegak membaca kalimat tersebut. Lalu beberapa foto ditampilkan seluas layar, sehingga pria itu dapat melihat gambar jernih dari foto tersebut dengan jelas.

Baru melihatnya, firasat Giandra tidak enak. Gambar pertama menampilkan seorang wanita terbaring kaku di atas brankar sebuah rumah sakit. Tubuhnya sangat kurus dengan rambut panjang yang berantakan.

Gambar kedua wanita itu duduk di atas kursi roda dengan ekspresi pucat serta tatapan kosong.

Lalu gambar ketiga terlihat wanita itu seakan kehilangan kendali dengan selimut serta bantal-bantal di sekitarnya yang berantakan.

“Emily... sayang...” Giandra menyentuh layar komputernya panik. Namun sedetik kemudian layar komputernya berubah hitam, dan tampilan desktopnya kembali.

“Tidak, Emily!” seru Giandra cemas, berusaha mencari lagi foto-foto tersebut. Namun bagaimana pun dia menekan, tidak terjadi apa-apa.

Ekspresinya kusut. Dia bangkit dan meraih jasnya, hendak pergi dari kantor untuk menemui satu-satunya orang yang dapat memberitahunya segalanya mengenai Emily.

Namun baru saja dia melangkah, pintu kantor terketuk dan sekretarisnya masuk dengan raut tegang. “Pak, pemeriksaan pembukuan yang dilakukan akuntan sudah keluar. Beberapa oknum di perusahaan sepertinya telah menggelapkan dana sehingga keuangan perusahaan saat ini dalam kondisi kritis.”

***

Azalea menggaruk kepalanya, lalu diam-diam melirik Nakusha di sisinya. Entah kenapa dia merasa laki-laki itu sedikit aneh hari ini. Sangat diam, senyumnya tidak setulus biasanya, serta tatapannya selalu tidak fokus.

Apa pun yang Azalea katakan, Nakusha akan menuruti atau mengangguki. Contohnya seperti sekarang.

“Ehan, gue cewek paling cantik di dunia ini, kan?”

“Hm.”

“Ehan, kenapa perpustakaan penuh dengan buku? Itu karena kalau di hati gue cuma ada cinta buat elo.”

“Oh.”

“Ehan, gue gak suka minuman rasa ini. Ganti es teh punya elo aja.” Lalu gadis itu menukar minuman mereka.

Di bawah tatapan para siswa-siswi lain, dia minum dengan khidmat. Tidak terpengaruh sama sekali dengan gosip atau sindiran orang di hadapannya sejak kembali ke sekolah.

Azalea mengaduk es tehnya kesal. Nakusha masih menatap buku di tangannya, namun jelas matanya tidak tertuju pada buku seolah dia tengah linglung.

Memikirkan sesuatu, Azalea mendekatkan diri dan berbisik, “Ehan, gue mau cium lo.”

“Oke.” Beberapa detik kemudian Nakusha menoleh dengan mata cerah. “Mau di mana? Gue observasi tempatnya.”

Sontak Azalea menjauhkan diri dengan mata melotot. “Anying, semua cowok sama aja ternyata.”

Nakusha terkekeh lalu mengusap kepalanya. Melihat akhirnya laki-laki itu kembali normal, Azalea bersenandung senang. Menghabiskan waktu setengah jam lebih lama di kantin, akhirnya keduanya beranjak pergi.

Karena identitas Azalea sebagai perempuan terkuak, Nakusha tidak perlu menutupi hubungan ambigu mereka. Dia dengan santai menggenggam tangan gadis itu sembari berjalan menyusuri lingkungan sekolah.

“Ehan daritadi lagi mikirin apa?” tanya gadis itu hati-hati setelah sekian lama menahan diri.

Nakusha menoleh ke arahnya lalu tersenyum tipis. “Hari ini hari peringatan kematian mama gue.”

“Ah,” ringis Azalea pelan. Dia menatap ekspresi normal laki-laki itu dan mencicit, “Maaf, gue gak tahu.”

“Gak papa.” Nakusha menatap langit dengan tatapan menerawang. “Pasti mama udah bahagia di atas sana, kan? Dia orang yang baik, jadi harus mendapat yang terbaik juga di sana.”

“Iya, Mama Ehan pasti bahagia di sana.” Azalea lalu menyengir. “Jadi Ehan di sini juga harus bahagia. Namanya juga ngontrak di bumi.”

“Gue harus bahagia...” gumam Nakusha mengulangi ucapan Azalea. Menatap gadis itu dengan lembut, sudut bibirnya terangkat. “Pasti.”

Selama ada lo, Azalea.

TBC

December 1, 2021.

Welcome akhir tahun! Bentar lagi 2022 aja. Hm.

6K komen yak.

Azalea & Alter Ego Boy ✓Where stories live. Discover now