32

60.6K 13K 5.8K
                                    

Nakusha memarkirkan motornya, melepas helm lalu menyugar rambutnya ke belakang. Dengan jaket denim serta sarung tangan hitam yang masih melekat, dia melangkah memasuki sebuah cafe yang cukup ramai di sore hari tersebut.

Namun sebelum dia sempat melangkah lebih dalam, seseorang menghadang langkahnya dengan wajah meremehkan.

“Gue kira boong, ternyata lo beneran kerja di sini?” sindir laki-laki tersebut sinis sambil melirik Nakusha dari atas hingga bawah.

Nakusha bergeming menatap sosoknya. Dia lalu melangkah melewatinya sambil melepaskan sarung tangan motornya.

“Brengsek! Gue belum selesai!” Laki-laki itu menarik bahu Nakusha dari belakang.

Nakusha dengan tenang menangkap tangannya lalu memelintirnya hingga membuat laki-laki tersebut memutar tubuhnya kesakitan.

“ARGH! SHIT!

Sambil memegang tangan laki-laki itu di belakang punggungnya, Nakusha mendekatkan diri ke telinganya dan berbisik, “Kita gak punya urusan apa-apa, adik.”

Wajah laki-laki itu memerah karena kesakitan dicampur amarah. “LEPASIN GUE!”

Beberapa orang berseragam pelayan mendekat. Salah satu di antaranya yang berada paling depan mengerutkan kening. “Ada apa ini?”

Nakusha melirik manajer, mengangguk kepadanya sembari mendorong laki-laki tersebut ke depan. “Gak papa, cuma adik gue.”

“Gue bukan adik elo, bastard!” rutuk laki-laki itu lalu meringis sambil memegang lengannya yang dipelintir Nakusha. “Lo kira gue sudi punya saudara kayak lo?! Gak akan!”

Nakusha tersenyum lemah kepada manajer dan staf di belakangnya. “Tolong layani adik gue baik-baik di sini. Gue mau ganti pakaian.”

Manajer cafe tersebut mengangguk, membuat Nakusha segera meninggalkan lokasi kejadian. Staf-staf yang lain meminta maaf kepada para pengunjung karena keributan yang terjadi.

“NAKUSHA BRENGSEK! KALAU BUKAN KARENA BOKAP MINTA GUE PANGGIL LO BALIK KE RUMAH, GUE GAK BAKAL SUDI CARI LO!”

Suara laki-laki yang Nakusha sebut adik hilang ketika Nakusha menutup pintu dapur. Dia melangkah lurus menuju pintu lainnya yang berada di dalam dapur. Berbeda dengan dapur yang cerah karena lampu, ruangan yang dia masuki gelap gulita. Ketika dia menekan sakelar, matanya tersuguhi deretan komputer dengan monitor serta sosok tak diundang yang duduk dikursinya.

“Jehan, long time no see!” Pria berusia sekitar 45 tahun dengan mata biru, rambut pirang dan bertubuh kekar menyapa hangat. “Di luar sangat berisik, I think.

Nakusha melepaskan jaket denimnya, meletakkannya dengan rapi di atas meja bersamaan dengan sarung tangan, menyisakan kaos hitam ketat yang membungkus tubuhnya. Memperlihatkan pundak lebar dengan pinggang ramping.

“Kenapa lo di sini?” tanya Nakusha tanpa basa-basi sambil bersandar di meja dengan kedua tangan berada di pinggir meja, satu kakinya tertekuk santai.

“Lo? What is that?” Pria itu membuka buku dan membalikkannya asal-asalan. “Jangan berbicara bahasa informal denganku, Jehan. Kau tau sendiri aku tidak pandai bahasa negara ini.”

Nakusha terdiam sesaat sebelum mengedikkan dagu samar. “Bahasa Indonesiamu lebih baik, Calisto.”

“Tentu saja. Aku mempelajarinya demi kau, Jehan.” Calisto tersenyum hangat. “Sepertinya harimu di Indonesia sangat baik. Kuharap kau tidak melupakan pamanmu ini.”

“Ya, kau juga sepertinya menjalani hari yang baik dengan organisasimu,” balas Nakusha tak acuh.

“Tapi kau juga tidak melupakan tujuanmu di sini, kan?”

Pertanyaan Calisto membuat wajah acuh tak acuh Nakusha berubah dingin. “To the point.”

“Ah, benar-benar Jehan-ku.” Calisto terkekeh. Dia bangkit, menepuk kursi seolah mempersilakan Nakusha duduk di sana. “Sebenarnya aku sedikit dibuat pusing dengan organisasi baru yang muncul, mencuri informasi dan klien-klienku.”

“Lalu apa yang kau inginkan? Tentang organisasi baru itu, pemimpinnya, atau keberadaan mereka?”

“Jehan tidak pernah mengecewakanku. Tidak sia-sia aku memperkenalkanmu pada bidang ini.” Calisto terkekeh. “Aku ingin semua.”

Nakusha menatapnya datar, lalu beranjak duduk dikursinya sambil mengaktifkan komputer yang ada di sana. Wajahnya tanpa ekspresi menatap kode-kode di komputer dengan sepuluh jari secara fleksibel menekan keyboard.

Dari belakang, senyum Calisto semakin dalam melihat kecepatannya.

***

Jam kosong yang jarang terjadi di hari Senin membuat para siswa SMA Lesmana bersorak sorai. Terlebih mengetahui alasan spesifiknya bahwa mereka akan mengadakan pembagian kelompok untuk diesnatalis di lapangan outdoor sekolah.

Berdiri di bawah naungan pohon, kelas X-IPA 2 tengah menunggu kelas lain yang sekelompok dengan mereka. Berbagai tebakan mereka sebutkan sebab tidak sabar melihat kakak kelas yang akan sekelompok dengan mereka.

“Le, lo gak penasaran apa sama kakel kelompok kita?!” tanya Yelin gembira sambil meremas lengan sahabatnya. “Gila, sih. Kesempatan gue punya pacar lebih besar dibanding sebelumnya.”

Azalea memutar bola matanya malas lalu menoyor kepala gadis itu. “Sadar, ogeb, sadar! Jangan jadi buaya betina plis!”

“Gak bisa! Gue—”

“AAAAA! KAK NAKU!!!”

Pekikan nyaring serempak itu mengagetkan beberapa orang, termasuk Azalea dan Yelin. Ketika mereka menoleh, mereka melihat dilatar belakangi cahaya matahari, tiga sosok melangkah mendekat dengan seragam super rapi. Nakusha berjalan di tengah sambil memegang sebuah kertas, sisi kirinya ada Caka dan sisi kanannya terdapat Elazar.

Yelin dan Azalea sontak berdecak kagum. Mereka terlihat seperti sedang melakukan syuting film superhero yang baru saja menyelamatkan seseorang!

“Kalian kelompok Black Thunder, kan?” tanya Caka ketika berhenti di depan kelas X-IPA 2.

Seluruh gadis di sana cengo sementara, lalu mengangguk cepat.

“Bagus. Kita sekelompok.”

Terdengar keluhan dan kekecewaan dari siswi kelas lain yang mendengarnya, membuat siswi kelas X-IPA 2 memasang wajah sombong kepada mereka.

Nakusha melirik jam tangan hitam di pergelangan tangan kirinya. “Oke, kita—”

“AAAA!!! KAK SALGA!!!”

Kalimat Nakusha putus karena pekikan nyaring tersebut.

Lagi-lagi pandangan mereka beralih mencari sosok yang membuat kerumunan menjadi lebih heboh. Berbeda dengan aura positif saat Nakusha dan kawan-kawan datang, Salga, Genta dan Abe melangkah menuju kelompoknya dengan seragam berantakan.

Khususnya Salga. Dasinya sudah hilang entah ke mana, kemeja putih tak terkancing yang memperlihatkan kaos hitam polos, serta kalung rantai perak yang menggantung di lehernya, bersembunyi di balik kaosnya.

“Kita terlambat, gak?” tanya Genta langsung kepada Yelin yang berjarak beberapa meter darinya.

Sekitar mereka semakin gaduh karena kedatangan banyak the most wanted sekolah. Banyak yang iri kepada siswi-siswi yang memiliki keberuntungan bisa sekelompok dengan kelas XII-IPA 1.

Azalea melirik mereka semua lalu menggeleng. Pesona laki-laki tampan memang selalu utama. Lalu ketika dia mendongak, dia secara tak sengaja bersitatap dengan Nakusha.

Inginnya dia membuang muka, tapi ketika melihat bibir Nakusha melengkung membentuk senyum lembut, Azalea merasa jantungnya tidak sehat lagi.

Salga di samping peka terhadap interaksi mereka. Dia menaikkan satu alisnya sambil tersenyum dingin. Dia tidak akan pernah memberi Nakusha kesempatan untuk mendekati adiknya.

TBC

October 16, 2021.

5K.

Seperti biasa, nikmati dulu alur tanpa konflik. Nanti jadi kangen ketika konflik terjadi :")

Azalea & Alter Ego Boy ✓Where stories live. Discover now