52

50.4K 10.6K 6.1K
                                    

Sudah berbulan-bulan tidak menginjakkan kaki di apartemennya. Nakusha memarkirkan motornya di basement, lalu menaiki lift menuju lantai 8.

Memasuki kata sandi di depan sebuah pintu, wajahnya masih tetap tanpa ekspresi, lalu membuka pintu. Hari ini Senin, seharusnya dia tetap berada di sekolah. Dia datang mengunjungi apartemen yang hampir dia lupakan keberadaannya karena...

“Seperti biasa, Jehan selalu cepat menemukan keberadaanku.”

... dia. Pria berambut pirang dengan senyum menyebalkan.

Nakusha melepaskan helmnya, menyimpannya di atas nakas tanpa melirik lebih Calisto yang duduk santai di sofanya. Mengambil air botol di kulkas, dia melirik tanggal kadaluarsa sesaat sebelum meneguknya.

“Apa lagi kali ini?”

“Salahkah aku menemui putra angkatku?” Calisto masih mempertahankan senyumnya. Menatap Nakusha yang akhirnya duduk di hadapannya, lengkungan bibirnya menjadi lebih jelas. “Tidak menggunakan kacamata?”

“Rusak,” sahut Nakusha.

“Yah... tidak apa-apa.” Pria itu mengangguk-angguk. “Tanpa itu, wajahmu tidak akan begitu mirip dengan Papa kandungmu.”

Atmosfer dalam ruangan tersebut seketika menurun. Mata Nakusha yang tengah menatap Calisto perlahan goyah, menampilkan kenangan masa lalu.

Saat itu sudah 3 bulan setelah dirinya bebas dari penculikan. Di bawah asuhan perawat yang disewa Calisto, Nakusha memiliki pola makan yang lebih baik. Luka-luka dikulitnya memudar, bahkan tubuhnya yang kurus perlahan mulai berisi.

Melihat kondisi Emily yang selalu sama, pada akhirnya kepanikan di awal mulai sirna. Entah bagaimana pun dia mencoba menyadarkan wanita itu, tetap saja tidak bisa.

Seperti biasa, dia berdiri di samping tempat tidurnya, menatap pipi mamanya yang cekung, wajah pucat, bibir kering dan pecah-pecah, mata menatap langit-langit ruangan dengan kosong, serta rambut berantakan. Penampilan Emily nampak seperti mayat hidup.

Namun tiba-tiba Emily menolehkan kepala, menatapnya sejenak dengan riak rumit di matanya. Tangannya yang tersisa tulang dan kulit terangkat, menyentuh pipi Nakusha lembut.

“S-sangat mirip,” bisik wanita itu dengan mata berair. Jarinya yang lembut mengusap pipi Nakusha dengan gerakan lambat. “Jika Jehan menggunakan kacamata, pasti lebih mirip.”

Nakusha yang sejak awal berdiri kaku karena sentuhan Emily menjadi tertegun. Pupil matanya menyusut mendengar itu. “Mama...” Sejak tiga bulan, kata ini akhirnya kembali muncul.

Kasus penculikan itu membuat psikologis Nakusha terguncang. Dia menjadi lebih diam, apa lagi melihat kondisi mamanya sendiri. Hatinya mulai tidak berfluktuasi sama sekali setelah melihat Emily yang semakin lama semakin kurus dan lemah.

“Papamu sangat tampan, Mama senang kamu mirip sepertinya.” Untuk pertama kalinya setelah mereka meninggalkan rumah dan pergi ke Amerika, dia melihat senyum tulus mamanya. “Dia pria yang baik, Mama sangat senang bisa bertemu dengannya.”

Tidak, dia pria yang jahat. Bantah Nakusha dalam hati. Tangannya mengepal memikirkan bagaimana dia dibawa pergi oleh Emily dari tempat yang tidak sudi dia sebut rumah. Meski dia berusia 5 tahun saat itu, dia masih mengerti situasi. Dilahirkan untuk menjadi cerdas sejak kecil membuatnya lebih cepat beraptasi dengan kondisi sekitarnya. Apa lagi masalah yang timbul.

Tiga tahun di Amerika, kondisi mereka semakin memburuk. Dia masih kecil, tidak bisa melakukan banyak hal untuk membantu. Sedangkan Emily akan bekerja paruh waktu di restoran dan menjadi bartender di sebuah club terkenal. Kondisi ekonomi yang sulit membuat mereka hanya bisa tinggal di apartemen kecil dengan satu kamar tidur.

Azalea & Alter Ego Boy ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora