69

32.6K 7.3K 2.2K
                                    

Sudah beberapa jam Azalea menemani Nakusha yang masih tak sadarkan diri. Melihat laki-laki itu terbaring dengan wajah pucat, air matanya lagi-lagi jatuh namun segera dia hapus. Tatapannya perlahan terarah ke pergelangan tangan kiri Nakusha yang terbungkus perban.

Pupil matanya sedikit bergetar membayangkan urat sekecil itu dapat mengeluarkan banyak sekali darah. Untungnya ditemukan dengan cepat, meski Nakusha kehilangan banyak darah sehingga saat tiba di rumah sakit dia harus ditransfusi darah. Setidaknya dia bisa terselamatkan.

Azalea meremas bajunya hingga kusut. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika dia tidak datang saat itu. Mungkin Nakusha sudah... buru-buru Afsheen menggelengkan kepala, mengusir bayangan buruk dalam benaknya.

“Dari arah sayatannya, katanya emang dibuat Naku. Soalnya kalau orang lain yang buat, gak bakal seperti itu.” Elazar yang datang setelah mendengar penjelasan dokter datang memberitahu Azalea hal tersebut.

“Tapi Ehan bukan orang yang suka sakitin diri sendiri.” Azalea berbisik pelan. Suaranya serak karena sudah lama tidak berbicara.

“Le, lo baru kenal Naku setengah tahun. Gue yang hampir tiga tahun sama dia aja gak bisa nebak pola pikir Naku.” Elazar mengusap tengkuknya, mau tak mau berbicara seperti itu untuk menyadarkan Azalea.

Azalea menunduk, tidak menjawab. Caka yang baru datang menepuk pundak Elazar, menunjuk di arah belakangnya. Ketika Elazar menoleh, dia melihat seorang pria paruh baya berjas dan seorang laki-laki remaja.

“Bokapnya Naku,” bisik Caka kepada Elazar, membuatnya menaikkan alis kaget. Mengamati pria paruh baya itu hati-hati, dia menghela napas.

“Pantesan aja bibitnya bagus. Wong jantannya modelan gini.”

Caka menyenggol lengan Elazar yang tengah bergumam. “Jangan ngomong aneh-aneh lo anjir.”

Elazar sontak membuat gerakan meresleting bibirnya sambil mengangguk.

“Nakusha brengsek, lemah banget lo. Bangun!” Remaja laki-laki itu masuk dengan mata memerah, berdiri di samping Azalea dengan tangan mengepal.

“Bian,” tegur Giandra langsung.

Merasa canggung, Caka mendekati Azalea, menariknya keluar dari bangsal tersebut untuk meninggalkan Giandra dan Bian bersama Nakusha sendiri.

“Bajingan. Lo kakak termunafik yang pernah ada, Nakusha.” Bian mendesis. Matanya berkaca-kaca melihat Nakusha diam tanpa membalas kata-katanya. Yah, selalu seperti itu memang. Dari dulu Nakusha tidak akan membalas kata-katanya. Tetapi bedanya dia akan selalu menatapnya aneh dan terasing, berbeda dengan sekarang yang memejamkan mata tanpa kesadaran.

“Waktu itu lo janji bakal main sama gue terus. Lo janji bakal pulang. Tapi setelah suruh gue selesein rubik itu, lo gak pernah balik. Lo bohongi gue, gue benci sama lo.” Air mata Bian meluruh tanpa sadar. Dia mengusap matanya menggunakan lengan. Tidak ingin dilihat Giandra, dia buru-buru berbalik dan keluar dari bangsal.

Saat berumur 4 tahun, dia selalu mengagumi Nakusha. Dia selalu bingung mengapa mamanya melarangnya bermain dengan Nakusha. Itu tidak menghentikannya mendatanginya, hingga berulang kali Nakusha dimarahi mamanya. Tapi Nakusha tidak mengatakan apa-apa, selalu meladeninya dengan senyum tipis.

Kakaknya bisa diajak bermain, lembut, dan bisa menjawab semua pertanyaan yang tidak bisa dijawab mamanya. Bian sangat menyukainya. Hal favoritnya adalah menghabiskan waktu bersama Nakusha.

Namun semua tiba-tiba berubah saat Emily datang meraih Nakusha yang bermain dengannya. Melihat koper besar yang digeret Emily, Bian tanpa sadar menahan Nakusha. Dia merasa kakaknya akan meninggalkannya sendiri. Tetapi saat itu Nakusha hanya tersenyum. Dia memberikannya rubik dan menyuruhnya menyelesaikan rubik tersebut sembari menunggunya pulang.

Hari berganti hari sampai berganti bulan pun Nakusha tidak kembali. Melihat rubik yang belum selesai, Bian bertekad dan menyesuaikan warna yang sama dalam satu bulan kemudian. Wajahnya berseri-seri menunggu kepulangan Nakusha. Namun hingga beberapa tahun kemudian, dia tidak pernah melihat sosoknya lagi...

Giandra menatap Nakusha lekat, helaan berat lolos dari bibirnya. Dia menepuk punggung tangan sang anak pelan. “Naku, begitu kagetnya kamu mengetahuinya? Atau seharusnya Papa tidak mengirimi semua fakta itu? Tetapi Papa juga tidak ingin dibenci olehmu.”

Ini sangat berat baginya mengetahui hal yang menimpa wanita yang dia cintai serta buah hati mereka. Namun dia tidak pernah membayangkan Nakusha akan nekat melakukan hal ini. Jika dia mengetahuinya, lebih baik dibenci seumur hidup daripada Nakusha menyakiti dirinya sendiri.

***

Azalea memang belum mengenal Nakusha lama. Tapi Nakusha selalu menjadi pihak yang tidak ingin mendapat kerugian. Apa untungnya menyakiti diri sendiri? Azalea tidak bisa menebaknya. Merasa gelisah dalam hati, dia pergi meninggalkan rumah sakit sendirian dan menuju apartemen Nakusha. Dia ingin melihat lebih detail tempat tinggal Nakusha, mungkin hatinya akan merasa lebih tenang.

Karena tidak ingin menimbulkan kegaduhan di masyarakat sekitar, tempat kejadian yang mana adalah apartemen Nakusha bersih seperti tidak terjadi apa-apa. Pintu masuk pun tanpa kunci, Azalea bisa menerobosnya. Namun saat masuk, matanya terkunci pada sosok pria paruh baya berjas perak yang berdiri di depan nakas sambil memandang bingkai foto yang tergeletak di atasnya.

Merasakan kehadiran seseorang, pria itu menoleh. Ada keterkejutan singkat di wajahnya. Pria itu sangat tinggi dengan rambut pirang dan mata biru. Sangat jarang Azalea melihat orang asing secara langsung. “Siapa kamu?”

Azalea mengernyit. Seharusnya dia yang bertanya, siapa orang asing ini?

Mungkin menyadari ketidaksopanannya, pria itu berdeham. “ Calisto, ayah Jehan.”

“Bukannya ayah Nakusha ada di rumah sakit?” tanya Azalea balik dengan tatapan penasaran.

Calisto terkekeh. Dia melangkah ke sofa dan menunjuk sofa seberangnya, mempersilakan Azalea duduk. “Aku ayah angkatnya. Tapi Jehan tidak pernah ingin memanggilku ayah. Jadi anggap saja aku pamannya.”

“Begitu,” gumam Azalea mengangguk mengerti. Dia menatap Calisto diam-diam, berusaha mencerna semua hal yang dia ketahui hari ini. Nakusha punya dua ayah? Selama ini dia memang jarang membahas keluarganya. Sepertinya Elazar benar, dia tidak tahu apa-apa tentang Nakusha. “Paman tahu Nakusha kecelakaan dan saat ini berada di rumah sakit?”

“Ya. Aku ingin mengunjunginya, namun hubunganku dengan ayah kandung Nakusha cukup rumit. Jadi aku berniat melihat apartemennya lebih dahulu.” Calisto menjawab dengan senyum lembut. “Bagaimana denganmu, gadis kecil?”

Azalea meremas tangannya gelisah sebelum tersenyum kikuk. “Tidak ada apa-apa di bangsal. Jadi aku ingin mengambil barang pribadi Ehan supaya saat dia sadar aku tidak perlu bolak-balik ke sini lagi.”

I see.” Calisto menatap Azalea lekat. Melihat gadis itu curi-curi pandang sesekali, dia terkekeh dan menyandarkan punggung ke belakang. “Jehan sudah besar, pantas saja sudah mencari pacar secantik ini.”

“Paman bisa aja.” Azalea melambaikan tangan malu-malu.

“Yah, sepertinya dia benar-benar memilih melupakan gadis kecil itu.” Calisto tersenyum samar, dari ekspresinya nampak dia sangat lega mengatakan itu.

Punggung Azalea menegak. Tatapannya berubah serius memandang Calisto. “Maksud paman?”

“Oh, Jehan belum menceritakannya padamu? Wajar, mungkin dia benar-benar ingin melupakannya. Padahal dia datang ke Indonesia salah satu alasannya untuk mencari gadis kecil itu.”

Gadis kecil? Apakah itu Vanilia? Pikir Azalea dengan kepala tertunduk dengan senyum masam. Lagi-lagi dia harus mengakui bahwa dia benar-benar tidak mengenal Nakusha dengan baik.

TBC

May 6, 2022.

2K besok aku up lagi.

Azalea & Alter Ego Boy ✓Where stories live. Discover now