64

54.7K 10.6K 6.8K
                                    

Nakusha menatap pria yang berdiri dengan payung hitam di pinggir gerbang sekolah. Setelan jas hitamnya setengah basah akibat percikan hujan, membuat penampilannya sedikit canggung. Ada gurat kelelahan bercampur gugup dalam ekspresinya. Dia tidak mengerti apa yang membuat pria itu datang mencarinya seperti ini, tetapi jelas tujuannya seputar mamanya.

Kebisingan hujan membuat pria itu tidak menyadari sosok yang mendekatinya. Tangannya menggenggam erat pegangan payung, kegelisahan melingkupi hati dan pikirannya.

“Ada apa?”

Suara berat dari belakang membuat Giandra tersentak pelan. Dia berbalik, menatap wajah yang sedikit mirip dengannya ketika muda dulu. Namun jelas Giandra merasa anaknya lebih tampan dari dirinya sendiri. Itu jelas, ada gen wanita tercintanya dalam sang anak, membuatnya merasa bangga sekaligus senang.

Namun melihat Nakusha tanpa payung membuat sekujur tubuhnya basah dengan rambut yang penutupi keningnya, Giandra merasa cemas. “Kenapa kamu tidak menggunakan payung? Bagaimana jika nanti kamu demam?”

Nakusha menatapnya tenang, tanpa menyahut apa-apa.

Giandra yang melihat ketenangannya hanya bisa menekan kecemasannya. Dia ingin maju berbagi payung dengannya, namun memikirkan reaksi penolakan Nakusha, dia menahan diri. “Papa ingin berbicara denganmu. Mari cari tempat untuk berbincang?” tawar Giandra.

Nakusha terdiam sejenak, melirik arah sekolah sebelum mengangguk. Ada kelegaan dalam ekspresi Giandra. Dia melangkah menuju mobil, duduk di kursi pengemudi dan buru-buru menghidupkan penghangat.

“Kamu ingin mampir ke sebuah toko untuk mengganti baju?” tanya Giandra sembali berbalik ke belakang. Melihat Nakusha masih bergeming di pintu mobil, dia segera mendesaknya. “Cepat masuk. Di luar dingin.”

Nakusha melirik wajah cemasnya, lalu duduk di kursi belakang dengan tubuh basah kuyup. Giandra segera membawanya ke apartemen miliknya lalu menyuruhnya menunggunya kembali. Ini pertama kalinya Nakusha mengunjungi tempat Giandra selain rumahnya. Dia menatap apartemen kosong yang hanya memiliki sofa serta nakas. Beberapa menit menunggu, dia mendengar suara derit pintu terbuka kembali terdengar.

“Ganti bajumu, jangan sampai masuk angin.” Giandra menyerahkan paperbag hitam kepadanya. Melihat punggung Nakusha menghilang di balik pintu kamar mandi, pria itu segera menuju dapur membuatkannya susu hangat.

Dua puluh menit kemudian, keduanya duduk berhadapan. Rambut Nakusha setengah basah. Tanpa kacamata, tatapan dinginnya tidak lagi tertutupi. Bahkan Giandra merasa gelisah tanpa sadar di bawah tatapannya.

“Naku... bisa kamu katakan pada Papa apa yang terjadi pada mamamu?” tanya Giandra hati-hati. Saat ini perusahaannya dilanda krisis, namun pikirannya berkecambuk akan masalah wanita yang selalu memenuhi hatinya.

“Masih bertanya hal itu?” Nakusha berdengus. Dia menyandarkan punggungnya pada sofa, menatap Giandra dengan senyum sarkas. “Biar anda tidak penasaran lagi, saya akan menjelaskannya dengan detail.”

Giandra merasa tertohok mendengar Nakusha menggunakan anda-saya dalam pengucapannya. Apa lagi mendengar keseluruhan cerita Nakusha. Apa yang terjadi setelah mereka pergi dari rumah, bagaimana Emily membanting tulang mencari uang untuk membiayai hidup mereka, hingga di mana Nakusha diculik dan berakhir Emily yang sakit parah hingga meninggal.

Mata Giandra memerah. Dia menyesal, seandainya dia berusaha lebih keras mencari Emily dan Nakusha, pasti mereka tidak akan mengalami hal buruk itu.

“Apa Emily pernah berkata mengapa dia pergi dari rumah?” tanya Giandra dengan suara rendah.

Alis Nakusha terangkat. “Tidak.”

Giandra tenggelam dalam pikirannya. Sampai saat ini dia tidak tahu apa yang menyebabkan Emily meninggalkannya. Tidak mungkin itu karena Vela, sebab jika iya maka seharusnya sejak awal Emily meninggalkannya, tidak akan bertahan selama lima tahun lebih.

Azalea & Alter Ego Boy ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang