39

60.9K 12.7K 5.9K
                                    

Ruang guru yang biasanya sunyi penuh keseriusan kini cukup bising dengan perdebatan. Tiga guru wanita dari tim Black Thunder berwajah tegas, masih memperjuangkan hak mereka sebagai kelompok.

“Kalau Salga dan Nakusha menjadi satu saat mengikuti cerdas cermat, bukankah itu tidak adil bagi tim lain? Juara untuk cerdas cermat sudah pasti ada di tangan tim Black Thunder.” Seorang guru berkata dengan wajah masam.

Wali kelas XII-IPA 1, Bu Nara, menggeleng. “Bukan salah kami dong kalau memiliki dua siswa yang punya IQ tinggi? Ini fair, tidak ada kecurangan. Lagi pula kelas Ibu juga ada yang pintar, bukan? Dari daftar nama yang Ibu ajukan, ketiganya adalah murid kelas 12 yang masuk juara 10 besar umum sekolah. Salah, kah, jika Salga dan Nakusha bersatu juga?”

Melihat guru-guru lain, Bu Nara menghela napas dalam hati. Sebenarnya dia pikir hanya Nakusha yang akan berpartisipasi ke dalam tim cerdas cermat. Namun Salga tiba-tiba datang mendekatinya lalu mengajukan diri untuk bergabung.

Tentu saja Bu Nara merasa senang karena akhirnya siswa nakalnya yang satu itu ingin aktif dalam kegiatan sekolah. Tetapi saat menyerahkan daftar nama, guru-guru dari tim lain tidak setuju tatkala melihat nama kedua siswa cerdasnya itu bersama.

Sudah menjadi hal lumrah guru-guru di sekolah ini mengagumi kepintaran keduanya. Bahkan pernah terpikir bagaimana jadinya jika keduanya berada dalam satu tim saat lomba. Tetapi mereka seperti bertolak belakang. Tidak akan mau bersatu saat diminta menjadi aliansi.

“Ini kesempatan melihat Nakusha dan Salga dalam tim yang sama.” Guru lainnya menyahuti dengan semangat.

“Mereka berdua juga siswa yang ingin memeriahkan dies natalis sekolah. Tujuan diadakan acara ini agar semua orang, baik guru maupun siswa, semakin dekat. Menang atau kalah itu hanyalah bonus.” Kepala sekolah menengahi perdebatan guru-guru.

“Benar, Pak.” Bu Nara tersenyum senang karena kata-kata dari kepala sekolah memblokir semua ketidaksetujuan guru-guru. “Karena Nakusha dan Salga bersama, saya pikir satunya lagi akan menjadi siswa dengan nilai biasa saja.”

“Baik, sudah diputuskan. Mari kita lanjut membahas agenda berikutnya.” Kepala sekolah mengakhiri topik tersebut dengan lugas.

Sembari memperhatikan pembahasan kepala sekolah, Bu Istan termenung sejenak sebelum mendekati Bu Nara dan berbisik, “Bu Nara, saya pikir tidak baik membiarkan tim cerdas cermat semuanya diisi oleh kelas 12.”

“Ya, saya juga memikirkannya. Apakah Bu Nara punya siswa untuk direkomendasikan? Alangkah baiknya jika dia tidak begitu pintar dan mencolok.”

Bu Istan merenung sejenak sebelum tersenyum penuh arti. “Saya punya kandidat yang cocok. Dia adalah....”

***

“SAYA?!” Azalea menunjuk dirinya sendiri dengan shock. Menatap Bu Istan tak percaya, dia menelan saliva kasar sebelum kembali melanjutkan, “Ibu nggak becanda, kan? Saya bego loh. Nilai bahasa Inggris dan Indo aja tepat di KKM.”

“Tidak apa-apa, Azel.” Bu Istan menepuk pundaknya sembari membujuk. “Tetap optimis dan bawa kemenangan untuk tim kita!”

“Tapi Bu—”

“Azel, tidak ada kata tapi!” Bu Istan mencegahnya berbicara lebih banyak lalu menarik tangannya. “Ayo ikut Ibu sekarang.”

“Ke mana, Bu? Kelas saya belum selesai pelajaran, loh.” Azalea menatap wanita paruh baya yang bersemangat itu bingung.

“Ke mana lagi selain pertemuan tim? Entar sore cerdas cermat dimulai. Lebih baik kalian persiapan dari sekarang.”

“APA?! SEKARANG?!”

Kepala Azalea seketika merasa pening. Kenapa Bu Istan suka sekali membuatnya dalam masalah? Pasti Bu Istan ada dendam pribadi terhadapnya, kan?

Sesampainya di sebuah ruang kelas tak terpakai namun tetap bersih, Azalea melongo di ambang pintu.

“Kalian....”

Azalea sontak memijat pelipisnya. Oke, dia mulai menerima takdir bahwa dia akan mengikuti cerdas cermat hari ini. Tapi tidak ada yang mengatakan dia akan bersama Nakusha dan Salga!

“Lo ikut?” Salga menatap adiknya sinis. Posisinya saat ini sedang bersandar di meja sambil bersedekap dada dengan satu kaki tertekuk santai.

“Apa lo?!” Azalea memelototi Salga sebelum menatap Nakusha dengan mimik menyedihkan. “Ehan... gue dipaksa ikut.”

Sudut bibir Salga berkedut melihat penampilan adiknya saat ini. Padahal biasanya dia sangat ganas dan suka melompat sana sini. Sejak kapan dia belajar akting menjadi gadis yang pemalu? Palsu!

Nakusha tersenyum geli dan menarik kursi di sebelahnya kemudian menepuknya pelan. “Duduk di sini.”

“Le, inget kata-kata gue?” Salga mulai memperingati dengan sorot mata tajam.

Azalea berjalan menuju arah Nakusha untuk duduk di sebelahnya alih-alih mengindahkan kalimat ancaman Salga. “Ehan, kita belajar apa?”

“Gue gak tau,” jawab Nakusha pelan. Laki-laki itu menopang kepalanya dengan satu tangan di atas meja sambil menghadap Azalea.

“Idiot, keras kepala banget!” Salga sudah mendekat penuh kesal. Tanpa memberi aba-aba, dia mengangkat kursi Azalea sekaligus gadis itu, lalu meletakkannya jauh dari Nakusha. “Gak dengerin gue lagi, bakal gue cincang lo!”

“KAK ALGA!”

Nakusha mengernyit melihat Salga seperti ini. Dia meliriknya dingin, namun langsung dibalas Salga dengan pandangan provokatif.

“Gue orang baik. Kalian sesama gender gak baik deket-deket, ntar disangka homo.” Salga menyugar rambutnya, lalu sudut bibirnya terangkat. “Gak perlu bilang makasih.”

Azalea mendelik. Kepura-puraan Salga sangat membuatnya mual! Padahal tanpa dia bilang pun, Nakusha sudah tahu identitas aslinya.

Drttt drtttt

Salga mengernyit, merasa terganggu karena getaran ponselnya. Ketika dia hendak menolak panggilan yang masuk, matanya berubah cerah dan segera mengangkat panggilan sambil melangkah keluar dari ruang kelas tak terpakai tersebut.

Azalea mendengkus melihat wajah bahagia sang kakak. Tidak perlu berpikir banyak, pasti itu Skaya yang menelponnya. Anak mama tetaplah anak mama.

Suara derit kursi bergesekan dengan lantai menggema di ruangan tersebut. Azalea tiba-tiba merasa bayangan menutupi cahaya dari samping. Ketika mendongak, dia melihat Nakusha duduk di pinggir mejanya dengan kedua tangan dalam saku celana.

“Kak Alga?” Nakusha bertanya dengan ekspresi datar. “Terus gue?”

“Ehan... kan?” kata Azalea ragu-ragu.

Nakusha tidak merespon, namun tetap menatapnya dalam diam.

Azalea memikirkannya sejenak sebelum mencicit dengan ekspresi malu. “Kak Ehan?”

Sorot Nakusha sedikit goyah mendengarnya. Dia langsung membuang muka ke samping, masih tidak mengatakan apa-apa.

Azalea menyadari anomalinya. Meski tidak mengatakan apa-apa, dia dapat melihat laki-laki itu sedikit tersipu. Dengan seringai, dia berdiri lalu mencondongkan tubuh mendekati telinga Nakusha.

“Kak Ehan.... jadi lo suka gue manggil gini?” bisik gadis itu tepat di samping telinga Nakusha.

Ketika Nakusha menoleh ke arahnya, bibirnya menggesek pipi Azalea. Tatapan keduanya terkunci, bahkan tidak menyadari sosok yang mematung di pintu.

“BRENGSEK! LO BERDUA BUAT APA?!”

TBC

October 23, 2021.

5K.

Azalea & Alter Ego Boy ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang