65

41.9K 8.9K 1.8K
                                    

Belakangan, karena Giandra yang terus menerus muncul, kebiasaan Nakusha berubah. Dari yang awalnya hanya keluar dari sekolah untuk bekerja di café pada akhir pekan berubah menjadi mengikuti tujuan pria tersebut.

Tak berbeda dari minggu-minggu sebelumnya, saat Nakusha berjalan melewati gerbang, matanya menyapu sebuah mobil Alphard putih sebelum membuang muka. Tatkala hendak berjalan ke arah sebaliknya, pintu mobil tersebut terbuka. Sesosok remaja keluar dengan wajah cemberut.

“Nakusha! Berhenti!” Remaja itu berlari dengan tatapan bermusuhan.

Langkah lebar Nakusha mulai melambat tanpa disadari Bian. Ketika Bian dengan kasar menarik pundaknya, sudut bibir Nakusha terangkat samar. Dia menepis tangannya sebelum berbalik. “Kenapa?”

Bian menatap Nakusha galak. “Papa nyuruh makan bersama.”

“Gak.”

“Lo…” Kata-kata Bian tercekat. Dia mengepalkan tangannya erat sebelum mengambil keputusan bulat. “Gak peduli apapun alasannya, lo mesti ikut gue!” seru Bian membuat siswa-siswi Lesmana yang berada di sekitar mereka menoleh.

Bian tersipu karena menarik pandangan semua orang, sebelum menarik lengan Nakusha menuju mobil. Tanpa dia sadari, tidak ada perlawanan dari Nakusha sejak awal hingga mereka duduk di dalam mobil.

Nakusha melepaskan kacamata dan sweaternya, menyisakan kemeja putih dengan lengan yang dilipat hingga siku.

Bian sejak tadi diam-diam memperhatikan. Begitu Nakusha menoleh, dia buru-buru melihat ke arah jendela dengan ekspresi cemberut. Dia merasa marah. Apa Nakusha buta sehingga tidak melihat sesuatu pada dirinya? Bian sibuk merutuk dalam hati.

Nakusha bersandar dengan postur santai. Melirik betapa buruk ekspresi remaja di sampingnya, sudut bibirnya berkedut. “Muka lo jelek.”

Punggung Bian seketika menegak. Dia menoleh dengan mata penuh harap, tanpa disadarinya. “Apa?!”

Nakusha sadar!

“Jatuh di selokan mana sampe bonyok gitu?” tanya Nakusha tak berdaya sebelum bertanya kepada sopir di mana letak kotak P3K.

“Selokan muka elo!” rutuk Bian namun tidak bisa menyembunyikan semangatnya. Matanya tidak lepas dari semua pergerakan Nakusha. “Anak sekolah sebelah main keroyokan. Banci emang gak berani one by one.

Nakusha menggeleng-geleng samar sebelum mengeluarkan alkohol dan kapas. Dia menyuruh Bian mendekat, yang membuat remaja itu patuh, sebelum membersihkan luka di sekitar wajahnya.

“Akh, sakit babi.” Bian memaki sembari mencoba mengingsut ke belakang, namun dengan cepat Nakusha menahan tengkuknya agar tidak menjauh dari jangkauannya. “Nakusha sialan, lepasin gue!”

Bukannya melepaskan atau meringankan, Nakusha malah semakin menekan kapas tersebut ke luka Bian, membuat ringisan kesakitan keluar dari mulut remaja tersebut.

“Coba ulang.”

Tatapan keduanya beradu. Bian dapat melihat jelas mata tanpa riak Nakusha yang mampu membuatnya bergidik. Dia menelan saliva kaku. “A-apa?!” balasnya tajam berusaha terlihat lebih galak.

Nakusha mengalihkan tatapannya pada pipi serta pelipis Bian yang lebam sebelum menjauh dan menutup kotak P3K. “Sampai rumah nanti bersihin lebih detail luka lo.”

“Siapa lo main nyuruh-nyuruh gue?”

Mengabaikan suara tajam Bian, Nakusha melanjutkan kata-katanya, “Luka lo bakal terjadi infeksi kalau gak dibersihin. Kalau sampai peradangan karena bakteri Staphylococcus aureus, bakal ada nanah di muka lo. Tau bernanah, kan? Cairan putih kekuningan atau mungkin aja hijau, dengan bau—”

Azalea & Alter Ego Boy ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang