54

45.1K 11K 7.3K
                                    

"Azel? Bisa dijelaskan mengenai hal ini?" Bu Istan lalu mengeluarkan dokumen mengenai identitas Azalea, menyimpannya di atas meja sembari melihat-lihat.

Azalea kembali meletakkan ponsel Bu Istan di atas meja. Tangannya sedikit gemetar namun dia segera mengepalkannya.

"Azalea?" Suara yang sedikit familiar itu terdengar dari arah belakangnya. Azalea menoleh, melihat Pak Wawan dari bagian TU memasuki ruang guru dengan sedikit bingung.

"Pak Wawan," sambut Bu Istan langsung. "Siswa baru ini membuat identitas palsu di sekolah. Bagaimana bisa dia melakukannya?"

Pak Wawan berdiri di samping Azalea, menatap gadis itu tenang dan membujuk. "Kamu belum memberitahu wali kelasmu tentang masalahmu?"

Mendengar kata-kata Pak Wawan, Bu Istan mengernyit dan segera mengarahkan pandangan pada Azalea yang menunduk. "Masalah apa?"

"Tidak apa-apa, katakan saja sejujurnya." Pak Wawan kembali membujuk, membuat Azalea meringis pelan, merasa bersalah.

Gadis itu mendongak, menatap Bu Istan sekilas lalu Pak Wawan yang menatapnya lembut seolah tidak ingin dia takut. "Maaf, Pak."

"Maaf untuk apa?" Pak Wawan terperenyak sementara, menatap wajah gelisah Azalea yang menunduk bersalah. Mengerti maksudnya, pria paruh baya itu menghela napas pelan lalu menatap Bu Istan. "Sepertinya ini benar-benar salah saya. Maafkan kekacauan ini, Bu. Saya akan mengikuti keputusan yang akan diambil kepala sekolah mengenai masalah ini."

Bu Istan menatap Pak Wawan rumit. Semua guru di sekolah tahu bahwa Pak Wawan adalah orang yang sangat baik sampai kadang-kadang tertipu oleh murid-murid nakal. Jika masalah ini tidak begitu serius seperti yang dilakukan Azalea, mungkin tidak apa-apa.

Masalahnya tindakan Azalea diluar nalar. Berubah identitas, menipu semua orang di sekolah, bahkan tinggal di asrama putra mencerminkan hal buruk. Jika semua hal ini diketahui siswa lain dan bahkan sampai orang luar tahu, nama baik sekolah mereka akan tercemar. Bukan itu saja, hal ini juga akan berpotensi membuat siswa-siswi lainnya mencontohi ide Azalea.

"Bahkan jika Bapak dikeluarkan dari staf TU?" tanya Bu Istan membuat Azalea menatap Pak Wawan dengan mata memerah.

Pak Wawan tertawa pelan sambil mengibas tangannya, santai. "Tidak masalah. Anak muda zaman sekarang susah diatur, ya?"

Mata Azalea semakin memerah. Dia meremas pinggir celananya menahan air matanya jatuh. Dia benar-benar menyebabkan masalah bagi Pak Wawan...

Pak Wawan tiba-tiba menoleh ke arahnya. Melihat wajahnya menahan tangis, pria itu merasa kasihan dan menepuk kepalanya. Dia menarik kursi dan membiarkan Azalea duduk. "Tidak apa-apa."

"P-pak...." Suara Azalea sedikit bergetar. Dia duduk di kursi dengan patuh.

"Lain kali jangan seperti ini. Tidak baik anak perempuan berbohong dan masuk ke asrama laki-laki. Bagaimana jika terjadi apa-apa sama dirimu?" Pak Wawan menenangkan Azalea dengan suara diperlembut sebisanya.

"Maafin Azalea Pak," cicit gadis itu masih merasa bersalah.

"Sudah-sudah, jangan dipikirkan lagi."

Bu Istan yang memerhatikan dari depan akhirnya kembali berbicara, "Saya sudah menelpon orang tuamu, Azalea. Sebentar orang tuamu akan menghadap kepala sekolah."

"Baik, Bu."

"Lea." Salga yang memasuki ruang guru langsung menyebutkan namanya. Karena kedatangannya yang tiba-tiba, sisa guru di dalam ruangan itu menatapnya.

"Salga, sekarang jam pelajaran sedang berlangsung, untuk apa kamu di sini?" Bu Nara, wali kelas Salga, mengangkat suara.

"Urusin adek saya." Salga menoleh sekilas ke arah Bu Nara dan mendekati Azalea yang menatapnya linglung.

"Kak Alga?"

Mendengar suara bergetar adiknya, mata Salga menyipit. Dia melirik Pak Wawan, karena wajah pria itu ramah, tidak mungkin membentak Azalea. Jadi tatapan dinginnya terarah pada Bu Istan. "Meski adek saya salah, jangan dibentak, Bu."

Bu Istan menarik napas dan mengembuskannya pelan. Menghadapi murid seperti Salga memang memerlukan tenaga ekstra. "Azalea adalah adik kamu?"

Tatapan Salga secara tidak sengaja menyapu berkas-berkas di atas meja Bu Istan. "Ada fotokopian kartu keluarga di sana. Pasti Ibu udah liat nama saya juga ada di sana."

Bu Nara yang tak jauh dari sana berdecak samar. "Anak ini memang sulit diajak bicara," gumamnya yang mengamati lalu mengambil buku dan keluar dari ruang guru untuk mengajar.

Bu Istan menggeleng-geleng. Menunggu beberapa saat, kepala sekolah datang sendiri ke ruang guru untuk menjemput Azalea ke ruangannya. Karena kegelisahan gadis itu, Salga akhirnya ikut menemani.

Laki-laki berperawakan tinggi itu memasukkan tangannya ke saku celana dengan ekspresi malas terlukis di wajahnya. Matanya sedikit sayu akibat mengantuk.

"Udah dibilang jangan sok-sokan ikut Mama. Ngeyel sih jadi orang," sindir Salga membuat Azalea yang berjalan di sampingnya cemberut.

"Iya, Lea tau Lea salah." Gadis itu tidak ingin berdebat karena dia tahu dirinya benar-benar membuat masalah.

Jika kejadian ini tidak terjadi, mungkin Azalea tidak akan menyadari bahwa sejak awal, pola pikirnya sudah salah sejak memasuki sekolah ini.

Salga mengangkat tangannya, merangkul pundak Azalea lalu dengan tangannya itu dia menepuk pucuk kepalanya. "Lo jelek rambut pendek gini. Inget panjangin lagi."

"Hm...."

Memasuki ruang kepala sekolah, pria paruh baya itu meminta mereka duduk di sofa untuk menunggu, sementara kepala sekolah duduk di kursinya untuk mengerjakan pekerjaannya.

Jarang-jarang Azalea bisa masuk ruang kepala sekolah. Dia melirik sekitarnya yang terawat dengan baik lalu berdecak dalam hati. Seperti biasa, ruangan seorang pemimpin pasti akan sangat mewah.

"Kak, gue masih mau sekolah di sini..." ujar Azalea resah memikirkan dirinya akan di drop out.

"Ya ngomong ke Papa, lah." Salga membalas malas.

Azalea berdecih. Kakaknya tidak bisa diajak berbincang!

Setengah jam menunggu, pintu terketuk. Kepala sekolah bergegas bangun untuk membuka pintu dan mempersilakan sosok yang datang untuk masuk. Melihat siapa itu, Azalea tercengang.

"Papa?" Kenapa kepala sekolah sangat menghormati Papanya?

Sagara dengan setelan jas hitam duduk di hadapan kepala sekolah dan berbincang singkat. Pria itu lalu melirik Azalea lalu memanggilnya untuk datang.

"Bagaimana? Mau lanjut di sini atau-"

"Lanjut!" potong Azalea tanpa basa-basi.

"Baik, akan saya diskusikan sebaik mungkin pada rapat guru hari ini." Kepala sekolah berbicara. Setelah pertimbangan singkat, kepala sekolah memutuskan memberikan cuti tiga hari kepada gadis itu untuk meredakan berita mengenainya sementara waktu.

Sebelum pergi bersama Azalea, Sagara melirik Salga yang duduk anteng di sofa dengan gestur malas, mendekatinya dan menendang pelan kakinya. "Bangun, perbaiki dasi, sisipin kemeja dan pergi ke kelas atau minggu ini gak usah pulang."

Salga berdecak. Mengabaikan sang anak sulung, Sagara menarik Azalea pergi dari sana.

Nakusha kembali ke asrama ketika sore. Di sana dia bertemu dengan Caka dan Elazar yang diam, tidak bising seperti biasanya. Sembari mengambil pakaian dari lemari, Nakusha menatap mereka dan bertanya acuh tak acuh, "Ada apa?"

"Naku... Azel itu cewek?"

Pertanyaan itu membuat Nakusha tanpa sadar menutup pintu lemarinya kuat lalu berbalik dengan kening berkerut. "Informasi dari mana?"

Elazar memberikan ponselnya kepada Nakusha. Melirik forum sekolah sekilas, rahang Nakusha mengeras.

TBC

November 15, 2021.

6K.

Azalea & Alter Ego Boy ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang