Chapter 21

19.7K 1.6K 42
                                    

[Raya pov]

Dag dig dug dag dig dug

Ya seperti itulah detak jantung gue. Saat itu, gue berdiri di depan cermin sambil menyisir poni. Senyum-senyum kecil tak henti-hentinya mengembang di bibir gue. Hari ini adalah hari pengumuman hasil Ujian Nasional.

"Raya, nilai kimia lo pasti dapat 100 hahaha....." gue bicara sendiri pada diri gue yang terpantul di cermin.

Setelah menenteng tas, gue pun berangkat dengan mengendarai motor. Bokap udah ngizinin gue pakek motor setelah gue mohon-mohon seharian kemarin hahaha.

Pagi terasa sangat sejuk. Tak sabar rasanya untuk melihat hasil pengumuman nilai UN. Gue kendarai tuh motor bebek dengan hati-hati. Soalnya udah lama banget gue nggak mengendarainya semenjak nilai gue anjlok semester lalu.

Tit...tit....tit.....

Suara klarkson sebuah motor keren berwarna hijau terus menganggu gue dari belakang. Seorang cowok dengan helm putih gambar tengkorak bisa gue lihat melalui kaca spion. Mungkin kurang minggir kali yak?

Gue pun memepetkan laju motor gue agak menepi agar cowok itu bisa capcuz duluan dan nggak mengganggu gue dengan suara klarksonnya yang begitu annoying.

Cowok itu pun melaju untuk menyamai laju motor gue. "Hei pacarnya si bangsat!"

Gue tersentak lalu menoleh ke kanan ketika mendengar apa yang dikatakan si pengendara itu.

"Woi! Maksud lo apa?" Teriak gue marah.

Pengendara itu menggeleng pelan. "Nggak apa-apa!"

"Pergi sana!" Usir gue bertambah marah.

"Baiklah. Sampai jumpa di neraka!" Pengendara motor itu tiba-tiba menendangkan kaki kirinya ke motor gue.

Aaaarrrrggghh.....

Gue berteriak kencang ketika motor gue oleng dan keluar dari jalan aspal. Ban motor gue semakin oleng saat menggeser pasir di samping jalan. Motor gue pun tumbang ke kanan dengan cepat setelah susah payah gue menghentikannya agar motor gue berhenti sebelum masuk jurang.

Braaak braaak braaak....

Sekitar tiga kali rahang gue membentur ke aspal. Napas gue tersengal berat. Gue menoleh ke arah pengendara motor itu melaju. Di saat genting seperti ini, gue harus bertindak sigap. Gue pun langsung menghafal plat motor pengendara kurang ajar itu.

Napas gue makin terasa sesak. Gue bisa merasakan sesuatu yang keras berada di dalam mulut gue. Cuiih.... mata gue membulat ketika melihat sekeping gigi bercampur darah merah segar.

Mulut gue terus berdarah. Kaki gue terasa berat untuk digerakkan. Samar-samar gue bisa melihat beberapa bapak-bapak mengerumuni gue dengan wajah panik saat gue sudah terkapar di atas aspal.

"Cepat panggil ambulan!" Ujar salah seorang bapak-bapak.

Seorang bapak-bapak yang lain mengiyakan lalu memencet beberapa tombol pada ponselnya dan segera memanggil ambulan.

Tak lama kemudian, beberapa orang menggotong tubuh untuk masuk ke dalam ambulan. Napas gue masih tersengal berat. Sekujur tubuh gue gemetaran sulit untuk digerakkan.

"Dik? di mana ponsel adik? Biar bapak telepon orang tua adik," kata seorang bapak-bapak yang menolong gue.

Dia ikut masuk ke dalam ambulan dan duduk di samping gue. Gue melirik bapak-bapak itu sejenak dengan keadaan setengah sadar. Mulut gue sangat sulit untuk digerakkan. gigi, mulut, serta rahang gue menolak untuk bekerja.

"Tas!" Dengan susah payah gue mengatakan satu kata itu.

Bapak-bapak tadi langsung mengambil ponsel gue dari dalam tas dan menelpon papa.

"Halo?" Sapa bapak itu.

"Halo?" Kata papa di telepon. Bapak-bapak tadi men-load speaker HP gue.

"Pak, anak bapak kecelakaan. Sekarang kami mau menuju ke puskesmas terdekat."

"Halo? Halo? Halo?"

"Halo bapak?"

Sepertinya sinyal HP gue atau HP papa lagi eror. Aha! Gue lupa! Papa dan mama lagi di Kalimantan untuk menyelesaikan urusan kerja. Setengah dari ladang kelapa sawit milik papa kebakaran. Sinyal di sana memang tak begitu bagus. Mungkin itulah sebabnya papa nggak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan bapak-bapak yang nolingin gue.

Tit.....

Telepon pun berakhir. Bapak-bapak tadi terlihat semakin cemas. Gue bisa melihat itu dari ekspresinya.

"Gimana ini, dik? Papa adik mematikan teleponnya," papar bapak-bapak yang tak gue ketahui namanya itu.

"Kak Icha," kata gue menahan sakit.

Bapak-bapak tadi langsung mengusap layar HP gue lalu mencari kontak Kak Icha. Dan Alhamdulillah kak Icha mengangkat teleponnya. Dia pun segera berangkat menuju puskesmas.

***

"Raya? Raya? Lo bisa denger gue?" Tanya kak Icha panik.

Mata gue masih terasa lengket. Samar-samar gue bisa melihat Kak Icha berdiri di hadapan gue.

"Raya, coba lo gerakkan tangan kanan lo!" Perintah nyonya Icha panik.

Ya! Kak Icha adalah mahasiswa semester 6 kedokteran UI. Mungkin dia hanya ingin mengecek apakah gue mengalami gagar otak atau enggak. Biasanya, orang yang mengalami gagar otak sulit untuk diajak berkomunikasi.

Gue menurut mendengar perintah kak Icha lalu menggerakkan tangan kanan gue walaupun sakit.

"Sekarang, lo gerakin kaki kiri lo!" Perintah kak Icha lagi.

Gue lagi-lagi menurut dan menggerakkan kaki kiri gue pelan agar tidak sakit. Kak Icha tampak bernapas lega setelah semua instruksinya gue lakukan dengan baik.

"Ini berapa?" Kak Icha menunjukkan dua jarinya, tepat di depan mata gue.

"Dua," jawab gue lemas.

Lagi, Kak Icha bernapas lega. Ia pun menitikkan air matanya, sambil menatap gue iba.

Tak lama kemudian, dua orang perawat cantik menghampiri kami dengan membawa jarum dan benang serta beberapa peralatan medis yang lainnya.

Mata kak Icha mendelik kaget. "Mbak mau apa?" Tanyanya judes pada kedua perawat itu.

"Mau menjahit dagu adik embak," jawab salah seorang perawat cantik yang beralis tebal.

"Dengan benang itu?" nada Kak Icha semakin sinis.

Dua perawat itu hanya menatap satu sama lain. Tak tahu apa yang harus menjawab apa. Mereka terlihat masih amatir.

"Mbak tau itu benang apa? Itu bukan benang kecantikan! Bagaimana kalau muka adik saya mempunyai bekas jahitan?" Omel Kak Icha naik darah.

Dua perawat itu terlihat gugup lalu menelan ludah. Sepertinya mereka menyadari kalau Kak Icha bukan orang biasa. Kak Icha juga berasal dari kalangan orang yang mengerti kesehatan.

"Mana dokternya?" Tanya kak Icha berkacak pinggang.

"Maaf, mbak. Dokternya nggak ada. Ini kan hari sabtu," papar salah seorang perawat terlihat gugup.

"Ya sudah! Saya nggak mau adik saya di rawat di puskesmas ini. Tolong beri saya surat rujukan di rumah sakit besar. Sekarang!" Ucap kak Icha ketus.

Gue hanya menggeleng melihat perilaku kak Icha. Dia cepat tanggap dalam menghadapi masalah. Coba kalau dia lelet! Bushet! Tuh jarum ama benang bisa buat muka gue tambah cemong dah!

"Ray, sabar ya! Sebentar lagi kita akan ke rumah sakit. Lo tenang aja! Ada gue!" Kata kak Icha sambil memegang kedua tangan gue lembut.

"Iya, kak!" Jawab gue dengan sekuat tenaga.

***
Note   : siapa yang menabrak Raya?

Vote dan komen ya 😄😚

Jangan lupa ajak teman2 kalian buat baca novel ini ya,,, semakin banyak yang baca, semakin saya semangat nulis. Oke?

Ayo komen gengs! Biar author semangat nih!

FEMME FATALE 2 / Cewek Cetar Season 2 Where stories live. Discover now