Chapter 25

19.5K 1.5K 25
                                    

[Raya pov]

Jantung gue berdenyut begitu cepat. Beberapa kali gue menelan ludah menunggu bulatan kecil tanda loading yang masih berputar pada ipad gue. Mama dan Kak Icha juga tampak harap-harap cemas.

"Lama banget sih loadingnya!" Omel Kak Icha. "Pengen dibanting nih ipad!"

"Huuus!" Tegur mama.

Seorang perawat laki-laki tiba-tiba memasuki kamar sambil mendorong sebuah meja dorong berisi perlengkapan medis. Ada kasa, alkohol, suntikan, dan lain sebagainya. Gue nggak terlalu memperhatikan.

"Maaf, saya mau menyuntikkan obat ke pasien," papar perawat itu kemudian mengambil sebuah suntikan dan menancapkan suntikan tersebut pada sebuah botol kecil lalu menarik ujung gagang suntikan ke atas hingga cairan dalam botol kecil tersebut terserap pada tabung suntikan.

Ya elah tuh perawat nggak peka atau emang dodol apa yak? Gue, mama, sama Kak Icha lagi pengen lihat pengumuman hasil SNMPTN, nih perawat bego main suntik-suntik aja! Dasar annoying!

Perawat itu menyuntikkan cairan itu ke sebuah bagian dari selang infus yang gue nggak tau namanya apa, sedikit sakit sih! Tapi nggak sakit banget. Gue masih fokus melihat pengumuman SNMPTN undangan.

TIDAK LULUS

Sepenggal kata itu membuat gue bete bukan main. Apa ini nasib sial? Bukan hanya kecelakaan saja yang menimpa gue. Tapi kemalangan! Betapa tidak? Sudah muka bonyok kek begini, gigi depan ompong satu, ditambah lagi gue nggak lulus jalur SNMPTN lagi! Sial!

"Gimana ini bisa terjadi, Ma?" Gue mengacak rambut kesal, tak terima dengan hasil yang diumumkan dari pihak sekolah.

"Sudahlah, Sayang! Mungkin belom rejeki kamu." Mama mengelus rambut gue lembut.

Gue masih mendengus kesal, tak terima dengan hasil pengumuman SNMPTN. Kring...kring...kring.... tiba-tiba Lea menelpon gue.

"Halo, Raya?"

"Ada apa, Lea?" gue masih cemberut manyun.

"Gimana? Lo lulus kan?"

"Enggak. Gue nggak lulus," jawab gue malas.

"Sumpah? Kok bisa?" Suara Lea terdengar kaget. "Padahal Dodot lulus SNMPTN lho!"

"Sumpah?!" Kali ini gue yang kaget.

Gue terhenti sambil mengakhiri panggilan dari Lea. Lemas. Gue bahkan melamun sejenak tanpa kata. Kenapa bisa begini? Bagaimana mungkin Dodot bisa lulus SNMPTN sedangkan gue enggak? Apa ini yang disebut faktor X?

"Kenapa Dodot bisa lulus SNMPTN?" Tanya gue frustasi. "Dia itu super goblok, ranking Raya bahkan jauh lebih baik daripada dia."

"Ha? Dodot temen lo yang jomblo sejak lahir itu?" Kak Icha melotot kaget.

"Iya!" Jawab gue kesal.

"Berarti bener kata pepatah dong! Orang pintar kalah sama orang bejo!" Celetuk Kak Icha meringis tak berdosa.

"Tapi Dodot itu goblok bin stress! Otaknya sama kek Arsyaf. Mereka itu amuba kuadrat!"

"Ya mungkin alatnya rusak kali!" Terka Kak Icha asal

"Kenapa? Kenapa bisa gini? Padahal Dodot itu otaknya nggak lebih pintar dari seekor bakteri. Tapi kenapa....."

Gue tercekat ketika Kak Icha menyikut lengan gue. "Sssst! Diam lo!" Kak Icha menunjuk name tag dari perawat lelaki yang tengah membereskan peralatan medis di atas meja dorongnya.

"Apaan sih?!" Dahi gue mengerut lalu memperhatikan name tag perawat itu. Di sana tertulis 'Dodot Priyanto'

What! Gue langsung terpental kaget ketika perawat itu melirik gue sinis. Sumpah! Gue nggak sengaja nyeplos.

"Maaf pak perawat! Saya nggak bermaksud menghina bapak," papar gue sambil tersenyum kecut. "Nama temen saya sama kek nama bapak. Tapi... saya yakin kok! Bapak tidak seperti temen saya."

Perawat itu keluar dengan meja dorongnya. Dia tampak sangat tersinggung ketika gue menghina temen gue yang bernama Dodot dan menyebutnya seperti amuba dan tidak lebih pintar dari seekor bakteri.

"Makanya! Kalau ngomong di rem!" Tegur mama

"Ya...maap!" Bibir gue mengerucut.

***

Hari ini gue sendirian di kamar rumah sakit ini. Karena bukan kamar VVIP, gue jadi merasa bosan karena nggak ada tipi. Kak Icha lagi kuliah, Papa terpaksa harus balik ke Kalimantan untuk mengurusi urusan kebakaran perkebunan kelapa sawit yang menjadi problem dengan kolega-kolega perusahaan. Sedangkan mama sedang keluar mencari makan.

Gue sendirian di kamar rumah sakit ini bersama seorang nenek tua, yang gue perkirakan umurnya lebih tua 20 tahun dari bokap gue. Nenek itu juga nggak ada yang nungguin. Anak-anaknya hanya nunggu sampai sore doang. Padahal nenek itu menderita katarak sehingga pengelihatannya tidak berfungsi dengan benar.

Nenek itu tiba-tiba turun dari ranjangnya, berjalan pelan menuju tembok, lalu meraba-raba tembok tersebut. Gue mengernyit keheranan.

"Nenek mau ke mana?" Tanya gue pada nenek itu yang merupakan roommate gue.

"Nenek mau ke toilet," jawab nenek itu, suaranya sudah goyah karena terlalu tua.

Sial! Kaki gue sakit banget. Di balik kain kasa yang melekat, sebenarnya ada bau daging bekas goresan aspal. Tapi mau bagaimana pun juga, nenek itu harus gue tuntun menuju toilet.

Gue pun menurunkan kaki dari ranjang sambil menggigit bagian bawah bibir karena kaki gue terasa sangat sakit. Lalu gue pun mulai melangkah, sambil mendorong gantungan infus, gue menuju ke arah nenek itu secara perlahan.

"Ke arah sini, Nek!" Gue memegangi lengan nenek itu menuju toilet.

"Terima kasih, Cu," sahut nenek tua itu.

"Nggak masalah, Nek."

Saat nenek itu masih berada di dalam toilet, mama tiba-tiba datang dan memasuki kamar.

"Raya sayang, kenapa kamu berdiri?" Mata mama tampak membulat kaget ketika mendapati gue tengah berdiri menunggui nenek tua, roommate gue. "Kaki kamu kan lagi sakit!"

"Aku hanya mau nganter Nenek ke toilet, Ma," papar gue.

Mama menghela napas lalu menuntun gue kembali ke atas ranjang. Saat nenek keluar dari toilet, mama yang menggantikan gue memapahnya.

"Terima kasih, Cu," ujar Nenek itu lagi.

"Iya, Nek," sahut Mama.

Kring....Kring.... suara HP mama berbunyi tanpa henti. Mama segera mengambil HP nya dari dalam tas dan mengangkat telepon.

"Halo?" Kata mama.

Gue nggak tau apa yang dikatakan si penelepon. Yang jelas, telepon itu terlihat sangat penting hingga membuat wajah mama berubah cemas.

"Iya, baiklah, pak. Saya akan segera ke sana." Setidaknya itulah kalimat terakhir yang diucapkan mama sebelum benar-benar menutup telepon.

"Siapa, Ma?" Tanya gue penasaran.

"Pak Agus. Katanya ada beberapa dokumen yang ia perlukan," jawab mama.

"Ooohh..."

"Kamu mama tinggal bentar nggak apa-apa kan, sayang?"

"Nggak apa-apa kok, Ma!"

"Mama janji akan segera kembali." Mama membelai pipi gue lembut.

"Iya. Mama nggak usah khawatir!"

Mama tersenyum singkat lalu bergegas pergi. Gue pun akhirnya sendirian bersama nenek di dalam kamar. Tak lama setelah itu, seorang cowok tampan yang gue cinta tiba-tiba membuka pintu kamar lalu tersenyum.

"Boleh masuk?" Tanyanya.

***

Note : hayoo siapa yang menjenguk Raya? Arsyaf atau El?

FEMME FATALE 2 / Cewek Cetar Season 2 Where stories live. Discover now