Chapter 50

18.6K 1.3K 88
                                    

[Raya pov]

Air mata masih tak berhenti mengalir walau seberapa banyak gue mengusapnya. Gue berjalan pincang menyusuri jalanan sepi. Saat ini gue benar-benar merasa terpuruk. Pertama El ninggalin gue. Sekarang Arsyaf. Hati gue benar-benar hancur. Perih. Orang yang gue cinta satu per satu hilang dengan ssndirinya.

"Raya?" Renan berdiri di ujung jalan dengan mata terbelalak, kaget melihat keadaan gue yang tampak begitu kacau.

Dengan pandangan kosong, gue berjalan melaluinya, tak menghiraukan keberadaannya.

"Raya, lo kenapa?" Renan menghentikan langkah gue. Dia mengoyak kedua bahu gue, mencoba menyadarkan gue dari pikiran yang kosong.

"Renan?" Tangan gue merambat ke baju Renan lalu mencengkramnya kuat. "Lo nggak bakal pergi ninggalin gue sendirian kan?" ucap gue mengiba.

"Raya, lo kenapa Raya?" tanyanya panik.

"Jawab gue, Ren! Lo nggak bakal ninggalin gue kan?" Kali ini gue yang mengoyak lengan kekarnya sambil menangis seperti orang bodoh.

"Enggak." Renan menggeleng pelan. "Gue nggak akan ninggalin elo, Ray."

Tangan Renan merambat ke punggung gue lalu membawa tubuh gue ke pelukannya. Di sana gue menangis. Air mata gue bahkan membasahi baju yang ia kenakan.

Setelah puas menangis, Renan menatap mata gue lekat. Ia mengusap sisa-sisa air mata yang membuat pipi gue basah. Dia menghela napas ketika melihat kaki gue lecet karena lupa memakai alas kaki.

"Dasar ceroboh!" Renan mengelus rambut gue. "Lihat noh kaki elo! Lecet-lecet."

Gue tertegun sebentar. "Ren, elo janji nggak bakal ninggalin gue kan?" tanya gue lagi, takut orang yang gue sayang hilang untuk yang kesekian kalinya.

Renan duduk berjongkok di depan kaki gue, ia mengamati luka-luka kecil di sekitar telapak kaki gue. "Enggak. Gue nggak bakal ninggalin elo," ulangnya sambil memegang pergelangan kaki gue.

"Aaww." Gue mengerang kesakitan.

Renan membalikkan badannya lalu menyiapkan punggungnya buat gue. "Cepetan naik! Entar gue antar sampek rumah." Dia rupanya tahu kalau kaki gue keseleo hingga sulit digunakan untuk berjalan.

Gue masih sesenggukan seusai menangis. Perlahan gue naik ke punggung Renan. Punggungnya terasa hangat. Gue jadi teringat masa kecil gue bersamanya.

"Ray?" sapanya.

"Hm?" sahut gue.

"Lo inget nggak? Dulu waktu kita masih kecil, lo sering banget terjatoh terus nangis."

"Oh ya?" Gue berpura-pura lupa.

"Terus, akhirnya gue selalu gendong lo pulang," lanjut Renan.

"Ren?"

"Hm?"

"Apa gue berat?" tanya gue malu-malu.

Renan menggeleng. "Enggak. Lo sama sekali nggak berat."

Mendengar jawaban itu, gue mengeratkan tangan gue ke leher Renan. Samar-samar gue bisa mencium aroma sampo dari rambut gondrongnya.

"Sejak lo kuliah di Surabaya... Lo terlihat semakin kurus, Ray," sambungnya prihatin.

"Oh ya?" tanya gue berpura-pura tenang.

Bagaimana mungkin gue tidak kurus? Aktivitas gue di Surabaya terlalu padat. Bahkan gue sering lupa makan dan lupa tidur. Selain untuk memenuhi biaya hidup, gue juga harus bekerja untuk membayar uang kuliah. Belum lagi ada tugas! Ngeprint, jilid, fotokopi, semua memakai uang.

FEMME FATALE 2 / Cewek Cetar Season 2 Where stories live. Discover now