Chapter 48

16.9K 1.1K 105
                                    

[Author pov]

Teo mengeluarkan sebungkus obat dari dalam saku celananya. Mata Zen mendelik kaget ketika mendapati Teo mengeluarkan obat semacam itu seolah sudah siap siaga setiap saat.

"Gila lo, Yo! Lo bawa obat kayak begono terus apa?" Zen menunjuk sebungkus obat yang dipegang Teo dengan dagunya.

"Iya dong. Secara cewek jaman sekarang pada gampangan semua. Di gombalin dikit aja udah mau," ujar Teo sembari membuka botol susu lalu menuangkannya ke dalam gelas.

"Sini, biar gue yang masukin obatnya!" Zen merebut obat itu dari tangan Teo lalu menuangkannya ke dalam gelas.

Mata Teo melotot. "Zen! Apa nggak kebanyakan?" tegurnya kaget ketika melihat Zen memasukkan setengah bungkus ke dalam gelas.

"Nggak apa-apa. Soalnya Raya itu masih lugu. Dia nggak tau yang kayak begituan."

Teo meringis senang. Ia kemudian mengambil segelas lagi dari rak lalu menuangkan soda ke dalam gelas tersebut, merebut obat yang diambil Zen, lalu membubuhkan sisanya ke dalam gelas.

"Buat apa, Yo?" tanya Zen keheranan.

"Buat Arsyaf. Dia kan juga belom berpengalaman. Jadi harus dikasih asupan gizi," jawab Teo santai.

"Gila lo! Entar kalau mereka nggak sekedar berciuman tapi malah berzina gimana?"

"Enggak. Enggak mungkin. Mereka berdua sama-sama lugu. Pasti mereka bakal betah nahan nafsu."

Zen hanya menggeleng melihat kelakuan Teo. "Eh, BTW kalau semisal El dan bukan Arsyaf, apa lo berani bantuin dia dengan cara seperti ini?" tanyanya tiba-tiba.

Teo terhenti, menoleh ke arah Zen lalu tersenyum malu. "Ya... Nggak berani lah! Emang lo berani apa?"

Zen cekikikan nggak jelas. "Sama. Gue juga nggak berani. Bisa-bisa bonyok muka kita."

"Iya. Secara El itu ketua geng dari enam sekolah. Dia mempunyai sabuk hitam dan sempat beberapa kali menjuarai lomba karate. Setor nyawa kalau kita berani berurusan sama dia."

Arsyaf masih setia menunggu di ruang tengah. Ia masih belum menjamah sedikit pun makanan yang ada di hadapannya. Tak lama kemudian, Zen dan Teo datang dengan membawa segelas susu coklat dan segelas soda dingin, lalu menaruhnya tepat di hadapan Arsyaf.

Dahi Arsyaf berkernyit. "Apa ini?" tanya Arsyaf heran.

"Buat Raya sama buat lo," jawab Zen.

"Thanks ya guys," kata Arsyaf sambil tersenyum.

"No problem," balas Zen.

"Eh Zen! Gimana kalau kita susul Renan ke warung Mbok Pit? Gue tiba-tiba pengen makan gorengan nih," ujar Teo sembari mengelus-elus perutnya yang keroncongan.

"Oke." Zen menaik turunkan alisnya sambil tersenyum nakal pertanda kalau ia siap melancarkan rencana konyolnya.

"Syaf, kita pergi dulu ya, entar kalau ada Raya, telpon kami," kata Teo sambil memegang pundak Arsyaf.

Arsyaf hanya mengangguk. Setelah itu, dia berada di dalam kontrakan seorang diri menunggui Raya.

***

Di tengah perjalanan menuju kontrakan Arsyaf, tiba-tiba suara ringtone lagu geboy mujair memecah keheningan malam. Bukan. Itu bukan suara HP Raya. Tapi suara HP Pak sopir.

"Halo?" sapa sopir setelah mengangkat telepon.

Dahi Raya berkernyit. Ia melihat Pak sopir melalui kaca spion.

"Apa? Istri saya sekarang ada di rumah sakit?" tanya Pak sopir kaget. "Iya iya. Saya akan segera ke sana."

Si sopir taksi itu pun segera menghentikan laju mobilnya. Kemudian ia menoleh ke belakang, melihat Raya.

"Ada apa, Pak?" tanya Raya.

"Maaf, Mbak. Kira-kira kontrakan yang Mbak tuju masih jauh tidak? Soalnya istri saya sekarang ada di rumah sakit mau melahirkan," jelas si sopir taksi.

Mata Raya terbelalak lebar. "Saya turun di sini aja, Pak. Mendingan Bapak sekarang buruan ke rumah sakit." Raya membuka pintu taksi lalu mengeluarkan piguranya.

"Tapi Mbak..."

"Nggak usah tapi-tapian, Pak," potong Raya sembari mengeluarkan uang seratus ribu dari dalam tasnya. "Ini."

Si sopir taksi itu tampak enggan menerima uang dari Raya. Tapi Raya malah memberikan uang itu secara paksa.

"Mbak, tapi saya nggak punya kembalian," kata sopir itu.

"Aduuuh," ujar Raya geram. "Ambil saja kembaliannya. Sekarang, mendingan Bapak cepetan ke rumah sakit."

"Baik, Mbak. Makasih ya Mbak."

"Iya iya. Cepetan, Pak!" suruh Raya panik, takut si sopir tidak bisa menemani istrinya di rumah sakit saat melahirkan.

Si sopir itu mengangguk cepat lalu menutup kaca mobilnya dan bergegas pergi menuju rumah sakit. Kini tinggal Raya sendirian di jalanan kota Surabaya. Kontrakan Arsyaf masih lumayan jauh, sekitar 1 Km dari tepat Raya berdiri saat ini. Sempat beberapa kali Raya mencoba menghubungi ojek online tapi sia-sia saja, kuotanya habis, demikian pula dengan pulsanya. Ia tidak bisa menelpon Arsyaf atau Renan untuk menjemputnya. Terpaksa, dia harus jalan kaki menuju kontrakan Arsyaf.

"Gila apa ya tuh sopir taksi? Bininya mau ngeluarin bayi unyu, dia masih mikirin uang kembalian." Raya mengomel sendiri sedari tadi sambil mempercepat langkah menuju kontrakan Arsyaf.

Sementara itu di tempat lain, Lea duduk nyaman di dalam taksi yang melaju ke kontrakan Arsyaf. Sedangkan Linsie sudah menstater motornya, bergegas kembali ke kontrakan Arsyaf sambil membawa beberapa barang belanjaan dari mini market.

***

Arsyaf menghela napas jengah, ia menatap segelas soda dingin yang diberikan Zen dan Teo barusan. Tenggorokannya terasa kering setelah lama menunggu Raya yang belum juga datang. Tak lama setelah itu, dia mendengus kesal lalu meneguk segelas soda dingin itu sampai habis.

Aneh, mata Arsyaf tiba-tiba berkunang-kunang, kepalanya agak pusing. Sedangkan suhu udara di sekitarnya entah mengapa terasa panas. Apa soda yang diminumnya sudah kadaluarsa? Apa gue akan mati gara-gara keracunan? Sempat beberapa pertanyaan bodoh terselip di pikirannya yang mulai tidak waras.

Gerah. Arsyaf membuka sweaternya. Dan anehnya, ia masih merasa gerah. Tangannya perlahan merambat ke remote AC yang ada di sampingnya, lalu menyalakan AC tersebut.

Aneh, meskipun tubuh Arsyaf sudah merasa dingin, tapi dia masih merasa ada sesuatu yang salah dalam dirinya dan lucunya, dia tidak tahu apa.

"Raya..." panggilnya setengah sadar.

Saat itu tiba-tiba ia menginginkan Raya berada di sampingnya. Pikirannya mulai terpenuhi oleh hal-hal kotor. Ia mulai membayangkan hal-hal yang tidak wajar bersama Raya. Ia ingin memeluk Raya, menciuminya, dan bahkan melakukan hal yang lebih dari itu. Arsyaf sudah kehilangan akal sehatnya.

"Raya..." panggilnya lagi.

Sebenarnya, tanpa sepengetahuan Teo, diam-diam Zen mencampur minuman Arsyaf dengan sedikit alkohol. Ia tahu benar kalau Arsyaf tidak bisa minum alkohol. Dengan seteguk alkohol saja, Arsyaf bisa mabuk.

Sudah Arsyaf putuskan. Jika Raya datang nanti, dia akan langsung mencium wanita yang ia cinta itu tanpa ampun. Entah Raya mau atau tidak, dia tetap akan melakukan hal itu tak peduli apa pun. Yang jelas, saat ini dia hanya menginginkan bibir Raya. Tidak! Dia menginginkan hal yang bahkan lebih dari itu.

*****🐤🐤🐤*****
Vote dan komen

Hehehe author selalu berusaha menyampaikan pesan di setiap karya yang author buat. Nah di sini author pengen readers berhati-hati dalam memilih teman 😉

Siapa yang akan datang ke kontrakan Arsyaf terlebih dahulu?
1. Raya yang jalan kaki
2. Lea yang naik taksi
3. Linsie yang naik motor

FEMME FATALE 2 / Cewek Cetar Season 2 Where stories live. Discover now