Chapter 52

17.5K 1.4K 136
                                    

[Raya pov]

Liburan semester. Arsyaf tidak lagi lalu lalang di depan mantan rumah kos gue. Tapi sekarang dia lebih sering berkeliaran di depan rumah gue. Dia tahu kalau gue sudah balik ke Jakarta karena liburan semester selama sebulan lebih.

Gue menghela napas, dari balik kelambu, gue melihat Arsyaf masih setia nunggu di depan rumah gue. Sudah seminggu penuh dia di sana. Dia hanya akan pergi ketika mencari makan, shalat, hujan, atau hari sudah terlampau gelap. Biasanya dia pergi ketika jam 11 malam lebih. Mungkin kalian pikir kehidupan gue seperti sinetron murahan yang kerap mama gue tonton. Tapi percayalah! Arsyaf dan gue seolah menjadi tokoh di dalamnya sekarang.

Apa dia tidak kepanasan? Apa dia tidak kedinginan? Apa dia tidak kecapek'an? Gue selalu bertanya-tanya. Aneh, gue benci dia. Tapi nggak bisa dipungkiri kalau gue sangat mencemaskannya saat ini. Apa gue masih mencintainya? Setelah hal kotor yang ia lakukan bersama Lea?

"RAYA!" teriak Arsyaf ketika ia menyadari kalau gue sedang memperhatikannya dari balik jendela.

Gue gelagapan menutup rapat kelambu, dengan napas ngos-ngosan, gue bisa mendengar suaranya yang terus merangkai kalimat.

"Raya! Aku tau kalau kamu masih peduli sama aku. Aku tau kamu berhak marah. Tapi please! Jangan jauhin aku kayak gini, Raya. Aku benar-benar tersiksa, Raya," ocehnya.

Hati gue kembali teriris. Perih terasa saat mendengarnya mengiba seperti itu. Tapi apa boleh buat? Gue ingin menemuinya, memeluknya, lalu memaafkannya. Tapi setiap kali gue melihatnya, gue teringat kejadian malam itu, malam di mana hati gue hancur tak tersisa, pahit, perih, lara. Hanya itu yang gue rasakan ketika mengingat hal yang seharusnya gue lupakan.

"Aku nggak akan berhenti mencintaimu, Raya. Tolong jangan hindari aku kayak gini, Raya," Arsyaf masih mengiba.

Lagi, hati gue semakin perih mendengar kalimat mengiba yang telantun dari mulutnya. Gue benci dia! Tapi kenapa...

"Di sini, Arsyaf juga korban, Raya. Asal lo tau itu," ucap seseorang dari belakang sambil memegang sebelah pundak gue.

Gue menoleh, mata gue sedikit melebar ketika melihat Kak Icha memandangi muka sembab gue dengan iba.

"Dia di bawah pengaruh obat perangsang, Raya. Renan sudah jelasin semua itu ke elo kan?" lanjut Kak Icha sembari mengajak gue untuk duduk bersamanya di atas kasur.

"Terus, Kakak mau Raya maafin Arsyaf. Gitu?" tanya gue, mencoba menafsirkan kalimat yang keluar dari mulut Kak Icha.

"Semua itu terserah elo, Ray. Gue tau kalau lo sakit hati banget sama Arsyaf dan Lea. Tapi bukankah mereka berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua?"

"Enggak," tukas gue menggeleng. "Mereka nggak berhak mendapatkan kesempatan kedua dari Raya, Kak."

"Kenapa?"

"Itu hanya obat, Kak. Efeknya tidaklah sebesar itu sampai membuat penggunanya tidak mengenali orang di depannya. Bukan begitu?"

Kak Icha masih tampak berpikir, lalu ia mengangguk pelan. "Iya sih. Tapi..."

"Cukup, Kak. Aku nggak perlu nasihat dari Kakak." Gue berdiri, melangkah keluar mencoba pergi dari Kak Icha.

***
[Author pov]

Sore itu, Nyonya Elly dan Tuan Bram mengendarai mobil menuju kantor pusat B&R corp untuk bernegosiasi tentang investasi besar. Dengan riang kedua manusia paruh baya itu tersenyum sepanjang perjalanan. Senyuman mereka terhenti ketika sebuah panggilan datang. Tuan Bram pun mengangkat teleponnya.

"Halo, iya. Dengan saya sendiri," kata Tuan Bram setelah menempelkan ponselnya beberapa saat ke telinganya.

"Siapa, Pa?" tanya Nyonya Elly setengah berbisik.

FEMME FATALE 2 / Cewek Cetar Season 2 Where stories live. Discover now