Chapter 24

19.5K 1.7K 21
                                    

[Raya pov]

Mama masih mencemaskan keadaan gue. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada otak gue, hingga gue pingsan seperti tadi.

"Dokter, tolong anak saya, Dok!" Kata Mama panik.

Samar-samar, gue bisa melihat seorang dokter muda memeriksa gue. Menempelkan stetoskop ke dada gue beberapa kali.

"Bagaimana, Dok? Bagaimana keadaan anak saya?" Tambah papa.

Raut wajah dokter itu terlihat tidak paham apa yang harus ia katakan. Sepertinya dia dokter muda, belum ada pengalaman. Walaupun tampan, dia terlihat tolol. Dokter tua yang menangani gue tadi tampak sibuk menangani pasien yang lain. Sepertinya ada kecelakaan hebat. So, gue harus ditangani dokter muda ini.

"Iya, Buk. Nanti anak ibu akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi," jawab dokter berkacamata itu.

Kak Icha tampak geram. Rasanya ia ingin mengomeli dokter dengan jas putih berlengan pendek itu.

"Adek saya belom makan, Dok dari tadi pagi. Apakah adek saya sekarang boleh makan? Mungkin saja dia pingsan gara-gara belom makan," kata kak Icha seolah ingin mengetes kemampuan dokter itu.

"I...iya boleh."

"Tapi makan apa, Dok? Rahang adek saya kelihatannya bermasalah. Untuk membuka lebar saja susahnya minta ampun!" Kak Icha pura-pura pilon.

"Bubur boleh."

Tak lama kemudian, Arsyaf dan El datang dan membawa sebuah amplop besar berwarna coklat hasil rontgen dan CT scan. Kak Icha langsung menyambar amplop itu.

"Oh iya, Dok. Ini hasil rontgen dan CT scan adek saya baru keluar. Tolong di cek apakah ada yang salah dengan rahang adek saya?" Kak Icha memberikan amplop itu pada sang dokter.

Dokter itu pun membuka isi amplop kemudian menerawang gambar-gambar tulang pada mika hitam di atas udara beberapa saat.

"Iya. Adik anda sepertinya baik-baik saja. Tidak ada keretakan," papar dokter muda itu masih tampak ragu.

Kak Icha menghela napas berat. Sepertinya ia ingin menunjukkan kemampuannya sebagai dokter di hadapan semua orang. Tapi sebelum dia angkat bicara, papa menghentikannya.

"Oh iya, Dok! Terima kasih banyak," ucap papa pada pak dokter tampan.

"Sama-sama," sahut dokter itu kemudian keluar dari dalam kamar UGD.

"Papa gimana sih?! Seharusnya papa biarin Icha ngomelin dokter bego itu!" Omel kak Icha.

"Biar bego-bego gitu kan tetep aja dokter, Cha!! Kita harus hormati," jawab papa bijak.

"Ya elah papa! Sudah jelas-jelas kalau dokter itu nggak tau kalau ada keretakan di rahang Raya. Papa masih juga belain?"

"Sudahlah, Cha."

"Coba aja kalau Icha nggak ada di sini. Pasti si Raya udah dipulangkan sama tuh dokter!"

***

Perusahaan papa sedang berada dalam krisis. Seperti yang gue bilang tadi, setengah lahan kelapa sawit papa kebakaran. Alhasil, gue harus tinggal di kamar rumah sakit kelas dua dan tidak bisa di kamar VVIP seperti dulu pas gue sakit demam berdarah.

"Sayang, apa benar kamu nggak papa tinggal di sini?" Tanya papa sedih karena tidak bisa menyediakan kamar yang nyaman buat gue.

"Nggak apa-apa, Pa. Papa pikir Raya anak manja yang nggak ngerti kondisi keuangan orang tua?" Hibur gue.

Papa dan mama menunduk sedih seolah-olah merasa bersalah. Selain harus membayar biaya rumah sakit, papa juga harus membayar biaya kuliah Kak Icha di kedokteran UI. Jadi, tak apa-apa bagi gue jika harus sekamar sama orang lain yang nggak gue kenal. Jangankan sekamar untuk dua orang! Sekamar 10 orang pun gue mau asalkan papa tidak pusing mikirin biaya rumah sakit.

Gue melirik Arsyaf dan El yang masih setia nungguin gue. "Kalian cepet pulang gih!" Suruh gue lemas. Intonasi gue merendah tidak bisa ceria seperti biasa karena memang rahang gue terasa sakit kalau terlalu lebar membuka mulut.

"Gue akan nungguin lo di sini. Titik!" Tukas Arsyaf.

"Lo sama El itu belum mandi tauk! Lama-lama bau ketek kayak Renan baru tau rasa!"

"Iya. Raya bener! Sebaiknya kalian pulang. Lagipula udah sore. Besok, kalian boleh jenguk Raya lagi," nasihat mama.

Arsyaf dan El pun akhirnya mau pulang juga. Gue pun bernapas lega. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kak Icha dan Arsyaf masih belum tau hubungan gue sama El. Syukurlah.

***

Sial! Gue kecelakaan di hari sabtu dan di saat-saat menjelang SBMPTN? Sakit banget rasanya jika merasa diri kita mampu memasuki Universitas mana pun tapi takdir berkata lain. Tiba-tiba seorang pemuda tak dikenal mencelakai gue. Sial! Sungguh sial!

Karena gue kecelakaan di hari sabtu, gue tidak bisa langsung operasi walaupun sudah jelas ada keretakan di rahang gue. Dokter spesialisnya mungkin cuma kerja di hari senin sampai jumat. Haaaassshh..... gue bosan berada di tempat ini. Pengap! Nggak ada AC! Hanya ada kipas angin loyo yang berdebu. Maklum, ini kamar kelas 2 dan bukan VVIP cuy!

"RAYA!" Teriak Renan saat memasuki kamar gue. Dia melotot. Astaga!

"Renan?" Gue bergidik takut.

Cowok berkulit sawo matang itu melipat tangan. "Jadi begithere kelakuan lo selama ini?"

"Be...begithere?" Gue keheranan mendengar kosakata baru Renan. "Maksud lo begitu? Sumpah! Jangan merusak bahasa Indonesia tercinta dong!"

"GAK PENTING!!"

Gue terdiam kicep mendengar omelannya. Dia pasti sangat marah karena gue belum memberitahunya tentang kondisi gue. Hehehe padahal gue sudah mengenalnya sejak TK tapi gue malah memberitahu Arsyaf dan El duluan.

"Oooh... jadi sekarang lo lebih sayang ke Arsyaf dan El? Lo bahkan nggak ngasih tau gue kalau lo kecelakaan!" Omel Renan marah.

"Maap, Black!" Ucap gue manja dengan tampang sok imut seolah meminta pengampunan.

"Apa lo bilang? Black? Kenapa lo panggil gue Black?"

"Ya karena lo tambah item tauk!"

"Dasar!" Renan mendengus kesal. "Karena sekarang lo lagi sakit, gue maafin. Tapi jangan panggil gue Black lagi!"

Gue mengerucutkan bibir. "Ya.... padahal gue mau kasih lo nama lengkap Black cat dead!"

"Dasar!" Lagi-lagi Renan mendengus kesal. "Lo itu udah sakit tapi masih aja bisa ngelawak!"

"Ren?" Sapa gue manja.

"Apa?!" Sahutnya ketus.

"Boleh ya.... gue panggil lo Blacky?"

"Kurang ajar lo! Emangnya lo pikir gue anjing apa?"

"Ya elah pelit amat!"

"Situ juga item keles! Ngaca dong!"

"Gue tau kalau gue item. Tapi kan lo dua kali lebih parah!"

"Oke!" Renan melirik gue sambil meringis. "Lo boleh panggil gue Blacky one dan gue panggil lo Blacky two. Gimana?" Dia menaik turunkan alisnya.

"Ogah! Itu sama artinya derajat kita sama dong? Padahal gue ini item aja dan lo item mutlak na'uzubillah!" Tawa gue seketika pecah tapi gue menahannya saat rahang gue terasa sakit. "Ouch! Ouch!"

Renan berlari ke arah gue lalu duduk di tepi ranjang gue. "Lo nggak apa-apa kan, Ray?" Tanyanya cemas.

Gue menggeleng. "Nggak apa-apa kok!" Jawab gue bohong sambil tersenyum palsu.

***

Note : saya nggak akan jenuh mengingatkan kalian agar vote dan comment. Okay? 😄😄😄😄

FEMME FATALE 2 / Cewek Cetar Season 2 Where stories live. Discover now