Chapter 77

16.8K 1.7K 212
                                    

[Author pov]

HP Raya bergetar. Raya pun segera menyambar benda kotak itu lalu menyentuh layarnya. Matanya melebar senang, tampak senyum manis mengembang dari kedua sudut bibirnya ketika ia membaca sebuah nama yang sangat ia rindukan padahal baru saja ia berpisah beberapa menit yang lalu.

"Halo? Ada apa, El?" tanya Raya sambil senyum-senyum sendiri.

"Bisa kamu ke taman sekarang?" tanya El datar, dia memang selalu terdengar tenang. "Sebentar lagi aku ke sana."

"Ke taman?" Alis Raya terangkat. "Sekarang? Untuk apa?"

Tuuut...

El sengaja mengakhiri panggilan, jantungnya berdegup begitu kencang sehingga ia tidak bisa bersikap seperti biasanya, datar, tegas, dan sedikit dingin. Setelah itu, ia pun bergegas menuju taman yang berada tidak jauh di sekitar apartemen Raya.

Raya segera bergegas keluar apartemen dan berlari menuju taman. Di sana, ia tak menjumpai siapa pun. Sepi. Hanya ada beberapa pasangan muda-mudi yang terlihat asyik mengobrol. Raya menghela napas kecewa. El masih belum datang juga. Ia memutuskan untuk menunggu pangerannya di kursi putih panjang, di bawah sinar lampu yang temaram.

"El? Kenapa kamu minta aku keluar malam-malam gini?" tanya Raya berbicara pada dirinya sendiri. "Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan?"

Sementara itu, dalam perjalanan menuju taman, El mengendarai motornya begitu kencang seperti angin. Ia sudah tidak sabar lagi menemui Raya dan mengatakan will you marry me? Saking senangnya, pikirannya melayang saat berkendara. Ia tidak sadar kalau ada truk besar yang melaju kencang ke arahnya.

Tuuuut  tuuuut tuuuuut

Suara klarkson sebuah truk tronton membuyarkan lamunan El. Matanya melebar. Motor yang dikendarainya tiba-tiba lepas kendali untuk menghindari tubrukan. El berhasil menghindari truk itu. Tapi ia tidak berhasil menghindari goresan aspal saat ia terjatuh. Ia meringis kesakitan saat laju tubuhnya yang terpental sudah terhenti di tepi jalan. Sementara truk yang tadi melaju ke arahnya tiba-tiba terguling lalu membuat suara ledakan gaduh yang mengagetkan warga sekitar.

Mata El mengerjap kaget saat terjadi ledakan itu. Ia melihat api yang menjulur di seluruh tubuh truk yang tadi hampir menabraknya. Napasnya terengah berat. Ia melihat orang-orang mulai berkerumum ke sekelilingnya sambil menatapnya iba.

"Cepat panggil ambulan!" teriak salah seorang pria di antara kerumunan warga. Suaranya terdengar panik.

"Baik," sahut salah seorang yang lain lalu menyentuh beberapa gambar di ponselnya untuk menghubungi ambulan.

"Kasihan sekali dia."

"Ganteng-ganteng tapi kecelakaan."

"Kalau lihat kecelakaan gini, aku jadi ngeri deh."

"Ya ampun, kapan ambulannya datang sih?"

"Ambulannya kok lama banget ya?"

Opini warga yang berkerumun masih dapat El dengar walaupun samar-samar. Napasnya semakin sesak, sementara tubuhnya semakin lemas, pandangan matanya pun mulai memudar.

Di taman sendirian, Raya masih menunggu kedatangan El sambil mengerucutkan bibirnya kesal. Menunggu adalah salah satu hal yang sangat tidak disukainya. Apalagi menunggu lama. Ia pun memutuskan untuk menghubungi El.

"Halo, El? Kamu di mana?" tanya Raya setengah ketus.

"Mbak? Mbak kenal pemuda ini?" tanya seseorang.

Alis Raya terangkat ketika mendapati bahwa yang mengangkat panggilan bukan El tapi orang lain. "Iya. Saya pacarnya. Maaf, anda siapa ya?"

"Pacar anda mengalami kecelakaan. Dia sekarang dilarikan ke rumah sakit Amanahmedika."

"Apa? Pacar saya mengalami kecelakaan?" Mata Raya membulat, tangannya melemas, seketika itu HP yang dipegangnya terjatuh ke atas rerumputan taman.

"Halo? Halo?"

Raya mengabaikan ponselnya yang masih menyala. Jantungnya seakan terhenti. Matanya berkaca-kaca lalu beberapa bulir air mata menetes lancang tanpa seizinnya.

Setelah linglung beberapa saat karena kabar mengerikan itu, Raya mengabaikan ponselnya lalu berlari menuju apartemennya, mengambil kunci mobil, lalu berlari lagi menuju tempat parkir. Ia pun mengendarai mobilnya dengan kecepatan ekstra, berharap cepat sampai ke rumah sakit untuk melihat keadaan El.

Sesampainya di rumah sakit, ia bergegas menuju meja resepsionis. Seperti orang linglung, ia butuh waktu berpikir untuk melontarkan pertanyaan.

"Mbak? Di mana kamar pasien bernama Elbara? Pasien kecelakaan yang baru saja datang," ungkap Raya dengan tangan gemetar, takut menghadapi kenyataan bahwa Tuhan mungkin akan mengambil orang yang disayanginya lagi.

"Tuan Elbara ada di kamar VVIP Cendana 009," kata si resepsionis.

Setelah tahu keberadaan El, Raya kembali berlari linglung. Mondar-mandir mencari kamar VVIP Cendana nomor 009. Dan akhirnya, ia menemukan kamar itu. Tapi aroma kamar itu membuatnya tercekat, enggan untuk masuk.

Raya menelan ludah, air matanya mulai mengalir deras, sementara tangannya enggan untuk membuka pintu. Hatinya pilu nan perih. Tapi ia harus tahu bagaimana keadaan El sebenarnya. Dan perlahan, pintu kamar 009 itu pun terbuka.

Mata Raya membulat sempurna. Ia menutupi mulutnya yang terbuka kaget dengan kedua tangannya. Sungguh ia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat itu.

Perlahan Raya mendekat dengan mata basah. Ia mendapati jasad yang terbujur kaku di bawah selimut rumah sakit. Hati Raya tercabik sakit. Perlahan, tangan Raya ingin menyingkap selimut rumah sakit yang menutupi wajah jasad itu. Tapi sebelum ia sempat, ia langsung menjerit histeris ketika tiba-tiba tangan jasad itu menjulur keluar selimut. Betapa tidak? Tangan tersebut penuh luka bakar, kulitnya sebagian besar bahkan terkelupas, membuat Raya mengurungkan niatnya untuk melihat wajah jasad tersebut.

Kaki Raya seolah goyah, melemas. Ia pun terjerembab ke atas lantai sambil terisak dalam tangis sembari memegangi dadanya yang terasa sangat sesak dan perih.

"Kenapa? Kenapa kamu harus pergi secepat ini?" ucap Raya sambil memukul-mukul dadanya yang terasa sangat sesak. "Kamu bilang akan membelikanku cincin berlian yang paling mahal. Dan akan segera menikahiku. Tapi kenapa kamu pergi tanpa seizinku, El?"

Raya benar-benar terpukul saat itu. Tangisnya tak bisa terhenti. Ia sungguh terlarut dalam kesedihan yang teramat sangat. Setelah delapan tahun tak melihat El, apakah ia tidak akan melihat El untuk selamanya? Bukankah ini sungguh tidak adil? Kenapa satu per satu orang yang disayanginya menghilang?

"Dasar pria jahat!" bentak Raya frustrasi, menghujat jasad yang terkapar kaku di atas ranjang. "Sekarang aku harus bagaimana? Aku tidak bisa menikah dengan siapa pun. Dan aku tidak mau menikah dengan siapa pun kecuali denganmu, El."

Jasad itu tak menyahut. Memang napasnya telah terhenti sejak berada di ambulan tadi. Tapi Raya tak henti-hentinya mengoceh frustrasi, seolah-olah ia hampir gila.

"Apa aku harus menikah dengan batu nisanmu? Huh?" racau Raya lagi. "Tega sekali kamu ninggalin aku kayak gini. Tega!"

Air mata Raya masih tak bisa terhenti. Ia masih menyesali takdir hidupnya. Sekarang, El sudah tiada. Hanya tinggal jasad tak berdaya yang terbujur kaku di bawah selimut putih.

*****🍅🍅🍅*****
TOMAT 🍅🍅🍅🍅🍅 tomat ya, bukan tamat lho 😉 masih ada lanjutannya

vote dan komen. Vote 500++ dan 100++ comments langsung lanjut 😉

FEMME FATALE 2 / Cewek Cetar Season 2 Where stories live. Discover now