Chapter 54

17.8K 1.4K 70
                                    

[Raya pov]

Di sepanjang jalan ini, gue menikmati kelopak bunga sakura yang berjatuhan di awal April, musim semi. Sungguh indah terasa. Entah mengapa tiba-tiba gue ingin membagi pemandangan indah yang gue lihat saat ini. Tidak mungkin gue minta vidio call-an dengan Kak Icha. Dia sibuk bekerja mencari uang untuk menafkahi gue. Yups! Meski gue tinggal di sini dengan beasiswa, tetap saja Kak Icha mengirim uang saku buat gue. Sudah terkenal kalau Tokyo adalah salah satu kota termahal di dunia. Di sini semuanya serba mahal. Uang beasiswa saja tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan gue sehari-hari. So, cukup penjelasannya. Sekarang, gue mau menghubungi Renan, sahabat gue yang sudah gue anggap seperti saudara kandung gue sendiri.

"Halo, Ren!" Gue melambaikan tangan pada seorang cowok yang di sudut bibirnya ada bekas air liurnya.

"Ngapain sih lo! Siang bolong begini ngajakin vidio call-an," omel cowok itu lalu menguap lebar tanpa menutup mulutnya.

"Ta da!" Gue mengalihkan sebentar ponsel gue ke arah rentetan pohon sakura yang mematung di sepanjang jalan. "Gimana? Indah kan?" tanya gue penuh semangat.

"Ya ya ya," jawabnya malas.

Gue berdecak kesal. "Renan! Ngapain lo loyo kayak gitu?" Gue mengerucutkan bibir marah.

"Ya loyo lah. Secara gue baru saja bangun tidur tauk."

"Ha?" Mulut gue spontan langsung menganga lebar. "Baru bangun tidur? Ini kan hari jum'at! Tadi lo nggak shalat jum'at apa?"

"Ah gue lagi males."

"Bushet nih anak." Gue melotot tajam.

"Habisnya, gue udah trauma ikut shalat jum'at."

"Trauma?" Dahi gue mengerut. "Trauma kenapa?"

"Minggu lalu gue coba ikut shalat jum'at tuh. Eh, pas mau pulang sendal gue ilang dicolong maling," jelas Renan dengan mulut manyun.

"Eh bushet! Lo trauma ikutan shalat jum'at hanya gara-gara sendal lo ilang dicolong maling?" Alis gue terangkat kaget.

"Asal lo tau ya, Ray. Tuh sendal bukan sendal biasa."

"Kenapa emangnya tuh sendal?" tanya gue sambil berlari kecil menuju kursi panjang yang tak jauh dari tempat gue berdiri. Kemudian gue duduk.

"Tuh sendal.... Sendal baru. MAHAL! MAHAL!" Renan sengaja menekan kata mahal agar gue mengerti betapa kecewanya dia saat kehilangan sendal barunya pas shalat jum'at.

Gue terkekeh geli melihat ekspresinya.

"Ngapain lo ketawa? Lo seneng lihat gue menderita?" tebaknya emosi.

"Eh kutu buluk! Hanya karena sendal aja, lo nggak shalat jum'at. Jadi kutu bakar di neraka baru nyesel lo entar!"

"Eh jomblo expired! Ya... Jangan salahin gue. Salahin orang yang nyolong sendal gue. Gara-gara tuh maling, gue jadi trauma ikutan shalat jum'at."

Gue tertawa lepas mendengar ucapannya. "Ya itu salah lo, Upil garing!"

"Kok salah gue?" Dahi Renan mengernyit heran.

"Lain kali, kalau ikutan shalat jum'at, pakai aja sendal jepit yang biasa elo pungut dari banjir kiriman." Tawa gue kembali terdengar renyah setelah puas meledek Renan.

"Oooh gitu ya? Jadi gue harus pakai sendal jepit nih?" tanya Renan meminta pendapat.

"Tapi ingat!" Telunjuk gue terangkat di udara. "Jangan pakai sendal jepit baru. Soalnya kadang-kadang suka ilang juga."

"Terus gue harus pakai apa dong?"

"Pakai aja sendal jepit yang tak berdaya, sendal jepit lusuh yang beda warna. Yang kanan biru dan yang kiri ijo." Dan lagi, tawa gue kembali pecah untuk yang kesekian kalinya.

FEMME FATALE 2 / Cewek Cetar Season 2 Where stories live. Discover now