Chapter 64

17.4K 1.5K 393
                                    

[Raya pov]

Tak terasa sudah beberapa tahun berlalu sejak gue mengalami titik terendah dalam hidup gue. Kehilangan dua pacar dan kehilangan dua orang tua membuat gue mengalami depresi hingga gue pernah menjadi pasien di salah satu rumah sakit jiwa. Sekarang usia gue 26 tahun, menjabat sebagai kepala arsitek di salah satu perusahaan konstruksi ternama di Jakarta. Gue tinggal di salah satu apartemen elite bersama teman sekantor gue, Anila. Dia bawahan gue, divisi desain interior.

Gue tersenyum di depan cermin, memandangi wajah gue yang semakin hari semakin cantik menurut gue. Facial tak pernah absen gue lakukan setiap dua minggu sekali. Dulu mah boro-boro facial. Bayar sewa home stay tepat waktu aja udah Alhamdulillah.

Hari ini adalah hari minggu. Kerjaan gue di hari minggu selain belanja adalah menjemput keponakan dari tempat les piano.  Ya, Kak Icha mengambil kuliah S2 di kedokteran. Secara otomatis anaknya jadi terbengkalai nggak keuurus karena dia sibuk mengerjakan tugas ini dan itu.

Setelah selesai dandan, gue bergegas menuju tempat parkir dan membuka pintu mobil. Tapi gue terhenti ketika melihat mobil Renan datang. Mobil sport yang dikendarainya terhenti tepat di depan mobil gue, lalu dia menurunkan kaca mobilnya.

"Mau ke mana lo, Ray?" tanya Renan sambil melepas kacamata hitam yang ia pakai.

"Bushet lo! Pakek kacamata hitam segala. Entar dikira buta baru tau rasa!" sahut gue heran dengan penampilannya yang selalu sok keren itu.

"Ya elah. Ditanya mau ke mana malah mengkritik penampilan."

"Gue mau jemput Brian ke tempat les."

"Ya udah, gue anter."

"Boleh. Ayo!"

***

"Hai Brian!" Renan melambaikan tangan pada seorang anak kecil bertubuh tambun yang sedang asyik menjilat sebuah permen lolipop.

Brian, anak dengan pipi bakpau itu terhenti dengan mata melebar senang. "Om Renan?" Senyumnya mengembang lalu ia berlari menuju ke arah Renan dengan gembira.

Renan duduk berjongkok untuk menyamai tinggi bocah berusia 3 tahun itu. "Hei jagoan! Gimana lesnya? Bisa?" tanya Renan sambil mengelus kepala Brian.

Brian menggeleng dengan bibir manyun.

"Ya udah nggak apa-apa. Besok-besok juga bisa sendiri nanti," hibur Renan sambil mencubit gemas pipi Brian.

"Om, ayo jalan-jalan dong, Om," ajak Brian manja sambil menggerak-gerakkan bahunya. "Brian nggak suka di rumah. Sepi. Paling-paling cuma ada Mbok Sum."

Renan dan gue terkekeh spontan. "Iya deh. Ayo!"

***

Di tempat duduknya, Renan hanya bisa melongo melihat Brian yang sudah menghabiskan beberapa potong pizza. Lahap sekali bocah itu makan hingga saos pizza membuat pipinya kotor.

"Ampun dah nih anak!" kata gue sambil mengusapi pipi Brian dengan tisu. "Brian, kalau makan pelan-pelan. Entar keselek!"

Brian berhenti memasukkan pizza ke dalam mulutnya lalu mencoba mengunyah pizza yang ada di dalam mulutnya dengan benar.

"Baik, Ma," sahut Brian yang berhasil membuat mata gue terbelalak.

"Apa kamu bilang barusan? Ma?" tanya gue kaget sementara Renan hanya terkikik.

Brian mengangguk. "Iya, mulai sekarang, Brian setiap hari minggu akan panggil tante Raya dengan sebutan Mama."

"Ha?" Gue langsung terperanjat. "Nggak boleh, Brian. Tante Raya ini masih muda. Nggak pantes punya anak segede kamu."

FEMME FATALE 2 / Cewek Cetar Season 2 Where stories live. Discover now