Chapter 22

21K 1.8K 342
                                    

[Arsyaf pov]

Gue celingukan mencari Raya. Tapi dia tidak ada di mana pun. Bahkan Renan dan El nggak tau keberadaan Raya. Apa dia masih tidur di rumah? Nemplok molor bin ngiler?

Gue menerobos kerumunan siswa-siswa yang berjubel di depan papan mading. Mata gue pun menyisir nama Soraya Aldric dan Arsyaf Sinaga di papan pengumuman. Betapa terkejutnya gue ketika melihat nama Raya berada di urutan paling atas. Hampir semua nilainya sempurna kecuali Bahasa Indonesia. Gue kembali terkejut ketika mendapati nama gue berada di urutan 8. Rasanya tak sia-sia gue belajar sangat keras demi kuliah bersama Raya di ITS kelak. Gue pun tersenyum lega.

Gue usap layar HP gue untuk menelpon Raya dan memberitahunya tentang kabar baik ini. Dengan kemampuan gue saat ini, gue yakin banget bisa masuk ITS bersama Raya.

Tit......tit.....tit.....

Berulang kali gue mencoba menghubunginya tapi dia tidak mengangkat teleponnya. Ada apa dengan nih anak? Ah, perasaan gue jadi nggak enak.

***

[Raya pov]

Setelah mendapat perawatan dari dokter yang profesional di UGD, gue memejamkan mata sejenak dengan napas tersengal. Rasanya penat banget hari ini. Kaki gue lecet-lecet, beberapa bagian ada kulit yang terkelupas dalam sampai kelihatan dagingnya. Perih banget! Apa ini karma dari Tuhan karena gue mempermainkan cinta tulus Arsyaf? Gue bertanya-tanya, menyalahkan diri gue sendiri.

"Ray, mama papa katanya akan tiba ke sini sekitar 3 jam lagi. Lo mau gue panggilin Arsyaf?" Tanya Kak Icha.

Gue menggeleng pelan. "Nggak usah, Kak! Raya takut Arsyaf khawatir."

"Lo ini gimana sih? Arsyaf itu pacar lo! Jadi, dia berhak tau kalau lo itu kecelakaan!"

"Nggak usah!" Bentak gue. "Oucch!" Rahang gue terasa begitu sakit saat gue membuka mulut agak lebar untuk membentak kak Icha tadi.

"Pokoknya gue mau telpon Arsyaf. Titik!" Kak Icha langsung mengambil HP gue dari dalam tas.

Matanya agak mendelik ketika melihat ada panggilan dari penelpon yang gue beri nama "My Love"

"Lha ini Arsyaf telepon," pikir Kak Icha dengan lugunya.

Plis jangan diangkat! Itu bukan Arsyaf, tapi El. Ya! Semenjak gue pacaran sama El, gue mengubah nama kontaknya dari Elbara menjadi My Love. Kalau Arsyaf sih gue beri nama My honey bunny. Sial! Kenapa El harus telepon sekarang sih?

Tut. Kak Icha memencet gambar telepon hijau untuk menerima panggilan. "Halo, Syaf! Pasti lo khawatir kan sama pacar jelek lo yang namanya Raya. Iya kan?" Cerocos kak Icha tanpa malu. Dia kayak ngomong sama babunya aja.

Jantung gue rasanya mau copot cuy. Duar duar duar. Seolah-olah ada ledakan bertubi-tubi menerpa jantung gue. Keringat dingin mulai membasahi jidat gue. Gue benar-benar takut kak Icha tau kalau gue selingkuh di belakang Arsyaf. Gue nggak bisa menghentikan mulut kak Icha yang terus menyambung kalimat.

"Raya tadi pagi kecelakaan, Syaf. Dia sekarang ada di rumah sakit deket sekolah lo. Cepet ke sini gih! Dia pasti butuh perhatian elo! Udah ya.... bye!" Kak Icha menambah bacotnya tanpa henti tanpa memberi space si penelepon untuk bicara. Kemudian dia mematikan teleponnya.

Gue bernapas lega saat El tak bicara dalam telepon. Bisa-bisa gue ketahuan kalau dia sampai angkat bicara.

Tak lama kemudian, El datang dengan wajah panik. Dia terhenti di salah satu ranjang UGD tempat gue terbaring lemas. Ia tercekat sejenak, mematung dengan mata membulat ketika melihat banyak bercak darah di seragam putih abu-abu yang gue kenakan.

FEMME FATALE 2 / Cewek Cetar Season 2 Where stories live. Discover now