Chapter 36

17.3K 1.4K 14
                                    

[Lea pov]

"Ya udah, biar gue yang anterin Lea pulang," ujar Renan.

Gue terlonjak. Cowok yang sangat jarang sekali ngomong sama gue tiba-tiba menawarkan diri untuk mengantar gue pulang. Apa gue nggak salah dengar?

"Bagus, Black! Itu baru namanya cowok sejati. Iya nggak?" Raya menaik turunkan alisnya sambil menatap Renan usil.

Renan terkekeh sambil menjambak pelan poni Raya. Tak lama kemudian, HP Renan bergetar. Ia pun mengambil HP nya lalu menerima panggilan.

"Apa, Ma? Mama mau aku jemput Mama di bandara sekarang?" Kata Renan dengan suara yang terdengar agak kaget. Ia melirik gue sebentar. "Tapi Renan udah janji mau nganter temen Renan pulang, Ma," sambungnya.

"Ada apa, Ren?" Tanya Raya setengah berbisik.

"Ya udah deh, Ma. Ya udah. Renan akan jemput Mama sekarang," imbuh Renan pada seseorang yang meneleponnya. Lalu ia pun mengakhiri panggilan.

"Ada apa, Ren?" Ulang Raya.

Renan menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal. "Gini, Ray. Sepertinya, gue nggak bisa anterin Lea pulang. Soalnya nyokap gue minta jemput di bandara," paparnya.

"Ya udah, nggak apa-apa. Lo jemput nyokap lo aja, Ren."

"Beneran nggak apa-apa nih?"

"Iya, bener!" Sahut Raya.

"Lea, maaf ya!" Kata Renan sambil memasukkan HP dan dompetnya ke dalam tas.

"Nyantai aja kali, Ren!" Sahut gue sambil tersenyum tipis.

"Gengs! Gue duluan ya!" Pamit Renan sambil mengedarkan pandangan ke arah kami berempat secara bergantian. Lalu melambaikan tangan sekilas.

"Iye. Hati-hati di jalan ye," sahut Raya sambil membalas lambaian tangan Renan.

"Ya udah, El! Berarti elo yang harus mengantar Lea pulang." Arsyaf menepuk pundak El dua kali.

Dahi El mengerut. Ia menatap Arsyaf heran. "Kenapa harus gue?"

"Ya karena gue akan anterin Raya pulang."

"Tapi rumah lo kan nggak searah sama rumahnya Raya. Rumah lo itu searah sama rumahnya Lea."

"Oh iya ding!" Arsyaf menggeprak jidatnya sendiri.

"Gini aja, lo anterin Lea pulang. Dan gue anterin Raya pulang," usul El.

"Enak aja! Gue masih pengen berbencong-bencong sama Raya di jalan tauk!"

"BERBINCANG-BINCANG!!" Tegur Raya sambil mengulum tawa.

"Sudah nggak apa-apa. Gue naik taksi aja," tolak gue miris.

Semuanya ingin mengantar Raya pulang. Tidak ada seorang pun yang mau mengantarkan gue pulang. Jujur, gue terkadang merasa iri dengan kehidupan Raya. Dia di kelilingi oleh tiga cowok tampan idola sekolah yang sangat memperhatikannya. Kehidupannya tampak sangat berwarna. Dia memiliki segalanya. Mulai dari keluarga yang harmonis, pacar yang setia, dan sahabat-sahabat yang menyayanginya. Sementara gue? Keluarga gue nggak lengkap. Ayah gue meninggal sejak gue berumur 8 tahun. Mama sempat menikah lagi dengan seorang pengusaha kaya. Tapi sekitar 2 tahun berumah tangga, mama bercerai. Sejak saat itu, gue hidup berdua bersama mama.

Sebagai seorang single parent, mama bekerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhan kami berdua. Dia bekerja sebagai manager marketing di salah satu perusahaan ternama. Hampir setiap hari mama berangkat pagi dan pulang sore. Setelah itu, ia juga masih berkutat di depan laptop dan setumpuk berkas-berkas. Tidak ada waktu buat gue untuk curhat seperti layaknya anak dan ibu pada umumnya.

Selain tak mempunyai seorang ayah, gue juga tak mempunyai sahabat. Semuanya hanya sekedar teman. Tak ada yang benar-benar dekat dengan gue karena gue memang tipe anak yang sulit bergaul terutama sama anak cowok. Itulah sebabnya gue mendaftar sebagai anggota OSIS. Semua itu gue lakukan agar mengasah kemampuan gue dalam berinteraksi dengan yang lain.

Berbeda dengan gue, Raya juga jarang memiliki teman. Setahu gue, saat kelas X, dia hanya berteman dengan Murti dan Tantri. Dia bahkan tak mempunyai teman sama sekali ketika Tantri menghianatinya saat kelas XI. Tapi anehnya, dia tampak biasa-biasa saja. Dan sejak saat itu pula, dia bersahabat dengan Arsyaf dan Renan.

"El bener, Syaf. Rumah lo sama rumah Lea searah. Sedangkan rumah gue searah sama rumah El." Raya membenarkan usulan El.

Di tempat parkir, Raya sudah duduk di jok belakang motornya El. Mereka sepertinya sudah siap pergi. Sementara gue masih bingung memakai helm. Slotnya tak berfungsi. Arsyaf yang tadinya sudah bersiap menstater motornya jadi terhenti. Ia turun dari motornya lalu membantu gue memakai helm.

"Patkay, kita duluan ya," kata Raya.

"Iya, Syaf, gue sama Raya duluan ya," tambah El lalu menstater motornya dan berlalu pergi.

"INGAT! JANGAN NGEBUT DAN JANGAN NGEREM MENDADAK!" Teriak Arsyaf geram.

El tidak menyahuti ucapannya. Cowok pendiam itu hanya mengacungkan jempol kirinya sekilas, bertanda kalau ia mengiyakan larangan Arsyaf.

Di tengah keramaian kota Jakarta, jantung gue meronta. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya gue dibonceng sama orang yang gue cintai selama 6 tahun. Punggungnya begitu lebar. Ah, rasanya ingin sekali wajah gue menempel di punggung itu. Tapi nggak boleh! Nggak boleh! Sadar, Lea! Dia itu pacar sahabat lo sendiri.

Hari ini gue merasa seperti menang undian berhadiah. Tidak apa-apa jika seperti ini. Asalkan bisa melihatnya, asalkan bisa berada di dekatnya, itu sudah lebih dari sekedar cukup. Meskipun tak dapat dipungkiri kalau gue masih menginginkan menjadi lebih dari sekedar teman.

*****🐤🐤🐤*****
Jangan lupa baca juga novel author judulnya Lantunan Lafadz Kerinduan
Vote dan komen
Vote dan komen
Vote dan komen

Oke, thor, trakthor! Wolez wae

Iyo iyo 😆

FEMME FATALE 2 / Cewek Cetar Season 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang