Chapter 63

16.9K 1.3K 172
                                    

[Elbara pov]

Gue berjalan memasuki aula pesta, di aula tersebut, gue bisa mengenal kolega-kolega Papa dari berbagai negara. Gue menarik napas kemudian menghembuskannya, mencoba menenangkan diri. Bagaimana tidak? Ini adalah pengalaman pertama gue berinteraksi dengan orang-orang dari kalangan atas. Oleh karena itu, gue harus percaya diri sehingga mereka percaya bahwa gue bisa menjadi penerus yang baik.

Tak terasa sudah 1 jam gue berada di aula ini sambil berbincang-bincang dengan para direktur dari berbagai perusahaan mancanegara yang mempunyai hubungan kerja sama dengan perusahaan Papa. Tersenyum palsu, gue sudah mulai terbiasa. Akan tetapi senyuman gue mereda ketika gue melihat seorang gadis bergaun hitam sedang berbincang-bincang dengan beberapa orang di meja sebelah utara.

Mata gue melebar sesaat lalu mengerjap. Apa gue nggak salah lihat? Dia Raya kan? Dia Soraya Aldric bukan? Kenapa dia bisa ada di sini? Bukankah yang bisa hadir di pesta ini hanya kalangan atas saja? Bukankah perusahaan keluarganya Raya sudah bangkrut?

"Davina," panggil gue.

"Ya?" seorang wanita yang berdiri di samping tempat duduk gue menyahut tegas.

"Tolong cari tau siapa wanita itu!" perintah gue sambil menunjuk sosok Raya yang tengah asyik berbincang-bincang dengan beberapa orang dan tak menyadari keberadaan gue di tengah hiruk pikuk pesta malam ini.

"Baik, Pak," sahut Davina lalu menyentuh layar ipad-nya dan segera mencari informasi tentang daftar tamu di pesta ini.

"Namanya Soraya Aldric, Mahasiswi Univesitas Tokyo. Dia datang bersama profesor Yamada Keichiro," papar Davina setelah membuat gue menunggu beberapa saat.

Oh Tuhan, betapa cantiknya dia malam ini! Sungguh! Raya tampak begitu cantik dengan balutan gaun hitam pekat, riasan minimalis, dan rambut yang digerai, di taruh ke depan salah satu pundak membuat dia terlihat semakin mempesona. Jantung gue terasa sesak. Rasanya ingin sekali gue menghampirinya, memeluknya, lalu membawanya pergi. Tapi...

"Kenapa dia bisa berada di sini, Davina?" tanya gue lagi. Pandangan mata gue masih tak lepas memandang Raya dari kejauhan.

"Dia adalah salah satu arsitek yang akan membangun proyek resort bintang lima bersama profesor Yamada," jawab Davina.

Shit! Jantung gue semakin berdebar kencang jika semakin lama gue memperhatikan Raya. Rasanya gue ingin bersamanya, berbincang-bincang dengannya, memeluknya, dan selalu ingin bersamanya. Tapi nggak bisa! Gue nggak bisa melakukan itu. Kalau gue bertemu dengan Raya saat ini, bisa-bisa Papa menghancurkan karirnya yang sudah merangkak di puncak sebagai seorang arsitek. Gue nggak bisa membiarkan Papa mengusiknya. Lebih baik, gue yang pergi.

"Davina, sepertinya saya kurang enak badan. Saya akan kembali ke kamar hotel," kata gue bohong.

"Baik, Pak," sahut Davina.

***

[Sam pov]

Gue tersenyum sepanjang jalan di koridor apartemen sambil membawa seikat bunga tulip merah, Akaichurippu. Di Jepang, bunga tulip merah melambangkan popularitas. Gue berniat memberikannya pada Raya karena dia berhasil mengikuti persaingan tender mancanegara, namanya akan dikenal sebagai arsitek berbakat.

Ya, mungkin bunga tulip merah ini melambangkan popularitas jika di Jepang. Akan tetapi, di Barat, bunga tulip merah ini melambangkan cinta abadi. Gue adalah orang yang sulit untuk mencintai. Raya dengan segala kelebihannya perlahan sudah membuat gue jatuh cinta meskipun sosok gadis manis berkulit agak gelap itu belum bisa menggantikan Olivia sepenuhnya di hati gue.

Tapi... Nggak masalah. Gue akan memberikan mawar merah,  Akaibara pada Raya ketika gue benar-benar mencintainya seratus persen. Kalian tau apa arti bunga mawar merah? Semua orang juga pasti tahu apa arti bunga mawar merah. Baik di Jepang maupun di Barat, bunga mawar merah sama-sama melambangkan romantisme.

"Sam?" panggil seorang wanita dari belakang.

Langkah gue terhenti, lalu gue memutar badan untuk menengok. Mata gue melebar kaget ketika melihat siapakah wanita yang berdiri di ujung koridor apartemen. Tangan gue tiba-tiba menjadi goyah sehingga seikat bunga tulip merah yang gue pegang terjatuh ke lantai.

"Sam?" Wanita itu mendekat dengan mata yang berkaca-kaca.

Gue masih terdiam, mematung kaku dengan mulut terkunci. Hampir tujuh tahun lamanya gue tak pernah melihatnya. Tapi gue masih bisa mengenalinya dengan baik.

"Sam, aku merindukanmu!" Wanita itu langsung memeluk gue tanpa izin.

Jantung gue berdebar hebat. Samar-samar gue bisa mencium bau sampo yang ia gunakan. Wangi, harumnya masih sama dengan seseorang yang pernah singgah tujuh tahun yang lalu.

"Maafkan aku pernah meninggalkanmu, Sam. Aku minta maaf. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu lagi," papar wanita yang mengenakan baju berwarna abu-abu itu. Air matanya dapat gue rasakan membasahi baju gue.

"Olivia?" Tangan gue mulai merambat ke punggungnya lalu membalas pelukannya.

Setelah menghentikan tangisannya, gue menyuruh Olivia untuk masuk ke dalam apartemen gue. Gue menyuguhkan secangkir teh hangat padanya kemudian gue duduk di sampingnya.

"Ngomong-ngomong, selama ini kamu berada di mana?" tanya gue.

"Aku..." kata Olivia tampak masih enggan angkat bicara. "Aku nggak berada di Kanada, Sam. Sebenarnya aku berada di Vietnam."

"Vietnam?"

Olivia mengangguk pelan. "Tujuh tahun lalu, aku akui kalau aku masih labil. Setelah kamu memberikan hadiah itu, terus terang aku ketakutan dan langsung menceritakannya pada Mama dan Papa," paparnya sambil menunduk melihati lantai.

"Lalu?"

"Akhirnya Mama dan Papa melarangku untuk menemuimu lagi. Mereka mengirimku ke Vietnam walau aku nggak mau, Sam."

"Lalu, bagaimana kamu tahu aku sekarang berada di Jepang?"

"Kamu selalu bercerita kalau kakekmu orang Jepang dan beliau ingin kamu kuliah di Universitas Tokyo. Itulah sebabnya aku tau kamu pasti tinggal di apartemen yang tak jauh dari Universitas Tokyo."

"Apakah orang tuamu tahu bahwa kamu ada di sini?"

Olvia menggeleng lesu, dengan mata berkaca-kaca, dia menatap gue penuh cinta. "Mereka nggak tau kalau aku di sini," tangannya merambat lalu menggenggam erat tangan gue. "Sulit banget hidup tanpamu, Sam."

Mata gue melebar saat mendengar pernyataan darinya. Ternyata dia masih mencitai gue selama ini meskipun dia tahu kalau gue adalah seorang psikopat. Tangan gue spontan langsung menarik pinggangnya dan membawanya ke pelukan gue.

"Olivia, jangan pernah meninggalkanku lagi ya?" kata gue.

Olivia mengangguk sambil membalas pelukan gue. Sejak hari ini, gue tinggal bersama Olivia di apartemen gue. Gue nggak akan membiarkan orang tua Olivia memisahkan kami lagi.

"Ngomong-ngomong, bunga tulip merah yang kamu bawa tadi untuk siapa?" tanya Olivia saat ia melepaskan pelukannya.

Mata gue melebar. Gue nggak mungkin menjawab kalau bunga itu untuk seseorang yang mulai mengisi hati gue dan untuk sementara menggantikannya.

"Bunga itu untuk temanku dari Indonesia yang kebetulan juga kuliah di Universitas Tokyo," jelas gue.

"Cewek?" tanya Olivia penuh selidik.

Gue mengangguk. "Iya. Dia cewek. Jurusan arsitektur. Baru-baru ini dia ikut proyek pembangunan resort bintang lima. Aku hanya ingin memberinya ucapan selamat," papar gue.

Olivia hanya mengangguk dengan mulut membentuk huruf O. Dia tampak sangat manis dan lucu, membuat tangan gue denga gemas mengacak rambut wanginya.

*****🐣🐣🐣*****
Vote dan komen

Eh, BTW, cerita di cewek cetar season 2 ini mirip sinetron nggak sih?

Soalnya ada yang ngomong kayak gitu.😳

FEMME FATALE 2 / Cewek Cetar Season 2 Where stories live. Discover now