Chapter 78

18.7K 1.5K 100
                                    

[Raya pov]

Gue sangat terpuruk malam itu. Menangis adalah satu-satunya hal yang bisa gue lakukan untuk mengenang kepergian El. Gue bersumpah tidak akan menikah jika tidak dengan El. Gue sangat mencintainya lebih dari gue mencintai diri gue sendiri. Apa gue harus menyusulnya ke surga? Ya! Lagipula Mama sama Papa juga ada di sana bersama Tuhan. Dan mungkin gue bisa menemui mereka bertiga.

"Maaf, anda siapa?" tanya seorang wanita bertubuh tambun yang berdiri di ambang pintu. Matanya juga basah, sama seperti gue. "Apa anda mengenal Mas Doni?"

"Mas ... Do ... ni?" tanya gue dengan suara terbata-bata karena bercampur isakan.

"Apa anda mengenal suami saya?" imbuh wanita bertubuh tambun itu.

"Siapa anda?" Gue malah balik bertanya.

"Saya istrinya Doni Aliansyah, korban kecelakaan truk."

"Doni Aliansyah? Siapa dia? Sa ... ya ... nggak mengenalnya."

"Kalau anda tidak mengenalnya, kenapa anda berada di sini?"

"Maaf, di sini kamar 009, kamar almarhum Tuan Elbara. Seharusnya saya yang bertanya pada anda, kenapa anda bisa berada di kamar ini?" Gue mulai berdiri dari lantai dengan emosi.

"Maaf, Mbak. Sepertinya Mbak salah kamar. Kamar ini bukan kamar nomor 009 tapi nomor 006."

Alis gue terangkat kaget. Gue langsung berlari menuju papan pintu lalu melihat nomor yang ada di depannya. Wanita itu benar! Gue yang salah. Mungkin karena gue terlalu linglung, jadi gue salah membaca angka enam menjadi angka sembilan. Senyum gue mengembang. Tanpa berbasa-basi, gue langsung berlari menuju kamar 009, tempat El dirawat. Semoga saja ia tidak apa-apa, Tuhan.

Langkah gue terhenti di depan pintu 009. Jantung gue berdegup tak karuan, takut kalau kondisi El sama parahnya dengan seseorang yang bernama Doni tadi. Tangan gue perlahan memegang gagang pintu lalu membukanya.

"Raya?" Seorang laki-laki tertubuh tegap menyapa gue, ia berdiri tepat di depan pintu seolah hendak keluar kamar.

Gue mendongak, mencoba memastikan kalau lelaki itu adalah El. Dan kali ini gue benar! Dia El. Dia belum meninggal. Langsung saja gue rebahkan tubuh gue ke dadanya, memeluknya erat seakan nggak ada lagi hari esok.

"Kamu jangan pernah tinggalin aku lagi, El. Cukup delapan tahun saja. Esok, lusa, dan seterusnya, kamu nggak boleh pergi ke mana-mana tanpa seizinku," ucap gue dengan napas sesenggukan. Tangis gue lagi-lagi membuncah.

"Iya. Aku nggak akan pergi ke mana-mana tanpa seizinmu." El membalas pelukan gue dengan lembut lalu membelai rambut gue dari atas ke bawah.

"Kamu nggak boleh kecelakaan. Kamu nggak boleh terluka. Kamu harus tepatin semua janji-janji kamu ke aku."

"Aku baik-baik saja. Berhentilah menangis." El melepaskan pelukannya lalu mengusap pelan kedua pipi gue yang basah.

"El, kamu terluka," kata gue sambil menyentuh kening El yang tertutupi perban. "Kamu beneran nggak apa-apa?"

"Iya, Raya. Aku nggak apa-apa. Ini hanya luka ringan kok."

Gue kembali memeluk El lalu menempelkan pipi gue ke dadanya yang terasa hangat. "Pokoknya jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi. Kalau terulang lagi, aku tidak akan memaafkanmu, El."

"Iya, aku janji akan lebih berhati-hati. Jadi sekarang, berhentilah menangis. Aku mohon."

Gue melepaskan pelukan gue lalu mengusap air mata gue yang terus berlinang. "Pak pasien, sekarang kamu berbaring saja di atas ranjang. Biar nggak kecapek'an." Gue mendorong tubuh El ke belakang hingga ia melangkah mundur lalu terduduk di atas ranjang.

FEMME FATALE 2 / Cewek Cetar Season 2 Where stories live. Discover now