Prologue

89 12 0
                                    

“Selamat tinggal.” Jennifer melepaskan pisau dapur berlumuran darah di tangan kanannya. Jantungku berdegup kencang dan hatiku terasa sakit sampai ingin menangis ketika melihatnya menikamkan pisau bertubi-tubi ke tubuh Papa dengan brutal hingga darah bermuncratan ke mana-mana.

“Berhenti!” jeritku pilu, “Itu jahat. Pak Polisi akan menangkap kita!”

“Kenapa?” Jenni menatapku dingin, “Hidupmu sengsara gara-gara orang ini. Ia pantas mendapatkannya.”

Jenni dan aku bertemu di taman dekat rumah saat aku berumur tiga tahun, beberapa waktu setelah Mama pergi meninggalkan rumah dan hilang entah ke mana. Semenjak saat itu, Mama dan Papa tidak lagi bertemu, dan Papa berubah menjadi seseorang yang tak lagi kukenal. Ia jadi sangat kasar dan tidak lagi mau membacakan dongeng—Tidak, dia bahkan tidak mau bicara atau menatap wajahku. Ketika aku bertanya soal Mama pun, ia malah memukuli dan mengurungku di gudang. Papa juga kerap membawa wanita-wanita lain ke rumah, dan mereka akan tinggal di dalam kamar dalam jangka waktu yang lama. Selama itu, Papa melarangku untuk mendekati mereka atau ia akan memukuli atau tidak memberiku makan selama dua hari.

Kalau tidak bertemu dengan Jenni saat itu, entah apa jadinya aku.

Jenni adalah sosok yang luar biasa. Meskipun kami punya fisik yang bisa dikatakan hampir identik—padahal, jarang sekali ada anak yang penampilannya mirip denganku di sekitar sini—sifat kami cukup berbeda. Ia pandai bicara dan selalu bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik. Dengan teman-temanku yang lain, aku tidak pernah berhasil membawa mereka ke rumah karena Papa selalu melarang mati-matian. Tetapi, Jenni berbeda. Mungkin, karena ia tidak memiliki orang tua, Papa luluh dan membiarkannya tinggal di rumah kami untuk menemaniku. Atau, ia hanya mau aku diam dan tidak mengganggunya, sebab saat bersama Jenni, aku memang lebih tenang.

Sejak saat itu, hari-hariku ditemani oleh Jenni. Ia datang setiap kali aku merasa sedih, takut, atau marah, dan menggantikanku untuk meluapkan emosi itu. Katanya, aku kurang bisa melawan orang-orang yang sudah jahat padaku, maka ia akan membantuku melakukannya. Wanita-wanita yang dibawa Papa, para pelayan yang suka ikut campur, dan bahkan Papa sendiri—sepertinya, Jenni tidak memiliki rasa takut.

Namun, kali ini berbeda. Karena sekarang Papa sudah tidur dengan nyenyak, sepertinya tidak ada lagi yang akan menyakitiku.

BRAK!!!

Guncangan kuat membuatku berjengit kaget. Ketika membuka mata, aku sudah berada di dalam sebuah truk usang berkaca hitam. Mimpi yang sama lagi. Sepertinya, belakangan ini aku kerap kali memimpikan soal hari ketika aku dan Papa baruku bertemu.

“Maaf sudah membuatmu terjaga, lubangnya tidak bisa dihindari.” ujar pria paruh baya yang sedang memegang setir kendali truk di sampingku.

“Tidak apa-apa, Papa.” sahutku sambil tersenyum. 

Ia adalah penyelamatku, seperti superhero dalam film yang sering aku tonton dulu. Pria yang kini aku dan Jenni panggil sebagai Papa itu telah menyelamatkanku ketika polisi tiba-tiba mengerubung rumah lamaku untuk mencari kami. Papa saat itu menyembunyikanku di dalam lemari besi panti asuhannya, dan karenanya, polisi tidak lagi mencariku.

Papa bilang, ia kenal Mama jauh sebelum Mama menikah dengan bajingan itu (Jenni  memaksaku memanggil Papa lamaku dengan sebutan ini. Kalau tidak, ia akan marah). Bahkan, sepertinya Papa lebih mencintai Mama, aku, dan Jenni daripada bajingan itu. Buktinya, saat tahu aku dirundung kesulitan, ia bersikeras menyelamatkanku. Aku merasa baik-baik saja asalkan bersama Papa. Bagiku, Papa adalah orang paling jenius di dunia. Strategi dan logika otaknya sangatlah mengagumkan. Ia bahkan berteman dengan para polisi dan sanggup melakukan apa saja yang ia inginkan.

Itulah mengapa, awalnya, kupikir superhero sepertinya serbakuat dan tidak terkalahkan. 

Tapi ternyata, seorang superhero juga punya masalahnya sendiri. Papa punya banyak sekali urusan pribadi yang belum terselesaikan. Tambahan lagi, orang-orang jahat terus mengambil apa yang seharusnya miliknya. Karena ia adalah superhero sekaligus papaku, tentu aku ingin membantunya menyelesaikan masalah seperti ia membantuku menyelesaikan masalahku.

Sebab, tidak seperti orang lain, ia benar-benar menyayangiku dan Jenni apa adanya.

Buktinya, ketika seorang anak tidak sengaja membuatku marah beberapa tahun yang lalu dan Jenni datang untuk membalasnya hingga harus dirawat di rumah sakit, Papa tidak marah. Padahal, kukira, Papa akan mengurungku seperti si Bajingan kala itu, karena sebelum masuk ke panti asuhan, Papa sudah menyuruhku menyembunyikan Jenni dari anak-anak lain. Tapi, ia hanya tersenyum dan mengatakan bahwa tidak perlu khawatir, ia akan menyelesaikan semuanya. Dan benar, masalah itu tertimbun begitu saja.

Beberapa lama setelahnya, Papa mendapat kabar bahwa di panti asuhan tempat ia merawatku dan anak lainnya, ada harta miliknya yang perlu diambil, walaupun ia sendiri tidak tahu di mana tempatnya dan seperti apa bentuknya. Untuk mencari sesuatu yang begitu berharga di tempat begitu luas tanpa petunjuk apapun, tentunya tenaga kami bertiga saja jauh dari kata cukup. Apalagi, kami harus melakukan semuanya sambil memastikan bahwa musuh Papa, seorang pria tua bangka yang merenggut segala miliknya, tidak mengetahui apapun tentang rencana kami. Maka dari itu, Papa mulai menyuruh kami mencari teman-teman yang mirip dengan Jenni untuk bergabung dalam proyek besar itu.

Penyendiri, Stalker, Preman, dan Penyusup; begitu kami memanggil mereka. Entah mengapa, Papa melarang kami menyebut satu-sama-lain menggunakan nama asli, dan malah menyuruhku dan Jenni memilihkan nama alias untuk mereka dan diri kami sendiri. Akhirnya, aku dipanggil Princess, dan Jenni dipanggil Queen atau Ratu.

Keempat rekan baru kami itu juga bersumpah untuk membantu Papa, bahkan jika nyawa taruhannya. Anehnya, tidak sepertiku, mereka membutuhkan imbalan untuk itu. Papa berjanji akan memberikan mereka apapun yang mereka inginkan setelah besar nanti, seperti uang yang banyak, rumah sendiri, keamanan, dan lain sebagainya. Peraturan itu juga berlaku untukku, tapi aku memang tidak butuh apa-apa selain Papa yang menerimaku apa adanya. Aku akan berada di sampingnya tanpa perlu diberi imbalan apa pun.... selamanya.

Setelah berhasil mengajak teman-teman lainnya, Papa rutin menyuruh orang kepercayaannya untuk membawa kami ke markas besar yang jaraknya beberapa jam dari panti asuhan. Melewati hutan dan sawah-sawah kecil, ke tempat rahasia. Di sana, kami dilatih untuk bisa berkelahi, dan diminta merahasiakan semua yang kami pelajari. Termasuk, apabila polisi sampai tahu, saat itu juga, kami harus melimpahkan semuanya pada Kepala Panti. Cukup beberkan beberapa kejujuran seperti sejak kapan kami menyusun rencana, dan polisi akan percaya dengan sendirinya. Tanggung hukuman penjaranya, lalu Papa akan menjemput saat hukuman selesai, dan hadiah tetap akan diberikan. Itu bukan masalah besar bagi kami. Lagipula, kami semua belum menginjak usia tujuh belas tahun—masih dianggap di bawah umur, sehingga hukumannya tidak akan berat.

Walau begitu, aku tidak sepenuhnya mempercayai teman-teman baru itu. Apalagi, setelah salah satu dari mereka yang memang pembelot dan loyalitasnya kuragukan sejak awal, William alias si Preman, bertindak sesukanya dan mencelakai orang secara berturut-turut di luar rencana Papa. Belum lagi, ia hampir saja mengekspos kami semua di depan semua orang. Anak itu benar-benar membuat Jenni naik darah hingga terpaksa menyingkirkannya. Untung saja, Papa bisa mengatasi masalah Willy karena sudah mengantisipasinya.

 Setelah kejadian itu, aku tahu bahwa satu-satunya yang bisa kuandalkan hanyalah Jenni, walaupun kadang ia kasar, dan akhir-akhir ini, kami sering berselisih pendapat. Sebab, di balik semua itu, aku tahu, kami sama-sama menyayangi Papa sepenuh hati, sehingga tidak mungkin mengkhianatinya. Tetapi, kalau sampai yang lain membocorkan rahasia ini, aku tidak akan memaafkan mereka, dan Jenni pun bersumpah akan mencelakai siapapun yang berani berkhianat.

“Bengong apa?” tanya Papa sambil memegang tanganku lembut, membuat lamunanku buyar. “Kita sudah sampai.”

Aku mengedarkan pandanganku dan mendapati bahwa kami sudah berada di markas besar tempat pelatihan rutin kami. Setelah mengeluarkan emas-emas yang sudah berhasil diambil dari panti asuhan ke dalam ruang brankas, kami masuk ke dalam ruang monitor. Setelah Kepala Panti Asuhan sudah berganti, lebih mudah untuk menyusup tanpa pengawasan ketat dari Pak Stenley untuk memasang CCTV yang tersambung pada ruang monitor kami.

Ruangan ini memang khusus dibuat untuk memantau panti asuhan dari jauh. Dari sini, kami bisa melihat polisi yang berlalu-lalang keluar-masuk panti asuhan, berusaha mencari bukti yang nyatanya tidak akan mereka temukan di mana pun selain ruang kepala sekolah. Aku tersenyum puas.

“Kita mulai lagi?” ajak Papa sambil tersenyum ke arahku.

Aku mengangguk sambil mengembalikan senyumnya.

Karena sekarang kami sudah berada di tempat aman, saatnya untuk memulai kembali permainan.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang