16. Alice

17 10 0
                                    

Aku mengenakan pakaian terbaik yang kupunyai—sebuah kaos hitam dengan kardigan abu-abu dan celana jeans panjang. Ini adalah setelan favoritku yang biasa kugunakan untuk hang out dengan teman-teman.

"You look pretty." bisik Andrew ketika aku sudah kembali di hadapannya.

Senyumku mengembang begitu mendengarnya, namun tentu saja aku buru-buru menjawab, "Nggak, lah. Kentang gini."

"Gue pingin ngebantah, sih, tapi nanti kelamaan keburu malem." Katanya sambil mengajakku berjalan keluar dari panti asuhan menuju sekolah. Dalam hati, aku terus bertanya-tanya ke mana ia akan membawaku. Kenapa ke sekolah? Memangnya ada apa di sekolah? Namun akhirnya aku membendung semua pertanyaan itu dan tetap mengikutinya dari belakang.

Andrew pun membawaku menuju parkiran sekolah yang sudah sepi dan gelap. Kalau saja yang kuikuti bukanlah Andrew, mungkin aku sudah menolak dan buru-buru kabur ketika diajak cowok ke tempat seperti ini, tapi aku cukup percaya pada Andrew. Dia tidak mungkin mencelakaiku, kan?

"Gue abis dapet pinjeman." katanya sambil menaiki sebuah motor vixion dan menyalakan mesinnya. Tentu saja, melihat Andrew yang duduk di atas motor besar membuatku kembali terpukau. Ia tampak benar-benar keren di atas motor merah tersebut. "Kebetulan, gue juga dapet pinjeman helm." katanya sambil mengenakan helm full-face dan memberikan helm serupa padaku.

Aku meraihnya dengan kikuk dan mengenakannya pada kepalaku.

"Bisa naik nggak, ya?" tanya Andrew sambil melihatku dan boncengan motornya bergantian.

"Secara nggak langsung, lo ngatain gue pendek," sahutku. "Tapi kayaknya, nggak bisa naik beneran."

Ia tertawa kecil, lalu menjawab, "Ya udah, lo naik ke trotoar di sana dulu aja, ntar naik dari sana."

Aku mengangguk singkat, lalu berjalan menuju trotoar yang dimaksud. Dengan bantuan trotoar, akhirnya aku dapat menaiki motor tersebut dengan aman. Spontan, aku berpegangan pada bagian belakang motor untuk menjaga keseimbangan.

"Nggak pegangan ke gue aja?" tanyanya setengah menggoda. "Ntar jatuh, gue yang repot, lagi."

"Nggak, ah. Udah biasa, kok." sahutku santai.

"Jangan, deh. Kalo nggak pegangan ke gue, gue nggak mau jalan." sahutnya sambil menyilangkan tangan di depan perut dan tersenyum menggoda.

Aku menghela napas panjang dengan kasar, lalu menjawab, "Ya udah, gue turun."

"Eh, bercanda kok." sahutnya sambil memegang kembali kemudi. "Ya udah, berangkat."

Detik selanjutnya, aku menyesal karena sudah menolak permintaannya barusan. Ternyata, menaiki motor besar dengan motor standar sama sekali berbeda. Rasanya aku sudah hampir terjungkal ke belakang selama ratusan kali, meski sebenarnya kami hanya berkendara dengan kecepatan 60 km/jam. Akhirnya, aku pun memegang pinggang Andrew dengan perlahan.

"Hahaha... Kan, apa gue bilang." godanya.

"Berisik." sahutku. "Kita mau ke mana, Ndrew?"

"Ikut aja." sahutnya bangga tanpa mengurangi kecepatan. "Lo udah makan?"

"Kan kita makannya barengan semua, tadi. Gimana, sih?"

"Iya, juga. Maklum, nggak jago basa-basi."

Aku terkekeh.

Ia mengatakan sesuatu lagi, namun aku tiba-tiba tidak bisa mendengar dengan jelas.

"Apa?" tanyaku.

"Haheheaem." balasnya sama sekali tidak terdengar.

"Nanti aja, deh, nggak kedengeran apa-apa kayak bahasa alien." sahutku sambil tertawa kecil.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang