50. Bryan

29 8 0
                                    

Tidak pernah sedetik pun selama mengetuai tim penyelidikan ini, aku tidak berharap akan datang saat di mana kami akan mengepung kriminal yang selama ini kami incar bersama-sama, dalam posisi lemah dan tidak memiliki celah untuk kabur. Tetapi, tidak pernah pula terbersit dalam pikiranku bahwa ketika saatnya tiba, kami akan berhadapan dengan salah satu anggota kami sendiri, bukan dengan perasaan puas dan lega, tetapi dengan perasaan hancur lebur.

Awalnya, saat Alice dan Joshua mengajak berkumpul dan mengungkapkan penemuan sekaligus rencana mereka, aku masih skeptis. Namun, saat ini, diterangi cahaya remang-remang gedung sepi belakang sekolah, aku yakin seratus persen bahwa orang di hadapan kami memang Andrew Leonardo, dan keyakinan itu menjadi semakin nyata ketika masker dan topi yang melindungi identitasnya dilepas paksa oleh Joshua.

"Gue bisa jelasin semua ini," kataku. Andrew, yang baru pelan-pelan menyadari keberadaanku, Sam, Gwen, dan Rosaline terkesiap kaget. Tetapi, aku tidak memberinya kesempatan untuk bicara sebelum menyambung, "Lo mau ngomong gitu, kan? Udah gue wakilin. Sekarang, lo jelasin aja tanpa basa-basi."

"Nggak! Nggak usah jelasin apa-apa," Alice menyela. Tadinya, ia masih bisa memasang raut dingin di wajahnya, tetapi sekarang pertahanannya sudah di ambang keruntuhan. "Guys, bener, kan, kata gue? D-dia ini pembunuh. Akhirnya... akhirnya kita berhasil nemuin orang yang kita cari-cari selama ini."

Aku tidak pernah melihat Andrew kehabisan kata-kata seperti ini. Sekujur tubuhnya menegang dan wajahnya putih pucat. "T-tunggu, Lice. Gue—"

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Andrew. Tetapi, bukan Alice yang melakukannya. Itu adalah Gwen, dengan ekspresi terdingin dan paling tidak bisa dibaca yang pernah ditampakkannya. "Itu buat Alice," katanya tajam. "Karena gue tahu, dia terlalu baik buat ngelakuin itu sendiri."

Alice memalingkan wajah, walaupun aku tahu ia sudah hendak menangis. "Thanks, Gwen."

Dengan sebelah pipi merah berbekas cap tangan, Andrew masih berusaha meraih Alice. "L-Lice..."

"J-jangan panggil nama gue!" teriak Alice dengan suara gemetaran hebat. "Jangan, berani-beraninya... panggil nama gue, ataupun panggil gue pake Princess lagi."

Andrew berdiri mematung. Bibirnya bergetar, seperti hendak bicara dan menangis dalam waktu yang bersamaan, tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dalam kondisi biasa, aku pasti akan mengambil alih situasi. Tetapi, saat ini pun, aku ikut terpaku di tempat, sementara Alice mulai maju mendekati Andrew, hingga kini mereka berdiri sangat dekat berhadap-hadapan. Ia masih menangis dan wajahnya masih merah padam, tetapi entah dengan kekuatan dari mana, ia memberanikan diri menatap mata lelaki di hadapannya.

"Gue kecewa sama lo," katanya lirih. "Gue nyesel pernah kenal lo. Gue nyesel pernah menganggap lo temen gue, dan bahkan..." suara Alice pecah tanpa bisa dikontrol, membuatku merasa pilu, "Dan bahkan lebih daripada itu."

Andrew bergeming. Sekarang, tangannya ikut gemetaran, tetapi ia tidak lagi berusaha meraih Alice. "Nggak ada..." gumamnya, "Nggak ada kesempatan buat gue jelasin semuanya?"

Suara Andrew membuat Alice tampak bimbang sesaat. Tetapi, detik selanjutnya, tangannya terkepal di samping tubuh dan wajahnya didongakkan, dengan ekspresi paling tegar yang bisa ia tampakkan, sekaligus paling palsu dan menyakitkan yang pernah kulihat.

"Nggak ada," jawabnya mantap. "Thank you udah bikin gue merasa jadi orang yang spesial selama ini."

Sebutir air mata jatuh dari pelupuk mata Alice.

"Thank you, udah ngasih memori-memori terindah di hidup gue... walaupun kita belum lama saling kenal."

Sekarang, suaranya mulai bergetar lagi.

"Tapi, sekarang gue akan lupain semua itu," katanya. "Gue akan lupain lo, Ndrew, sesusah apa pun itu buat gue. Karena gue sekarang tahu siapa gue di mata lo, dan sejak awal, memang gue yang udah salah menilai lo."

Alice menghela napas berat.

"Goodbye, Andrew. Ke depannya, anggep aja kita nggak pernah kenal."

Setelah mengatakan itu, ia berjalan melewati Andrew, keluar dari ruangan dengan bahu tegak, tanpa sekali pun menoleh ke belakang. Rosaline bergegas mengejarnya, tetapi ia berhenti sejenak di hadapan Andrew untuk mengatakan, "Gue juga kecewa sama lo."

Selama beberapa detik setelah kepergian mereka, Andrew masih mematung di tempatnya berdiri, tampak sulit memercayai apa yang baru saja terjadi. Kemudian, kesadarannya kembali, dan ia berbalik untuk berlari keluar mengejar Alice. Namun, tentu saja, Joshua cepat tanggap dan menahan tubuhnya. "Lo mau ke mana?" ujarnya. "Kali ini, gue yang nangkep lo."

Andrew meronta hebat. "Lepasin! Gue harus jelasin semuanya ke Alice!"

"Alice nggak mau ketemu lo—"

"Lepasin gue, Josh! Lepasin gue!"

"Lo pengecut!" teriakku nyaring. Tak disangka, teriakan itu membuat Andrew berhenti meronta. Wajahnya seperti tersambar petir. "Lo pengecut yang nggak mau ngadepin kenyataan kalo lo ngejar Alice sekali lagi."

Sekujur tubuh Andrew melemas, kemudian perlahan-lahan, ia jatuh terduduk ke lantai dan mulai terisak hebat. Baru pertama kali aku melihat seluruh pertahanan cowok itu runtuh tak berbekas. Andrew Leonardo, yang selama ini selalu menampakkan sikap garang dan percaya diri, kini sedang menangis tersedu-sedu di kaki Joshua, mengabaikan seluruh gengsinya, mengabaikan seluruh egonya.

"M-maaf," serunya di tengah isak tangis. "Maaf karena selama ini gue pengecut yang nggak berani berdiri di sisi yang benar. Maaf, karena gue masih berani-beraninya takut dibenci, padahal gue pantes dibenci. Maaf, karena gue bertindak seolah-olah gue korban, padahal gue yang udah membunuh sahabat gue sendiri!"

Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Hati, otak, dan tubuhku rasanya berhenti bekerja seketika, dan aku hanya bisa menatap orang yang belakangan ini sudah mulai kuanggap teman itu, pelan-pelan kehilangan kewarasannya di hadapanku.

"Gue udah membunuh Willy, Bry!" jeritnya. "Gue ini orang paling menjijikkan, paling pengecut di dunia ini, dan lo bener! Lo bener! Kalo gue ngejar Alice sekali lagi, sama aja gue mau membunuh dia juga. Apa hak gue? Sekarang ini, buat dia, sama aja gue udah mati, kan? Dia akan benci gue. Dan setiap kali dia mendengar nama gue, setiap kali dia ngelihat wajah gue, dia akan berharap dia nggak pernah ketemu gue.

"Dan apa hak gue bicara kayak gini di hadapan kalian, yang udah gue bohongin, yang udah gue khianati. Ya, kan? Sekarang, walaupun gue sujud di hadapan kalian, gue nggak ada hak buat minta kalian dengerin penjelasan gue. Karena gue cuma bajingan yang selama ini pura-pura baik di hadapan kalian dan seharusnya malu—"

PLAK!!!

Lagi-lagi, sebuah tamparan mendarat di pipi Andrew. Tetapi, kali ini, tidak ada yang pernah menduga apa yang terjadi. Karena terlalu terpaku pada Andrew, aku tidak menyadari bahwa Sam sudah berdiri di hadapannya dan barusan melayangkan tamparan itu.

Andrew berhenti menangis, kendati masih sesenggukan hebat. Ia mendongak menatap Sam sambil memegangi pipinya yang sekarang nyaris berwarna merah darah.

"Udah, kan?" Sam berkata. "Sekarang lo bisa jelasin apa pun yang mau lo jelasin. Kalo lo bener-bener nyesel, lo harus bayar, dong! Kasih tau kita semuanya yang lo tahu. Ampas, kan?"

"Nggak akan impas," timpalku. Kutatap mata Andrew semantap mungkin. "Nggak akan impas, dan gue nggak akan percaya seratus persen. Tapi setidaknya kita berhak tahu kebenarannya. Semuanya, dari awal."

Andrew menatapku berat, dan sekilas, aku bisa melihat sesuatu telah retak permanen di dalam dirinya dari tatapan mata itu. Namun, ini dirinya yang asli. Tanpa penyamaran, tanpa tembok pertahanan, dan saat itu pula aku tahu, apa pun yang akan keluar dari mulutnya setelah ini adalah kebenaran.

"Berdiri." Joshua mengulurkan tangan ke hadapan wajahnya. "Gue nggak suka orang sujud di hadapan gue kayak gini, bikin gue merasa kayak tiran yang kejam."

Andrew menghela napas panjang, kemudian menerima uluran tangan itu dan berdiri.

"Perlu lo ingat," Joshua berkata lagi. "Sebagus apa pun penjelasan dari lo, tetap nggak akan ada kata maaf dari kita. Ini cuma bentuk tanggung jawab lo aja. Lo ngerti, kan?"

"Iya..." gumam Andrew. "Iya, sebanyak itu, gue tahu, kok."

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now