Epilogue

44 7 6
                                    

Alice's POV

Aku menatap diriku sendiri di depan cermin. Rambut kuncir dua yang selalu menemaniku pada awal masuk ke panti asuhan kini sudah tidak ada lagi. Sejak Catherine memotong rambutku dengan paksa satu tahun lalu, aku kehilangan kebiasaan menguncir rambut dan membiarkannya tergerai. Aku merapikan seragam putih abu-abuku yang sebentar lagi akan menjadi kenangan, dan melihat wajahku yang sudah dirias di depan cermin.

Seragam ini sudah melewati banyak hal: kenangan manis, kenangan pahit, semua yang terjadi di SMA dan Panti Asuhan Bakti Mulia. Awalnya aku datang dengan perasaan kalut dan campur aduk, takut tidak punya teman sehingga aku memaksa diriku berpura-pura bahagia dan mudah didekati agar orang-orang tidak menjauhiku. Well, cara itu berhasil sih sehingga aku mendapat banyak teman-teman baru, namun tetap saja kehidupanku di panti asuhan ini benar-benar jauh dari bayangan awalku. Tapi, aku benar-benar bersyukur masa kelam itu sudah selesai, dan Joseph, pelaku di balik kekacauan yang terjadi di hidupku dan hidup anak-anak panti asuhan sudah tidak ada lagi di dunia ini. Setidaknya, pada akhirnya, aku bisa merasakan kehidupan normal anak SMA pada tahun terakhirku.

"Lice, udah siap?" seseorang mengetuk pintu kamarku perlahan.

Aku buru-buru membuka pintu dan menjumpai Rosaline yang kini menatapku dengan senyuman. Ia tidak mengenakan kacamatanya, dan wajahnya pun juga sudah selesai dirias oleh salah satu ibu yang menjadi relawan untuk mendandani kami hari ini.

"Cie, cantik amat, mau ke mana Neng?" godaku sambil menyenggol pinggulnya dengan pinggulku.

"Hus, nggak, lah masih cantikan lo, kali. Anak-anak udah di lokasi, tuh." katanya salah tingkah.

Kami pun berjalan menuju sekolah bersama. Lapangan sekolah yang biasanya tampak kosong, kini penuh dengan hiasan ramai di kanan kirinya. Kursi-kursi plastik sudah dijejer rapi di kiri dan kanan jalan bagi kami untuk duduk. Di atas panggung sudah hadir Pak Owen, selaku kepala baru Panti Asuhan Bakti Mulia sedang memberikan arahan bagi anak-anak untuk duduk dengan rapi.

"Lice, Sa, sini!" Bryan berdiri sambil melambaikan tangan ke arahku dari barisan paling depan. Di sampingnya, duduk Gwen yang melihat ke arahku dengan senyum tipis, dan di belakangnya, duduk Sam yang menyisakan satu kursi kosong di samping kirinya.

"Jangan duduk di sini, lo di kanan aja." kata Sam melarang Rosaline duduk di kursi kosong di kirinya.

"Lo cantik banget hari ini," bisik Bryan padaku setelah aku duduk di sampingnya.

"Iya, lah, pacar siapa dulu, dong." godaku sambil mengibaskan rambut ke wajahnya.

"Emang pacar gue paling cantik." sahut Bryan dengan nada yang seperti biasa tidak jelas apakah serius atau menggombal, membuatku tersenyum lebar walaupun sambil sedikit mengernyit geli.

"Gue boleh pindah nggak? Cringe banget di sini." kata Gwen pada Sam dan Rosaline, dan kami pun tertawa terbahak-bahak.

"Sama, gue juga cringe kok, Gwen." kataku sambil mendorong pelan wajah Bryan yang sekarang tertawa terbahak-bahak.

Tidak lama setelah kami berhasil menyelesaikan kasus Topeng Putih, Bryan akhirnya menyatakan cintanya padaku. Waktu itu sore hari, sepulang latihan basket, seperti biasa aku menemaninya sambil duduk di kursi penonton. Biasanya kami bakalan langsung kembali ke panti asuhan setelah itu, tapi ia mengajakku ngobrol sebentar di bawah pohon sekolah. Ia tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak musik dari dalam ranselnya dan memberikannya padaku. Dan di dalam kotak musik itu ada sebuah puisi. Entah siapa yang meyakinkannya bahwa aku suka puisi dan menyarankannya menulis sebuah puisi, karena itu jelas-jelas bukan sesuatu yang disukainya. Katanya, ia menghabiskan berbulan-bulan untuk menyelesaikan puisi yang akhirnya tidak sanggup ia bacakan secara langsung itu. Mungkin terdengar cringe saat aku menceritakannya seperti ini, tapi bagiku yang mengalami semua itu di waktu senja, terasa sangat romantis. Apalagi, ia berusaha sangat keras untuk itu. Dan begitulah, kami berakhir menjalani hubungan yang sudah berjalan selama satu tahun ini.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now