88. Gwen

24 5 2
                                    

Aku terkepung. Di hadapanku, Panji Hosea Lim alias Joseph masih mengacungkan pistolnya ke dahiku, dan sekarang, Catherine sudah bergabung bersama kami. Membodohi para bawahan mereka mungkin mudah. Namun, menghadapi dua otak dari seluruh operasi ini, aku benar-benar tidak memiliki harapan.

"Pa, gangguannya sudah ditangani." kata Catherine.

"Telepon penembak jitu." Tatapan mata Joseph tidak lepas dariku. "Semua orang yang keluar dari bawah sini tanpa masker gas, selain kita berdua, langsung tembak saja."

Aku menunggu Catherine membuat panggilan. Tidak terdengar jelas apa yang dikatakannya, tetapi ekspresi wajahnya berubah keruh. "Ada masalah," bisiknya kemudian. "Penembak jitu hilang semua, nggak ada yang menjawab. Stalker juga tidak bisa dihubungi sejak pergi ke permukaan."

Rahang Joseph mengeras, murka. "Kurang ajar," desisnya. "Kita urus nanti. Kita bereskan anak ini dulu."

Tentu saja, yang dimaksud adalah aku.

"Seandainya waktu itu kamu mau bergabung sama kami, dan bukannya malah memimpin bocah-bocah bodoh itu, mungkin nggak akan kayak gini, ya, Gwen?" Joseph tersenyum senang, seolah langsung melupakan masalah yang barusan mengganggunya. Hasratnya untuk membunuh, rasa haus darah yang menggebu-gebu, dan kebenciannya terhadapku, semua terpantul jelas dalam sorot matanya.

"Aku bukan pemimpin mereka," jawabku tenang. "Aku ke sini untuk kepentinganku sendiri. Kalau mencari pemimpin anak-anak itu, kalian salah orang. Bryan adalah orang yang kalian cari."

Joseph tertawa terbahak-bahak. "Lucu! Lucu!" pekiknya, layaknya seseorang yang baru saja belajar bahasa Indonesia dan belum bisa menggunakan kata-kata dengan benar. "Nggak ada nama Bryan dalam daftar saya. Anak itu cuma lagaknya saja yang pintar. Yang benar-benar harus saya habisi itu kamu."

Mereka benar-benar meremehkan Bryan dan anak-anak lainnya. Tidak belajar dari kesalahan. Padahal, semua kesulitan yang mereka alami—pengalihan perhatian dengan memanfaatkan Pak Martin, lolosnya kami dari tahanan, putusnya semua kabel CCTV—adalah perbuatan teman-temanku yang lain. Aku bahkan tidak melakukan apa-apa, tetapi mereka begitu ingin aku menjadi dalangnya. Mereka begitu ingin menyalahkanku, dan mereka memandangku seperti salah satu dari mereka.

Mereka mengira aku jahat, licik, dan memiliki jiwa psikopat seperti mereka.

"Mau main pahlawan untuk Stenley?" cibir Joseph. "Mau membela orang seperti itu, yang keluarganya korup dan menyengsarakan banyak orang? Saya kira kamu ini lebih pintar. Jelas-jelas saya yang benar di sini. Saya nggak merugikan banyak orang. Saya cuma mau orang itu dapat pelajaran."

"Bukan tempat Anda untuk memberi dia pelajaran," balasku. "Dan kalau Anda nggak merugikan banyak orang, Anda sebut apa saya, yang sekarang sedang Anda todong pistol begini? Juga anak-anak lain, yang sampai trauma, cacat, dan entah apa lagi. Apa kami semua sapi, kalau bukan orang?"

"Kalian itu hanya collateral damage," jawabnya. "Pengorbanan kecil yang harus saya lakukan, demi sesuatu yang lebih besar. Apalah artinya beberapa anak yatim piatu saja, dibandingkan rakyat yang menjadi korban korupsi keluarga Stenley, dan keluarga-keluarga pejabat lainnya? Kalian cuma... apa, ya, rambut yang ikut tercabut saat berusaha mencabut rambut putih?" Joseph tertawa terbahak-bahak. Ia merasa lawakannya begitu lucu, namun tidak ada yang tertawa.

"Anda cuma ingin balas dendam pada seseorang tentang kehilangan orang tua Anda," balasku. "Dan kebetulan, orang itu Stenley. Kalau ini benar karena korupsi dan moral Anda yang sangat tinggi, Anda pikir, hanya dengan menghukum Stenley, masalah itu akan selesai? Ada berapa banyak koruptor dan orang yang merugikan rakyat di negara ini? Bahkan superhero juga tidak bisa memberantas masalah itu, apalagi Anda yang cuma orang biasa. Anda cuma mengarang-ngarang alasan saja, padahal masalah sebenarnya adalah Anda merasa tidak adil atas kematian orang tua Anda. Ya, kan?"

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon