20. Sam

19 9 0
                                    

Biar kukasih tahu sesuatu: aku sudah bertekad untuk jadi orang yang lebih serius.

Memang, sih, biasanya aku sudah serius—yang lain saja yang nggak menganggapku serius. Tapi, setelah merenungkan wejangan dari Joshua (dengan serius juga, tentu saja), aku kayaknya mulai paham alasannya: itu karena otakku gampang lelah dan aku selalu menyerah pada godaan setan untuk bersantai-santai, misalnya godaan untuk tidur siang. Sejak saat itu, aku mantap bersumpah bahwa aku nggak akan tidur siang lagi untuk selamanya (setidaknya sampai batas waktu yang nggak ditentukan).

Walaupun sekarang, di siang bolong seperti ini, setan kampret nggak kasat mata itu rasanya sedang menari salsa di otakku sambil berteriak-teriak ala cheerleaders, 'Tidur! Tidur! Tidur!'

Dasar cacing kuping kurang ajar. Ya sudah, lah. Yang penting, aku berusaha melek sambil memenuhi sumpah keduaku: membuat diriku berguna dengan menyumbang ide sekecil apa pun dalam penyelidikan. Kayak sekarang, saat kami akhirnya menjabarkan semua bukti dan tebakan yang kami punya tentang kasus, dari awal sampai akhir, pada Pak Owen si Polisi Doraemon.

Oh, iya. Aku belum bilang, ya. Setelah beberapa kali bertemu dengan bapak itu, aku mulai menyadari bahwa wajahnya mirip tokoh kartun. Baru setelah melihatnya nongol di pintu kamar Bryan dengan kaos santai berwarna biru-putih tadi, aku akhirnya menyadari bahwa tokoh itu adalah Doraemon si Kucing Serak-Serak Basah. Kalau dia kebetulan juga punya suara kayak Pak Joseph, seluruh usahaku buat menjadi orang yang lebih serius pasti sudah tinggal ampas.

"Hmm... banyak juga, ternyata, yang nggak kalian katakan saat interogasi," Pak Kucing Ajaib berkata setelah Bryan menyelesaikan sinopsis panjang-lebar buatannya sendiri (kayaknya, salah satu hobi cowok itu adalah nyerocos tanpa titik-koma. Kalau ini novel, pasti satu paragraf perkataannya tiap buka mulut panjangnya setengah halaman.)

"Ya, habis gimana, Anjir?—Eh, maaf, kebiasaan, Pak. Gue—saya—yang kena, lah, kalo ketahuan soal deep web itu. Sekarang aja, saya masih takut. Gimana kalo besok, sidang SIM-nya berubah jadi sidang kriminal? Kan, nggak lucu," Monster Andrew menimpali. Yang ini, sih, kalau jadi novel, dialognya paling hanya satu-dua kata saja, sisanya dicoret gede-gede oleh editor karena nggak pantas. Dasar monster immoral.

"Tenang aja. Saya bisa dipercaya, kok," Pak Kucing meyakinkan. "Untuk sementara ini, saya akan bantu coba cari tahu soal keluarga Hosea Lim ini dari data kepolisian, terutama soal Panji Hosea Lim. Kalau ada info lebih lanjut, saya akan sampaikan lewat Bryan. Kalian hati-hati, ya, kalau mau cari informasi. Sebaiknya, jangan sampai ada yang tahu kalian masih meragukan keputusan polisi. Jangan buat rencana-rencana jebakan atau menunjukkan ke... Topeng Putih ini kalau kalian masih menyelidiki identitasnya."

Ternyata, Pak Kucing juga punya bakat nyerocos Bryan, walaupun nggak secepat si cowok rapper. Tetap saja, kok bisa, sih, orang ngoceh sepanjang itu dalam sekali buka mulut? Otakku, kan, nggak bisa memproses artinya secepat itu. Padahal, aku sudah berniat untuk serius. Gimana caranya aku bisa serius kalau setengah percakapan saja aku nggak ngerti maksudnya?

"Ya sudah, sebelum bel pulang bunyi, saya balik dulu," Pak Kucing berkata lagi, kali ini dalam bahasa manusia, sambil mengecek jam tangannya. "Lain kali, kalau mau ketemu, lebih baik di rumah saya saja—nanti saya yang biayai taksinya. Di sini, saya rasa terlalu riskan kalau ada yang dengar."

Setelah mengatakan itu, ia pamit, meninggalkan kami semua di kamar Bryan.

"Makan dulu, lah, yuk, keburu rame ruang makannya. Bentar lagi, kan, bel," Bryan berkata. "Sekalian bawain makan siang buat Alice."

"Gue di sini, deh, nemenin Alice," Rosaline, yang baru kemarin memutuskan untuk cosplay Dora secara permanen, menyahut. "Titip makan juga, ya. Nggak usah pake sayur, nasinya dipisah. Oh, ya, nggak mau pedes juga."

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang