43. Bryan

23 9 0
                                    

Aku tidak percaya kami akhirnya akan bertemu Panji Hosea Lim.

Sepanjang malam, aku hanya membolak-balikkan tubuh di atas lantai, memikirkan fakta yang anehnya terasa seperti mimpi itu. Di satu sisi, otakku sibuk menyusun berbagai rencana untuk menghadapi pria itu, yang kemungkinan besar adalah orang yang saat ini kami kenal baik sebagai sosok yang sama sekali berbeda. Namun, di sisi lain, dua pertanyaan terus menghantui pikiranku: 1) Benarkah kami akan bertemu Panji semudah ini? Dan, 2) Apakah dengan begini, penyelidikan kami akan berakhir?

Fakta bahwa aku tahu pasti jawaban dari pertanyaan kedua adalah ‘tidak’ sangat mengganggu benakku. Walaupun sudah bertatap muka dan mengetahui identitas pria yang kami cari-cari itu, kami sejatinya tetap tidak memiliki bukti mengenai keterlibatannya dalam kasus ini. Satu-satunya harapan untuk mengorek informasi adalah melalui Pak Owen, yang, sebagai anggota kepolisian, tentunya memiliki wewenang untuk menggeledah tempat tinggal Panji atau menyelidiki latar belakangnya. Namun, tentu saja, anggota yang lain masih belum mau percaya pada beliau, dan aku masih belum menemukan alasan untuk meyakinkan mereka.

Alhasil, lain dengan Alice yang langsung terlelap begitu menyentuh bantal, aku tidak bisa tidur hingga pagi tiba lantaran terus terbayang-bayang mengenai betapa tidak matangnya rencana hari ini. Sayangnya, kami tidak punya banyak waktu. Kalau menunggu rencana dimatangkan, bisa-bisa Pak Stenley sudah dijatuhi vonis hukuman terlebih dahulu.

Jam sekolah berlalu dengan sangat cepat. Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore dan murid-murid sudah berhamburan keluar kelas. Aku, Alice, Andrew, dan Gwen menunggu hingga orang-orang terakhir keluar dari ruangan, lalu berkumpul di meja pojok belakang. Tak lama, Joshua, Rosaline, dan Sam muncul di ambang pintu kelas dan menghampiri kami.

“Jadi, kita langsung aja ke sana sekarang,” aku segera memulai tanpa basa-basi, tidak mau membuang-buang waktu. “Nggak usah ganti baju, nggak usah balik asrama. Toh, kita bakal ngomong juga kalo kita siswa sini. Jadi, dengan pake seragam begini, malah lebih meyakinkan. Dan lagi, kemungkinan besar, P adalah seseorang yang kita kenal. Jadi, nggak ada gunanya pura-pura.”

“Kita keroyokan begini?” Andrew bertanya skeptis.

“Ya nggak apa-apa, sih?” Rosaline angkat bicara. “Toh, bener kata Bryan, kan? Dia kemungkinan kenal kita, dan akhir-akhir ini, kita sering ngumpul di sekolah, bahkan kena masalah bareng-bareng, jadi nggak aneh kalo kita dateng bareng-bareng juga.”

“Lo sadar, nggak, sih, kalo dia memang orang yang kita kenal, misalnya guru sini, begitu kita dateng ke rumahnya, udah langsung ketahuan banget kalo kita punya niat terselubung? Kayak, dari mana, coba, kita tahu alamat rumahnya?” Andrew membalas. “Lo mau kita dibunuh rame-rame di sono? Sori-sori aja, walaupun gue mau ngumpul bareng kalian begini, bukan berarti gue juga mau mati konyol bareng kalian.”

“Hm…” Alice bergumam. “Kalo gitu, apa mau kayak kemarin aja? Jadi, yang masuk beberapa dulu, gitu, trus yang lain jaga di luar.”

“Gue mau masuk, dong, kali ini,” Sam buru-buru menyahut. “Gue ngantuk banget, sumpah, nunggu di luar. Mending, gue ikutan action, walaupun cuma mejeng nggak penting.”

“Sebenernya, rumahnya, kan, apotek, jadi nggak aneh kalo kita masuk bareng sekaligus, sok-sokan beli sesuatu,” balasku. “Walaupun memang letaknya agak jauh dari sini, dan itu bakal bikin kedatangan kita kesannya aneh, tapi kita bisa bilang kalo kita butuh obat buat luka gue atau Alice, udah cari di mana-mana, tapi nggak ketemu, dan kita denger-denger kalo apotek P itu punya obatnya.”

Semua orang terdiam menimbang usulanku.

“Emang itu bener apoteknya P, tapi?” Rosaline akhirnya bertanya.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang