65. Gwen

35 6 0
                                    

Aku merenung sebentar untuk membiarkan teori-teori inspektur itu mengendap di benakku. Semua terasa logis dan sulit dibantah.

“Adakah sidik jari pada gagang telepon di pondok Mr. Redding?” tanyaku.

“Tak ada,” kata Inspektur dengan pahit. “Tak ada, tapi ada sosok bertopeng putih dan berjubah hitam di—

Tunggu sebentar.

Ada sosok bertopeng putih… berjubah hitam… pengurus rumah—

Mataku mengerjap berkali-kali membaca kalimat terakhir yang terasa janggal. Satu detik, dua detik, lalu buku di tanganku melayang ke atas kasur disertai erangan frustrasi.

Tidak bisa. Aku tidak bisa melakukan ini.

Kupikir, membodohi otakku tentang keseriusan kondisi saat ini dengan membaca buku dan berpura-pura bahwa esok hanya hari sekolah biasa akan membantu mengusir kecemasanku. Tentu saja, bukan begitu cara kerjanya. Kalau cara itu berhasil, aku tak perlu repot-repot pergi ke psikiater selama bertahun-tahun. Kalau cara itu berhasil, aku tak mungkin membuka-tutup laci meja sepuluh, dua puluh kali dalam lima menit, berharap sebutir antidepresan tiba-tiba muncul secara ajaib di dalam plastik obatku yang kosong.

Lagi-lagi, aku tidak suka selera humor semesta.

Obatku habis, di saat aku paling membutuhkannya. Ironis, ketika kukira aku sudah tidak lagi bergantung dengan benda itu, otakku mulai gigih membuktikan bahwa aku salah. Saat Andrew berkhianat, malam selanjutnya, dan terutama malam ini. Malam ini…

Aku melempar pandang ke luar jendela, mengamati langit bertabur bintang yang tampak begitu tenang hingga terkesan mengejek.

Besok, aku akan menolong Stenley. Aku harus menolong Stenley, bahkan apabila utang budiku berharga nyawa. Pria itu sudah menyelamatkan nyawaku—dua kali. Saat hak asuhku diserahkan pada pria yang kupanggil ayah kala itu, hidupku sama saja dengan berakhir. Orang itu tidak punya pekerjaan tetap, sangat membenci keberadaanku, dan yang terpenting, ia sama gilanya dengan ibuku. Berkali-kali, ia mencoba mengakhiri nyawanya sendiri. Minum pil obat tidur dalam dosis yang tidak wajar, tidak makan selama berhari-hari, mencoba memotong nadinya… Kalau diteruskan, antara aku berakhir menjadi anak yatim, mati kelaparan dengan sendirinya, atau malah dibunuh di satu titik. Untung saja, pria itu juga cepat menyadari hal itu, dan untung saja, Stenley adalah orang yang ia tuju dalam kondisi itu.

Aku tidak marah saat diserahkan pada Stenley. Malah, anak empat tahun yang baru saja menjadi yatim-piatu secara tidak langsung itu merasa lega. Stenley orang yang baik, dan aku selalu tahu itu. Terhadapku, terhadap ayahku… Kalau ia tak mengulurkan tangan saat itu, nama mungkin satu-satunya yang tersisa dari diriku saat ini. Begitu pula saat aku tenggelam. Karenanya, saat ini, aku harus menyelamatkannya juga.

Tetapi, aku takut. Pikiranku pun kalut.

Bryan menyembunyikan sesuatu. Itu sudah pasti. Barangkali tidak semua orang menyadari hal itu, tetapi rencana yang dicetuskannya tadi terlalu bercela, terlalu janggal, bagaikan sebuah puzzle yang dari jauh nampak jadi, namun ternyata kehilangan satu-dua potongan saat dilihat lebih dekat. Semua detektif di novel fiksi yang kubaca pun pasti akan menyadari hal yang sama. Tetapi, aku tidak tahu apakah yang disembunyikannya jahat, atau tidak. Yang kutahu, aku tidak seharusnya bermain api dalam perkara sebesar ini, tetapi mungkin saja aku hanya ketakutan sendiri terhadap orang yang sebenarnya bisa dipercaya…

Aku tetap tidak tenang.

Seandainya saja aku bisa bertemu Jo malam ini. Mungkin, sedikit mengobrol dengannya bisa memberiku ketenangan, setidak-tidaknya sementara. Tetapi, terakhir kali, aku sudah membebaninya lagi. Menangis di depannya, bahkan. Kalau ia merasakan sedikit saja dari yang kurasakan saat melihatnya menangis, pasti ia merasa khawatir. Aku tidak mau membuatnya merasakan hal itu. Rasanya seperti aku ingin melindunginya dari iblis-iblis yang tinggal di dalam pikiranku, tetapi setiap kali bersamanya, aku menemui diri selalu ingin membagi sedikit masalahku kepadanya.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now