After Story 3 - The Sixth Sense

41 4 1
                                    

Minggu, 17 April 2022, 09.30 WIB

“Aduh, aduh, aduh, Minggu-Minggu kok masih pada sibuk aja ini, para master-master-ku!”

Suara seorang pria paruh baya menggelegar memenuhi lorong kampus yang semi-terbuka, berbatasan langsung dengan taman rimbun bernaung langit yang pagi ini agak mendung. Pria paruh baya itu mengenakan jas dokter berwarna putih, dan rambutnya sudah beruban. Mendengar sapaannya, empat orang mahasiswi yang sedang duduk-duduk di teras di depan sebuah ruangan langsung berdiri dan membungkukkan badan.

“Pagi, Prof.”

“Selamat pagi, Prof.”

“Selamat Pagi," Sang Profesor menyapa balik. "Kenapa ini, pada di kampus? Apa ada kelas pengganti? Siapa dosennya, biar saya marahi. Minggu-Minggu begini, harusnya kalian itu pada pacaran, menikmati masa muda yang precious."

Mahasiswi berambut merah pendek menyahut, "Nggak punya pacar, Prof."

"Pacaran sama tugas sama kerja praktek, Prof. Sedih," sahut mahasiswi mungil yang memakai dress berenda.

"Aduh, aduh, kok ngenes banget ngomongnya, kalian itu. Cakep-cakep begini, pasti sebentar lagi pada dapat pacar, lah," Sang Profesor membalas sambil terkekeh. "Jadi, kalian ada apa ke kampus?"

"Oh, ini, mau nge-print laporan, Prof," jawab mahasiswi berkacamata logam.

"Lho," Profesor langsung mengerutkan kening. "Ruang printer-nya nggak buka hari ini. Bu Winda yang jaga lagi sakit."

"Hah? Iya?" mahasiswi berambut pendek menyahut. "Yah, gimana dong… Dikira belum dateng aja Bu Winda-nya, Prof."

Profesor tersenyum lebar. "Sini, titip saya. Nanti saya bantu print di rumah sakit."

"Nggak merepotkan, Prof?" tanya mahasiswi berambut panjang lurus sepunggung, yang sejak tadi hanya diam mengamati. "Prof, kan, besok nggak datang ke kampus."

Profesor tertawa terbahak-bahak. "Waduh, saya tersanjung, lho, sampai ada yang tahu jadwal saya," katanya. "Nggak, nggak apa-apa, guyssss, titip saya aja. Besok kebetulan saya mampir ke sini, kok."

Para mahasiswi itu otomatis saling berpandangan dengan geli, jelas-jelas sedang saling melempar kernyitan tertahan melalui telepati gara-gara kata 'guyssss' yang dilontarkan Profesor.

"Ya udah, deh. Makasih, Prof!" mahasiswi bergaun renda akhirnya menerima tawaran itu. Satu-per-satu, mereka menyerahkan USB masing-masing kepada Profesor, yang kemudian dimasukkan olehnya ke dalam saku jas dokter yang dikenakannya.

"Kalian jurusan psikiatri anak dan remaja, kan? Ada kelas Pak Darwandi jam sepuluh di lantai dua, kan, hari Senin? Besok saya drop ke sana aja, kalian nggak usah ke ruangan saya," kata Profesor.

"Wahhh, baik banget, Prof!" sahut mahasiswi bergaun renda. "Makasih, ya."

"Ah, nggak masalah. Sudah, ya, saya busy, nih. Saya tinggal dulu, ya."

Para mahasiswi itu membungkukkan badan, dan Profesor pun beranjak naik ke tangga menuju lantai dua. Setelah sosoknya menghilang dari pandangan, suasana langsung berubah drastis, dari tenang menjadi heboh.

"Criiiiinge…" rengek mahasiswi berambut merah pendek.

"Hus, kalo nggak ada dia, lo nggak lulus makul ini, tahu," tegur si kacamata logam, padahal ia juga sedang tertawa terbahak-bahak.

"Gue bisa nge-print di luar, sih," balas si rambut merah.

"Tapi, kan, lebih praktis begini."

"Eh, lagian kita, sih, bego," sahut si gaun renda. "Harusnya percaya aja sama Acha kalo ruang print-nya tutup. Acha, kan, kalo ngomong suka bener. Si indera keenam, emang."

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang